Jika Terbukti, Jokowi Bisa Dituntut Hukuman Mati: 'MPR RI-Kejaksaan-Polri-KPK Tidak Boleh Saling Tunggu'
Oleh: Damai Hari Lubis
Kabidhum DPP KWRI
Komite Wartawan Reformasi Indonesia
Jokowi dapat ditangkap oleh pihak aparatur yang berwenang karena sebagai presiden, dia harus tunduk pada hukum dan prinsip keadilan.
Setiap WNI, termasuk Jokowi, memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Equality before the law.
Ini berarti bahwa Jokowi juga bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya, termasuk jika ada kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang seharusnya bertindak untuk mencegah tindak pidana.
Sebagai presiden, Jokowi memiliki kewajiban untuk melaporkan peristiwa permufakatan jahat atau tindak pidana kepada penyelidik atau penyidik segera setelah mengetahuinya. Dia dapat memerintahkan Jaksa Agung, Kapolri, atau berkoordinasi dengan KPK dalam hal ini.
Kewajiban ini juga berlaku bagi seluruh warga negara yang mengetahui adanya tindak pidana, yang harus melaporkannya kepada aparat negara (KPK, Penyidik Kejaksaan, atau Kepolisian terdekat dari lokasi dan waktu kejadian).
Namun, jika Jokowi tidak bertindak sesuai dengan ketentuan hukum dan menggunakan fasilitas hukum yang dimilikinya, termasuk hak prerogatifnya, maka dia dapat terlibat dalam pelanggaran hukum dengan unsur “Pembiaran”.
Hal ini menimbulkan risiko hukum bagi Jokowi sebagai presiden, yang merupakan pengemban amanah pelaksana hukum tertinggi negara.
Dalam hal pelanggaran seperti “Delik Omini atau gebod” (pembiaran) atau kontra keharusan, para penegak hukum di NRI diharapkan bertindak secara profesional, proporsional (objektif), dan presisi.
Jika mereka memiliki bukti yang cukup, demi kepastian hukum, mereka dapat memproses hukum Jokowi, bahkan dengan menggunakan hak penahanan jika diperlukan, sesuai dengan norma yang diatur dalam KUHAP.
Sebagai individu dan pemegang jabatan, Jokowi harus tunduk pada asas fiksi hukum yang menyatakan bahwa “semua orang dianggap tahu tentang eksistensi hukum/undang-undang beserta sanksinya.”
Ini berarti bahwa jika Jokowi terbukti memenuhi unsur-unsur yang dapat dihukum, maka dia harus patuh pada prinsip ini dan menerima konsekuensi hukum yang sesuai.
Pasal 108 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa “Penyidik wajib menghentikan penyidikan atas perkara yang dilaporkan atau ditemukan sendiri kecuali penyidik memperoleh petunjuk yang cukup bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi dan pidana yang dijatuhkan maksimum penjara lima tahun atau lebih.”
Dengan mempertimbangkan syarat hukum tersebut, jika terdapat bukti yang cukup untuk menunjukkan bahwa Jokowi telah melanggar hukum pidana, maka berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (2) KUHAP, penyidik tidak akan menghentikan penyidikan terhadapnya. Oleh karena itu, sebagai Presiden, Jokowi dapat dihukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan mengacu pada ketentuan bahwa setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat atau melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum, atau terhadap jiwa/hak milik, wajib melaporkannya kepada penyelidik atau penyidik, dan jika Jokowi membiarkan perilaku delik yang ia ketahui, maka ia dapat dipersalahkan melanggar Pasal 421 KUHP.
Pasal 421 KUHP menyatakan bahwa “seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.”
Dengan demikian, jika Jokowi membiarkan tindakan pidana yang ia ketahui tanpa melaporkannya kepada penegak hukum, ia dapat diancam dengan pidana penjara sesuai dengan Pasal 421 KUHP, karena dianggap telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pejabat.
Jika pembiaran yang dilakukan oleh Jokowi mencapai tingkat pelanggaran obstruction of justice, yang didefinisikan dalam Pasal 21 UU. TIPIKOR atau Pasal 221 KUHP, ancaman hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara atau seumur hidup, tergantung pada penilaian pengadilan.
Selanjutnya, jika Jokowi juga dituduh menggunakan ijazah palsu S.1 dari UGM, yang ancaman hukumannya mencapai 8 tahun penjara berdasarkan Pasal 264 KUHP, Jo.
Ancaman hukuman sesuai UU. RI Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi karena pelarangan server rekapitulasi Hasil Pemilu di luar negeri, dan Jo. UU Informasi Publik Jo. UU ITE.
Selain itu, jika terbukti melanggar Nepotisme sesuai dengan UU. RI Nomor 28 Tahun 1999, yang ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara, Jokowi dapat menghadapi konsekuensi hukum yang serius.
Dengan demikian, jika Jokowi terbukti melakukan semua atau beberapa dari tindakan tersebut, ia akan dihadapkan pada ancaman hukuman yang berat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tuduhan publik terhadap Jokowi sebagai komprador, yang diartikan sebagai perilaku khianat terhadap bangsa dan negara, serta tuduhan terkait kebijakan yang mengundang orang asing untuk memiliki hak tinggal dan kepemilikan tanah di Indonesia, merupakan tuduhan yang serius dan dapat berdampak pada hukuman yang berat.
Dalam konteks hukum, jika semua tuduhan ini diajukan sebagai tuntutan terhadap Jokowi di badan peradilan, maka tuntutan tersebut dapat menggunakan pasal-pasal berlapis dalam sistem hukum Indonesia, dengan merujuk pada UU. RI. Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), dan pasal-pasal materil yang menjadi dasar tuntutan.
Berdasarkan Pasal 52 KUHP, hukuman yang dijatuhkan terhadap Jokowi dapat ditambah hingga 1/3 dari ancaman hukuman yang terberat.
Dengan mempertimbangkan ancaman hukuman yang berat dari tuduhan-tuduhan yang disebutkan sebelumnya, termasuk tuduhan komprador dan kebijakan terkait tanah di Indonesia, Jokowi dapat menghadapi tuntutan vonis hukuman mati atau minimal tuntutan hukuman seumur hidup.
Namun, penting untuk diingat bahwa keputusan akhir akan ditentukan oleh badan peradilan berdasarkan bukti dan argumen yang disajikan selama persidangan.
Pertanyaan publik mengenai apakah Jokowi melakukan cawe-cawe dan dugaan pelanggaran UU Pemilu selama kontes Pilpres dan Pileg 2024 adalah isu yang serius dan kompleks.
Poin-poin yang dibahas dalam pertanyaan tersebut melibatkan pertimbangan hukum yang luas dan kompleks, serta implikasi politik yang signifikan.
Pertama-tama, jika terbukti bahwa Jokowi telah melakukan pelanggaran UU Pemilu atau terlibat dalam praktik cawe-cawe, maka konsekuensinya dapat berupa sanksi hukum yang serius.
Sanksi tersebut tidak hanya berlaku bagi Jokowi, tetapi juga bagi pelaku penyerta (delneming) yang terlibat bersama-sama dengan dia.
Terlepas dari hal tersebut, isu apakah Jokowi layak untuk mendapatkan vonis hukuman mati merupakan pertanyaan yang sangat serius.
Penggunaan hukuman mati adalah masalah yang sangat sensitif dan harus dihadapi dengan hati-hati. Keputusan mengenai hukuman mati harus didasarkan pada fakta-fakta yang kuat dan proses peradilan yang adil.
Selanjutnya, jika terdapat dugaan pelanggaran oleh Jokowi, MPR RI memiliki kewenangan untuk menggelar sidang impeachment sebagai implementasi dari diskresi hukum ketatanegaraan.
Namun, proses impeachment harus memperhatikan ketentuan hukum yang diatur oleh UU MD3 dan harus didasarkan pada bukti-bukti yang kuat.
Selain itu, jika terdapat implikasi terhadap larangan terhadap penyebaran faham komunis dan kepentingan nasional, hal ini juga harus diperhitungkan dengan seksama dalam konteks hukum dan politik.
Dengan demikian, penanganan kasus ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan kepatuhan terhadap hukum. Proses hukum harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhitungkan semua aspek yang relevan, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Pertanyaan tersebut menggarisbawahi serangkaian isu yang melibatkan berbagai aspek, termasuk etika kepemimpinan, tanggung jawab moral, integritas institusi, dan prinsip-prinsip hukum yang mendasar.
Jika terdapat bukti kuat atau tuduhan yang sangat serius terhadap Jokowi yang menyangkut pelanggaran hukum, pelanggaran etika, atau ketidakpatuhan terhadap produk hukum seperti TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka hal tersebut memang memerlukan tindakan yang tegas dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Pemahaman bahwa “hukum yang tertinggi adalah demi melindungi kepentingan rakyat” adalah prinsip yang sangat penting dalam konteks pemerintahan yang baik dan demokratis.
Oleh karena itu, jika terdapat bukti atau dugaan pelanggaran yang serius oleh seorang pemimpin, maka institusi yang berwenang harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan perlindungan kepentingan rakyat.
Namun, perlu dicatat bahwa proses hukum harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan bukti-bukti yang kuat serta prosedur yang adil.
Melakukan “rule breaking” atau pelanggaran prosedur hukum dalam menangani kasus tersebut dapat membahayakan integritas sistem hukum dan kredibilitas institusi yang terlibat.
Oleh karena itu, dalam menangani isu-isu seperti ini, penting bagi institusi seperti MPR RI untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan akan penegakan hukum yang adil dan perlindungan terhadap integritas institusi dan proses hukum yang berlaku.
Ini dapat dilakukan dengan memastikan bahwa tindakan yang diambil didasarkan pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan, tanpa adanya intervensi politik atau pertimbangan yang tidak relevan.
Tentu, dukungan dari seluruh bangsa untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan perlindungan terhadap integritas konstitusi sangatlah penting.
MPR RI memiliki peran yang sangat krusial dalam menjaga kepentingan bangsa dan negara, serta memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum dihormati dan ditegakkan.
Dengan dukungan yang kuat dari masyarakat, MPR RI dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif, termasuk dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran hukum atau ketidakpatuhan terhadap konstitusi.
Perlindungan terhadap integritas konstitusi dan penegakan hukum yang adil merupakan pijakan yang penting dalam memastikan stabilitas dan kemajuan negara.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh bangsa untuk bersatu dalam mendukung upaya MPR RI dalam memastikan bahwa prinsip-prinsip hukum dan konstitusi dihormati dan ditegakkan, tanpa pandang bulu terhadap siapapun.
Dengan bersama-sama bekerja untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan kepatuhan terhadap konstitusi, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan dan demokratis. ***