Bantuan Sosial Arahan Presiden Joko Widodo Terindikasi Melanggar Hukum: DPR Wajib Periksa!
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun anggaran 2024 disahkan DPR pada 21 September 2023, dan diundangkan pada 16 Oktober 2023 (UU No 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024).
Pada hari yang sama, 16/10/23, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi batas usia minimum capres dan cawapres, menjadi paling rendah 40 tahun, atau pernah atau sedang menjabat kepala daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto.
Pasangan calon Prabowo-Gibran kemudian mendaftar ke KPU pada hari terakhir pendaftaran, 25/10/23, dan lulus tes kesehatan pada 26/10/23.
Beberapa waktu kemudian, dalam rapat kabinet 6 November 2023, Presiden Joko Widodo tiba-tiba memutuskan untuk memperpanjang pemberian bantuan sosial sampai Juni 2024, yang seharusnya sudah berakhir pada November 2023.
Keputusan bantuan sosial secara dadakan ini terindikasi kuat melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBN 2024.
Karena, anggaran bantuan sosial dadakan Joko Widodo ini tidak ada di dalam APBN 2024, yang diundangkan pada 16/10/23. Memberikan bantuan sosial tanpa ada mata anggaran melanggar UU APBN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mencoba ‘memanipulasi’ anggaran, dengan cara mengambil anggaran bantuan sosial dadakan ini dari anggaran kementerian dan lembaga lainnya.
Caranya, dengan melakukan pemblokiran anggaran atau automatic adjustment senilai Rp50,2 triliun.
Sri Mulyani mengaku, ‘manipulasi’ anggaran bantuan sosial dadakan ini sesuai arahan, atau atas instruksi, Presiden Joko Widodo.
Cara realokasi anggaran dari kementerian dan lembaga menjadi bantuan sosial seperti dilakukan Sri Mulyani terindikasi melanggar Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara (No 17/2003), yang berbunyi: “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja”.
UU APBN yang sudah disetujui DPR tidak boleh diubah pihak manapun, termasuk Presiden Joko Widodo, melalui pemblokiran automatic adjustment. APBN hanya dapat diubah melalui mekanisme Perubahan APBN yang disetujui DPR.
Arahan atau instruksi Presiden Joko Widodo untuk memblokir anggaran kementerian dan lembaga juga melanggar UU anti KKN, dan penyalahgunaan kekuasaan presiden.
Sulit dibantah, keputusan Joko Widodo memperpanjang bantuan sosial secara mendadak ini bermotif politik, dan nepotisme, untuk mendongkrak elektabilitas dan memenangi Gibran. Bantuan sosial dadakan tersebut sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat.
Karena itu, Joko Widodo terindikasi kuat juga melanggar Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: “setiap penyelenggara negara wajib untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.
Menurut definisi Pasal 1 angka 5, Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Pemberian bantuan sosial dadakan Joko Widodo termasuk perbuatan melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, anaknya, dan kroninya.
Presiden Joko Widodo juga diduga keras melakukan penyalahgunaan wewenang kekuasaannya, dengan memaksakan memberi bantuan sosial sampai Juni 2024 tanpa ada mata anggaran di dalam APBN 2024.
Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Terakhir, pemberian bantuan sosial oleh Presiden dan Menteri lainnya, tanpa melibatkan kementerian sosial, melanggar tugas pokok kementerian, dan termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Karena, pemberian bantuan sosial dadakan tersebut dapat dipastikan tidak tepat sasaran, karena dibagikan di tengah kerumunan massa, tanpa ada data penerima bantuan. Karena data tersebut berada di Kementerian Sosial.
Melihat dugaan pelanggaran yang serius ini, DPR harus panggil Sri Mulyani untuk menyelidiki dari mana anggaran bantuan sosial dadakan arahan dari Presiden Joko Widodo tersebut diperoleh, berapa besar, siapa penyelenggara negara yang menyalurkan bantuan sosial, dan siapa penerima bantuan sosial tersebut.
Rakyat tidak bisa menerima uang publik milik rakyat, APBN, digunakan seenaknya seperti uang pribadi mereka. ***