'Ancang-Ancang Koalisi Besar Prabowo'
Di atas podium di Hotel Dharmawangsa Jakarta, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto berterima kasih kepada para kader yang sudah memperjuangkannya selama ini. Ucapan itu bagian dari taklimat yang ia sampaikan dalam Rapat Dewan Pembina Gerindra, 5 Maret 2024, yang membahas hal-hal strategis seputar kepartaian.
Bagi Prabowo, kemenangan Pilpres 2024 sudah di depan mata sejak hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan keunggulan telak ia dan Gibran, dengan raupan suara 58%. Saat itulah Prabowo-Gibran berancang-ancang menepati janji-janji kampanye mereka kepada rakyat.
Rapat Dewan Pembina Gerindra jadi momen Prabowo mengingatkan kader-kader partainya untuk menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa program unggulan mereka, makan siang gratis bagi murid sekolah dan ibu hamil, bakal direalisasikan. Prabowo—yang notabene Ketua Dewan Pembina Gerindra—berpesan agar program tersebut direncanakan dengan matang.
Program makan siang gratis pun jadi salah satu bahasan yang digodok di rapat tersebut, termasuk soal sumber dananya yang disebut-sebut dalam kampanye mencapai Rp 450 triliun per tahun, bersaing dengan anggaran pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Seorang anggota Dewan Pembina Gerindra menyebut, Prabowo menginginkan potensi penerimaan negara meningkat di masa kepemimpinannya. Menurutnya, Prabowo juga mengusulkan perlunya penghematan anggaran di sejumlah kementerian yang nantinya jadi “bahan bakar” untuk memotori program makan siang.
Dua sumber internal Gerindra mengatakan, rencana makan siang gratis sudah mulai dibahas di pemerintahan Jokowi. Hal tersebut dikuatkan oleh ucapan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menyebut bahwa program makan siang gratis turut ditelaah dalam sidang kabinet Jokowi, Senin (26/2).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa juga menyebut bahwa program-program unggulan dari presiden terpilih sudah mulai dihitung dan dipersiapkan.
“Sebagai ancer-ancer keberlanjutan pembangunan setelah pelantikan presiden baru; agar bisa menggunakan RAPBN yang telah mengkomodasi program-program ikonik dari presiden terpilih,” ujar Suharso usai sidang kabinet yang mengangkat bahasan soal makan siang gratis tersebut.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto—yang juga Ketua Umum Golkar, mitra koalisi Prabowo—pun telah turun ke lapangan untuk menggelar pilot project makan siang gratis di beberapa sekolah, misalnya di SD dan SMP di Tangerang.
Seperti disebut Bahlil, Suharso, dan sejumlah sumber, rencana program makan siang gratis Prabowo memang kini tengah dianalisa dan disinkronkan dengan program pemerintahan Jokowi yang telah berjalan. Ini demi transisi kepemimpinan yang mulus dengan mengusung tema program-program berkelanjutan.
Upaya sinkronisasi itu, misalnya, dengan mencari celah dari anggaran wajib pendidikan 20% untuk pembiayaan makan siang gratis. Muncul pula usul agar makan siang gratis ditujukan ke murid SD dan SMP supaya lebih realistis.
Sementara itu, penghematan di sektor infrastuktur diupayakan tidak menyentuh anggaran proyek IKN agar kelancaran program baru ke depan tidak berbenturan dengan kelanjutan kebijakan yang sudah ada.
Airlangga menyatakan makan siang gratis Prabowo masuk dalam pembahasan Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2025 yang dibahas di sidang kabinet Jokowi, dan menyebut angka Rp 15 ribu per anak sebagai anggaran program tersebut per harinya—di luar susu gratis.
Belakangan Presiden Jokowi menepis membahas spesifik soal itu, namun ia menjelaskan bahwa program-program presiden terpilih sudah harus dimasukkan dalam rencana anggaran 2025. Menurut Airlangga, pembahasan rinci soal program makan siang gratis akan dilakukan setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara Pilpres pada 20 Maret.
Wakil Ketua Umum Golkar Erwin Aksa juga menampik adanya persiapan suksesi program-program pemerintahan, termasuk pembahasan anggaran untuk program makan siang gratis. Ia berkata, “Belum [dibahas] karena [presiden terpilih] belum ditetapkan KPU.”
Program Andalan Butuh Sokongan Koalisi Besar
Untuk menjamin keberlangsungan program pembangunan yang telah dikampanyekan, pemerintah Prabowo harus memiliki koalisi kuat di parlemen. Menurut Erwin, selama ada keinginan politik dari koalisi besar, program makan siang gratis dapat berjalan.
Ia mencontohkan, dahulu banyak pihak mengkritik program kereta cepat Jokowi, tetapi ketika sudah terealisasi, semua orang bisa ikut menikmati. Meski begitu, Erwin optimistis program makan siang gratis Prabowo dapat berjalan dengan dukungan parlemen.
Soal koalisi besar tersebut, Co-Captain Timnas AMIN Sudirman Said mendengar kabar adanya skenario untuk memasukkan hampir seluruh partai politik ke dalam koalisi besar Prabowo secara permanen.
Menurut informasi yang ia dapat, nantinya hanya akan disisakan satu-dua parpol di luar pemerintahan. Dengan demikian, kekuatan oposisi jadi tidak signifikan alias melempem sehingga tidak bakal jadi ancaman bagi program-program pemerintahan Prabowo.
Menurut sumber di lingkaran elite Gerindra, Prabowo bersikap akomodatif soal kekuasaan. Jika pun koalisi besar terbentuk, ujarnya, PKS tak akan diajak karena dianggap berbeda platform politik.
Namun, elite Gerindra yang lain menyebut bahwa Prabowo tidak pernah berkata tak bakal mengajak PKS bergabung ke pemerintahannya. Terlebih, keduanya punya histori kerja sama politik pada Pilpres 2014 (PKS dukung Prabowo jadi capres), Pilkada DKI Jakarta 2017 (Gerindra & PKS usung Anies Baswedan sebagai cagub), dan Pilpres 2019 (PKS kembali dukung Prabowo jadi capres).
Pada Pilpres 2019, Gerindra bahkan disebut memercayakan TPS di sebagian wilayah hanya dijaga saksi PKS, tanpa kehadiran saksi Gerindra. Masih menurut sumber yang sama, Prabowo tak mempersoalkan bila PKS akhirnya mau bergabung ke pemerintahan.
Namun, politisi PKS Mardani Ali Sera menyatakan, bukan masalah bila partainya tidak diajak masuk ke koalisi besar Prabowo, sebab berkoalisi atau beroposisi adalah pilihan masing-masing partai.
“Tidak boleh ada tekanan dan tidak boleh ada intimidasi. Biarkan semua bergabung di dalam ataupun di luar kekuasaan karena pilihan,” ujarnya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (8/3).
Seorang petinggi parpol di lingkup Koalisi Perubahan menyebut, saat ini sudah ada ajakan-ajakan dari pemenang pemilu untuk bergabung dengan pemerintahan mendatang. Adanya tarik-menarik untuk menggembosi kubu 01 pun sudah tidak mengherankan lagi karena mereka telah terbiasa.
Ketua Umum NasDem Surya Paloh yang memotori duet Anies-Muhaimin menegaskan, pihaknya siap beroposisi. Tetapi, seorang elite parpol di kubu 01 menyatakan bahwa di antara parpol koalisi 01, NasDem paling mudah digoda masuk pemerintahan.
Bagaimanapun, politikus PKB Yanuar Prihatin menyebut bahwa pembahasan berkoalisi atau beroposisi saat ini masih terlalu dini.
“Pada dasarnya, kami di 01 (NasDem, PKS, PKB) masih menunggu hasil resmi perhitungan suara KPU. Sampai hari ini, belum ada pembicaraan soal pemerintahan ke depan; masih fokus pada perhitungan dan rekapitulasi suara,” kata Yanuar, senada dengan Mardani.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, berpandangan bahwa Prabowo kelak akan menjadi pemimpin untuk semua. Itu sebabnya Prabowo diyakini bakal terbuka dan merangkul semua elemen politik di pemerintahan barunya.
Dengan menggaet Demokrat sebagai mitra koalisinya, Prabowo pun dianggap memiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—Presiden RI dua 2004-2014—sebagai sahabat. Belum lagi Jokowi yang sejak awal di sisinya. Maka, amat mungkin Prabowo sudah belajar banyak dari pengalaman Jokowi dan SBY, termasuk soal rencana koalisi besarnya.
Kamhar menyinggung pengalaman Demokrat pada Pemilu 2004 yang gagal menguasai parlemen. Salah satu imbasnya, DPR kemudian menaikkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) ke angka 20% perolehan kursi parlemen, untuk menghambat SBY mencalonkan lagi.
“Pengalaman itulah yang membuat Pak SBY di periode keduanya membuat KIB (Koalisi Indonesia Bersatu) yang lebih besar. Ia belajar dari periode pertamanya yang sering mendapat rintangan karena kekuatan koalisinya di parlemen kecil,” ujar Kamhar.
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani membenarkan adanya upaya untuk merangkul parpol kubu 01 dan 03 ke pemerintahan Prabowo. Menurutnya, komunikasi dengan parpol-parpol itu berjalan lancar dan produktif.
“Ada gayung bersambut; ada pembicaraan-pembicaraan tingkat lanjut. Cuma, semua pembicaraan kami itu menanti hasil keputusan KPU [soal pemenang Pilpres],” kata Muzani di Senayan, Jakarta, Kamis (7/3).
Koalisi Besar: Lebih Banyak Maslahat atau Mudarat?
Koalisi besar sejatinya pernah digagas Presiden Jokowi kala bertemu Ketua Umum Gerindra, PKB, Golkar, PAN, dan PPP pada April 2023. Kelima partai itu bersamuh di kantor DPP PAN untuk menyatukan dua koalisi, yakni Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Jokowi bilang, koalisi besar itu cocok. Ia kemudian menyerahkan keputusan kepada para ketua partai. Saat itulah Jokowi disebut sebagai kingmaker. Namun, wacana bergabungnya KKIR dan KIB gugur di tengah jalan usai PKB hengkang gegara ketua umumnya, Muhaimin, memilih menjadi cawapres Anies Baswedan, dan PPP merapat ke PDIP mengusung Ganjar.
Kini, wacana koalisi besar muncul lagi. Seorang sumber di internal Gerindra menyatakan, suasana batin perencanaan koalisi besar mengedepankan persatuan demi kepentingan bangsa. Sementara sumber lain di elite partai itu tak menampik adanya kekhawatiran program pemerintah Prabowo “tertahan” di parlemen tanpa sokongan koalisi besar itu.
Namun, Waketum Golkar Erwin Aksa menepis kecemasan itu. Menurutnya, mayoritas rakyat Indonesia menginginkan pembangunan berkelanjutan, termasuk untuk urusan makan siang gratis, sehingga tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Koalisi besar dinilai politisi PKS Mardani Ali Sera tidak sehat untuk demokrasi, sebab demokrasi yang sehat memberi ruang bagi berkembangnya kekuatan oposisi demi terjadinya mekanisme checks and balances.
Namun internal Gerindra menyebut fungsi pengawasan tetap bisa berlangsung di DPR meski ada koalisi besar. Apalagi, menurut Erwin Aksa, DPR mendatang diprediksi bakal dipenuhi anak-anak muda. Bagaimanapun fungsi pengawasan tetap berjalan di DPR sesuai aspirasi masyarakat, kalau tidak mereka bakal dihukum oleh para pemilih 5 tahun mendatang.
“Upamanya kalau sudah diputuskan satu program besar, yang laksanakan menteri, dirjen, kan harus diawasi kementeriannya. Diawasi pelaksanaannya, lembaga pengguna anggaran negara diawasi, selain anggaran kebijakannya juga,” tutur Erwin di kantornya, Menara Karya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (7/3).
Pakar politik Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, preseden koalisi rasa oposisi memang pernah terjadi. Misal pada saat PKS menjadi koalisi pemerintahan SBY sesekali partai itu menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.
Begitu pula PDIP kini yang jadi partai pemerintah. Partai banteng bermoncong putih tak segan-segan mengkritik menteri-menteri melalui fraksinya DPR.
“Tapi menurut saya oposisi itu harus diformalkan. Kalau partai pemerintah ya enggak bisa enggak loyal [ke pemerintah]. Kalau enggak ada oposisi ya kacau ini,” kata Pangi. Ia berseloroh, sekalian saja seluruh partai bergabung pemerintah adapun peran oposisi bakal diambil alih oleh para pengamat.
Saking pesimisnya, Pangi menilai semua partai yang kini mengajukan hak angket dugaan kecurangan pemilu—yang digadang bakal jadi oposisi ke depan—mungkin menyeberang ke koalisi besar pemerintah. Itulah sebabnya meski sudah diwacanakan melalui interupsi di rapat paripurna ke-13 di masa persidangan IV lalu, nasib angket masih dinilai maju-mundur.
Pangi menilai, tidak ada parpol yang kuat menjadi oposisi di Indonesia, sebab mereka bakal menjadi partai ‘duafa’ tanpa program dan kebijakan. Sudah begitu, upaya menjadi oposisi juga tak berbuah reward atau insentif dipilih dari masyarakat. Mardani sepakat, itu sebabnya banyak parpol yang akhirnya memilih mendekat ke kekuasaan.
“Harusnya partai yang konsisten oposisi, PKS dikasih hadiah oleh masyarakat, kan sudah kering 10 tahun. Apa yang terjadi? Suara PKS turun 2 kursi,” ujar Pangi.
Tak cukup berhenti di koalisi besar di pusat, bahkan kasak-kusuk elite politik ada yang mewacanakan munculnya koalisi besar yang bersifat permanen dan menjalar ke daerah. Format ini mengadopsi koalisi Barisan Nasional yang terjadi dari beberapa parpol mewakili berbagai etnis di Malaysia.
Ketua Majelis Pertimbangan DPP PPP M. Romahurmuziy sempat mendengar adanya kasak-kusuk koalisi permanen itu yang disebut bakal dimotori oleh Golkar. Karenanya Golkar sedang diupayakan untuk mendapat kursi lebih banyak di parlemen. Pria yang akrab disapa Gus Romy itu menambahkan, ada skenario yang menyebut kemudian Jokowi menjadi Ketua Dewan Pembina koalisi itu.
Namun, Waketum Golkar Erwin Aksa menyatakan koalisi parpol di Indonesia tidak bisa disamakan dengan Malaysia yang sistem pemerintahannya parlementer. Pun jika alasannya koalisi besar permanen dan hingga daerah demi kesinambungan dalam hal program, itu juga tidak dapat dipersamakan. Apalagi daerah punya APBD dan program masing-masing.
Skenario koalisi besar hingga ke daerah juga dianggap Gus Romy bakal menentukan bagi-bagi kursi pencalonan pilkada. Jika semisal Golkar dikalkulasi memiliki kontribusi sekitar 1/3 dari jumlah kursi koalisi 02 di parlemen, maka ia juga dianggap berhak menentukan kepala daerah di 1/3 dari total 514 kabupaten/kota di Indonesia.
Erwin Aksa menyebut skenario itu tidak bisa dilaksanakan sebab demokrasi bakal mundur jika koalisi besar turut mengatur-atur penentuan kepala daerah. Menurutnya, biarkan saja masing-masing kandidat kepala daerah dan parpol berkompetisi untuk mendapat tiket ambang batas 20% dari hasil pilkada lalu.
Senada, Pangi Syarwi menilai koalisi besar hingga ke daerah tidak akan bisa berjalan lantaran kepentingan antara pusat dan daerah berbeda. “Saya enggak yakin semulus itu karena masing-masing daerah punya kepentingan,” imbuhnya.
Sumber: Kumparan