DEMOCRAZY.ID - Pengamat ekonomi energi dan pertambangan dari UGM, Fahmy Radhi merespons, dugaan permintaan fee yang dilakukan Menteri Investasi RI Bahlil Lahadalia.
Bahlil dikabarkan oleh sebuah majalah nasional telah mematok upeti Rp 25 miliar kepada pengusaha tambang yang ingin kembali mengaktifkan perizinannya.
Kata Fahmy, jika memang terbukti maka tindakan Bahlil tersebut akan menyuburkan pertambangan ilegal.
Karena biasanya, banyak dari perusahaan yang legal itu punya banyak jaringan pertambangan ilegal.
“Itu yang terjadi selama ini. Pertumbuhan tambang ilegal ini-lah yang merugikan negara,” ujar Fahmy, Minggu (10/3/2024).
Fahmy menjelaskan, jika perbuatan itu memang dilakukan Bahlil, maka menyalahi kewenangannya sebagai Menteri Investasi.
Karena yang dia tahu, dalam UU pihak yang berkewenangan memberikan izin dan mencabut adalah Kementerian ESDM.
“Kalau Bahlil dasarnya Kepres (Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021), ini kan di bawah UU,” ucapnya.
Dengan kondisi tersebut, Fahmy pun mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga hukum terkait untuk berani menindak Bahlil. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut tanpa ada aksi yang konkret.
“Saya berharap KPK dan aparat penegak hukum lainnya harus bertindak demi kepentingan negara. Tidak peduli siapapun yang melakukan dugaan tindakan (suap) itu, harus ditindak,” ungkapnya.
Lantas jika memang terbukti dan Bahlil menjadi tersangka, kata dia, Presiden Jokowi harus memecatnya dari Kabinet Indonesia Maju.
Hal ini juga berkaca pada kasus dugaan korupsi yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
“Berkaca dari kasus SYL, dan menteri lainnya, jika KPK punya alat bukti yang cukup dan jadi tersangka, dia harus dipecat dari Menteri," ucap Fahmy.
Penegakkan hukum ini penting, apalagi menurut Fahmy, masa pemerintahan Presiden Jokowi segera berakhir, agar tidak meninggalkan preseden buruk.
“Di sisi lain, DPR juga harus memberikan tekanan agar KPK bertindak, tanpa harus menunggu Jokowi,” pungkasnya.
Dikutip dari Kompas.com, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto mendorong KPK memeriksa Bahlil.
Dalam keterangan resminya, Mulyanto menyebut Bahlil diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Ia diduga mencabut dan menerbitkan kembali izin usaha pertambangan (IUP) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dengan imbalan miliaran rupiah maupun penyertaan saham di tiap-tiap perusahaan.
Karena itu, Mulyanto meminta KPK memeriksa Bahlil. “Harusnya tugas ini menjadi domain Kementerian ESDM karena UU dan kepres terkait usaha pertambangan ada di wilayah kerja Kementerian ESDM bukan Kementerian Investasi,” kata Mulyanto.
Terlebih satuan itu dibentuk menjelang pemilihan presiden 2024. Pihaknya curiga satgas itu dibentuk sebagai usaha untuk legalisasi pencarian dana pemilu.
Terlepas dari urusan politik saya melihat keberadaan satgas ini akan merusak ekosistem pertambangan nasional. Pemerintah terkesan semena-mena dalam memberikan wewenang ke lembaga tertentu,” tutur Mulyanto.
Sumber: Tribun