DEMOCRAZY.ID - Peran Presiden Joko Widodo untuk memimpin koalisi besar di pemerintah selanjutnya dinilai bakal menimbulkan kegamangan politik.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai ide agar Joko Widodo memimpin koalisi besar di pemerintahan selanjutnya seolah menjawab adanya keinginan Presiden Jokowi untuk tetap berkuasa.
Yunarto mengingatkan sebelum ada ide Jokowi memimpin koalisi besar, ada wacana tiga periode.
Disusul kemudian isu pemilu yang ditunda agar program-progam Jokowi saat berkuasa 10 tahun bisa tetap berjalan.
Setelah kedua wacana tersebut gagal, kata dia, muncul Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Kemudian saat ini, jelang pengumuman pemenang Pilpres 2024 nama Jokowi kembali dimasukkan untuk memimpin koalisi besar di pemerintahan selanjutnya yang dalam versi hitungan cepat Prabowo-Gibran lah pemenang Pilpres 2024.
Menurutnya dari wacana sebelum pilpres dan setelah pencoblosan ada sebuah benang merah bahwa agenda pembangunan Jokowi tidak bisa berjalan tanpa ada sosok Jokowi. Artinya harus ada cara agar Jokowi bisa tetap berkuasa.
"Ini lanjutan saja dari pola pikir kalau tidak ada Jokowi, legacy tidak akan berlanjut. Pola pikirnya sama," ujar Yunanto dalam program Kompas Petang KOMPAS TV, Jumat (15/3/2024).
Yunanto menambahkan pemikiran sosok Jokowi harus tetap ada agar program pembangunan tetap berjalan seharusnya selesai setelah ada presiden dan wakil presiden baru.
Apalagi Prabowo-Gibran, jika nantinya ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024 oleh KPU, punya visi misi yang jelas ingin melanjutkan program-program pemerintah sebelumnya.
Menurutnya jika wacana ini benar-benar ingin diwujudkan, maka akan ada keprihatinan bagi presiden terpilih nanti.
Bila Prabowo ditetapkan sebagai presiden terpilih, wacana itu seakan-akan membuat Prabowo tidak dipercaya, mampu dan sanggup melanjutkan kerja Jokowi tanpa ada sosok Jokowi.
Begitu juga dengan Gibran. Kehadiran Gibran di samping Prabowo, sebagai perwakilan Jokowi, ternyata belum mampu membangun misi keberlanjutan berjalan.
"Pola pikir (sosok Jokowi harus tetap ada) ini berbahaya. Dalam sistem demokrasi kita tidak bisa menterjemahkan keberlanjutan itu dengan keberadaan seorang sosok. Itu khas otoriter," ujar Yunanto.
Hilangnya Otoritas Presiden
Lebih jauh Yunanto menilai pemikiran tersebut bisa membuat kegamangan dalam sistem tata negara dan politik bahkan berpotensi mengangkangi otoritas presiden.
Tidak menutup kemungkinan Jokowi yang dipercaya sebagai pemimpin koalisi besar, juga punya otoritas besar.
"Sekarang saja Pak Prabowo sudah dilihat dari dua kacamata. Satu melihat sepenuhunya sebagai seorang presiden, ada yang melihat setengah presiden karena setengahnya lagi kekuatan Jokowi. Jangan ditambah beban lagi dengan membuat koalisi permanen yang di situ ada Jokowi bahkan di atas partai-partai," ujar Yunanto.
Sumber: Kompas