DEMOCRAZY.ID - Oktober mendatang menjadi waktu penentu bagi Joko Widodo (Jokowi) yang habis masa jabatannya sebagai Presiden RI.
Jokowi membutuhkan partai politik untuk dapat mengawal program-program pemerintahannya yang belum selesai, serta menjaga hal-hal menyangkut kepentingan lain.
Hubungan renggang Jokowi dengan PDI Perjuangan (PDIP) membuat yang bersangkutan membutuhkan alternatif partai politik lain.
Belakangan, Jokowi dikaitkan dengan Partai Golkar. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengatakan partainya sangat dekat dengan Jokowi, bahkan sering mengadakan rapat bersama.
Pernyataan itu disampaikan Airlangga saat menjawab pertanyaan awak media perihal kabar bergabungnya Jokowi dengan Partai Golkar menjelang Musyawarah Nasional (Munas) pada Desember 2024.
Di sisi lain, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie menyatakan ada usul dari Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovannie agar Jokowi dapat memimpin koalisi partai politik yang mempunyai kesamaan visi menuju Indonesia emas.
Lantas, apakah kebutuhan Jokowi memiliki partai politik akan berjalan mulus?
Jalan Jokowi untuk bergabung, apalagi memimpin Partai Golkar, dinilai akan sulit. Meski menarik dari sisi kekuasaan, Partai Golkar masih diisi oleh banyak tokoh berpengaruh.
Tokoh-tokoh politikus senior yang bertebaran di Golkar membuat posisi Jokowi tak bisa stabil. Jokowi bisa sewaktu-waktu didongkel dari pucuk tertinggi Golkar.
Hal lain yang menyulitkan Jokowi memimpin Golkar adalah posisinya yang sudah tidak lagi menjabat presiden Oktober nanti.
"Golkar memang menarik jika dilihat dari sisi kekuasaan, tetapi mengambil alih Golkar tidak mudah, bagaimanapun Golkar memiliki tokoh cukup banyak dan berpengaruh. Jokowi belum tentu bisa masuk Golkar ketika tidak lagi menjabat (presiden)," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi KurniaSyah saat dihubungi melalui pesan tertulis, Rabu (13/3) malam.
Menurut Dedi, setidaknya terdapat dua partai politik yang mempunyai utang besar kepada Jokowi yakni PSI dan Partai Gerindra.
Menurut dia, kedua partai politik tersebut potensial mengakomodasi kepentingan politik Jokowi.
"Jika pilihannya mengambil alih Gerindra atau PSI, maka bisa saja berjalan mulus. Akan tetapi, jika menginginkan partai politik lain, halangannya akan cukup berat," kata Dedi.
Senada, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai jalan Jokowi masuk ke Partai Golkar akan sulit.
Ia memandang Jokowi bisa menguasai Partai Golkar apabila Munas dipercepat dari Desember ke September atau Oktober.
Dengan kata lain, Jokowi mempunyai posisi tawar karena masih menjabat Presiden RI.
"Di atas bulan itu, langkah Jokowi untuk menguasai Golkar akan menipis. Sebab, setelah Oktober, wibawa Jokowi akan turun drastis. Seturut dengan selesainya masa jabatannya," kata Ray.
Ray menambahkan banyak instrumen negara yang sebelumnya dapat menopang lobi politik Jokowi akan habis.
Apalagi, ia menilai posisi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, di jabatan Wakil Presiden (apabila benar terpilih) tidak bisa diandalkan cepat untuk kepentingan politik Jokowi.
"Maka, jika sampai Oktober 2024 tidak ada Munas Golkar, besar kemungkinan Jokowi tidak akan dapat jadi Ketum Golkar," kata Ray.
Sementara itu, Ray menilai PSI terlalu kecil untuk bisa mengakomodasi kepentingan politik Jokowi. Apalagi, Ray memprediksi peran PSI di pusat kekuasaan akan menipis seiring habisnya masa jabatan Jokowi sebagai Presiden RI.
"PSI hanya akan besar jika Jokowi masih berkuasa. Setelah itu, pudar. Sebab, tidak ada partai politik yang bisa besar oleh selain keringat dan kerja total," ucap dia.
Menurut Ray, penting bagi Jokowi untuk mempunyai partai politik. Hal itu dilihat satu di antaranya untuk memuluskan keluarganya yang terlibat dalam politik.
"Pentingnya dilihat dari bagaimana banyak keluarganya terlibat dalam politik alias kadang bukan soal penting atau tidak, tapi soal berkuasa atau tidak. Tak banyak politisi di Indonesia yang merasa cukup. Umumnya selalu kurang, kurang dan kurang. Bila bisa tiga mengapa dua, dan saya kira, keluarga pak Jokowi sudah memperlihatkannya," pungkasnya.
Jokowi Akan Sulit Masuk Golkar
Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai Jokowi akan sulit masuk ke Partai Golkar, terlebih masa jabatannya sebagai Presiden RI akan habis pada Oktober 2024.
Meski ada beberapa kader yang welcome terhadap Jokowi, menurut Arifki, tidak serta merta membuat jalan yang bersangkutan untuk bergabung menjadi mulus.
"Yang jadi catatan adalah bahwa pasca-Oktober 2024 Jokowi bukan lagi presiden, tentu para elite Golkar bergantung melihat peluang-peluang bahwa bargaining yang dimiliki Prabowo lebih tinggi dibandingkan dengan Jokowi," kata Arifki.
Ia berpendapat Jokowi akan melihat terlebih dahulu apakah PSI masuk parlemen atau tidak. Jika tidak, kata dia, Jokowi akan berusaha masuk Golkar.
"Tapi, usaha-usaha itu tidak semudah itu karena memang baik itu JK (Jusuf Kalla, tokoh senior Golkar) dan lainnya akan meng-counter ruang Jokowi untuk masuk," kata dia.
Usulan PSI tidak bisa diterima
Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah menilai usulan PSI yang menempatkan Jokowi di atas partai politik tidak bisa diterima. Sebab, terang dia, di Indonesia tidak ada sistem koalisi permanen.
"Usulan PSI kurang bisa diterima karena tidak ada sistem koalisi permanen di Indonesia, berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia," tutur Dedi.
"Dan andai pun ada koalisi yang dibentuk mengawal pemenang Pemilu, jelas itu bukan Jokowi, tetapi Prabowo karena ia yang memimpin partai pemenang sekaligus kandidat presiden dari koalisi, atau Airlangga Hartarto karena pemilik suara terbesar di koalisi," sambungnya.
Dedi menganggap usulan pada Jokowi lebih kepada upaya PSI mencari suaka agar tetap selamat dari tuduhan melakukan rekayasa suara di Pemilu 2024 yang sedang ramai. Menurut dia, PSI memerlukan perlindungan Jokowi.
"Partai semacam ini jelas tidak memiliki kemandirian. Bisa saja tanpa Jokowi, PSI tenggelam di 2024 ini," ucap Dedi.
Dedi menyatakan kemungkinan besar usulan PSI tersebut tidak akan terealisasi, kecuali memang seluruh partai koalisi pemenang mempunyai masalah yang bisa dijadikan sebagai ancaman jika tidak mendukung Jokowi.
"Baik PSI maupun Jokowi sama-sama sedang berupaya, dan memang PSI adalah Jokowi," tandasnya.
Ray Rangkuti menilai Jokowi tidak patut menjadi pemimpin partai koalisi. Ia menegaskan Jokowi tidak mempunyai hak terhadap hal tersebut.
"Kok bisa-bisanya jadi ketua koalisi? Lebih tidak punya hak lagi karena sekalipun pak Jokowi misalnya menyatakan dukungan kepada pasangan Prabowo-Gibran, dia tidak punya partai. Ya masa yang sama sekali tidak punya partai malah jadi ketua koalisi partai. Ada-ada saja. Makin tak ada wibawanya partai-partai ini," ucap Ray.
"Tapi, penyebutan PSI itu makin menegaskan kita bahwa sekalipun Jokowi tak pernah terbuka menyatakan dukungan kepada Prabowo-Gibran, kenyataannya ia terlibat dalam pemenangannya. Setidaknya dari usulan PSI ini," lanjut Ray.
Sementara itu, Arifki Chaniago mengatakan usulan PSI akan membuat dinamika ke depan akan lebih tajam antara Jokowi dengan Prabowo sebagai calon presiden terpilih.
"Game of power antara Prabowo dan Jokowi karena memang sebagai presiden tentu secara simbolik penting bagi Prabowo untuk mendominasi ke mana arah partai politik koalisi," tandasnya.
Sumber: CNN