POLITIK

'Ambisi Jokowi Menjadi Pemimpin Koalisi Barisan Nasional, Bola Salju Digulirkan PSI'

DEMOCRAZY.ID
Maret 15, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
'Ambisi Jokowi Menjadi Pemimpin Koalisi Barisan Nasional, Bola Salju Digulirkan PSI'
'Ambisi Jokowi Menjadi Pemimpin Koalisi Barisan Nasional, Bola Salju Digulirkan PSI'


Di Balik Ide Jokowi Pimpin Koalisi


Ketua Dewan Pembina PSI Jeffrie Geovanie mengumpulkan sejumlah pengurus pusat Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di suatu tempat di Jakarta, Februari lalu. 


Politikus kutu loncat ini (pernah di PAN, Golkar, NasDem) lantas mengusulkan kepada pengurus partainya untuk menggagas Barisan Nasional, yang anggotanya terdiri atas anggota koalisi partai politik pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.


Dalam pertemuan itu, Jeffrie juga mengusulkan Presiden Joko Widodo untuk memimpin Barisan Nasional itu. Politikus PSI, Ade Armando, yang dimintai konfirmasi, membenarkan adanya pertemuan tersebut.


"Sebetulnya gagasan ini tak orisinal. Tapi Jeffrie merasa ide ini perlu diingatkan kembali kepada teman-teman partai politik," katanya, Kamis, 14 Maret 2024. "Gagasan semacam ini bisa dilakukan dan baik untuk bangsa."


Ade mengaku mendapat informasi tersebut dari anggota Dewan Pimpinan Pusat PSI lain. Setelah pertemuan itu, Ade bersua dengan Jeffrie di sebuah tempat terpisah di Jakarta. Di sana Ade mengklarifikasinya. Jeffrie lantas menjelaskan kepada Ade pembentukan barisan nasional yang dipimpin Jokowi tersebut. "Saya belakangan diajak bertemu di tempat terpisah," ujar Ade.


Jeffrie membuka idenya tersebut ke publik saat wawancara lewat podcast yang tayang di kanal YouTube Zulfan Lindan Unpacking Indonesia pada 22 Februari lalu. Di sini taipan tersebut menjelaskan gagasannya itu secara gamblang.


Menurut Ade, pengurus partainya menyambut positif ide tersebut. Ia mengatakan PSI sesungguhnya hendak menawarkan anggota Koalisi Indonesia Maju—koalisi penyokong Prabowo-Gibran dalam pemilihan presiden 2024—menggalang koalisi yang solid untuk kepentingan Indonesia ke depan. Koalisi terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, PSI, Partai Bulan Bintang, Partai Gelora, dan Partai Garuda.


Koalisi, kata Ade, perlu dipimpin figur terbaik. PSI lantas menilai figur terbaik itu adalah Jokowi. "Ia bisa menjadi orang yang dituakan yang bisa memberikan arahan dan bimbingan buat partai-partai," ujarnya.


Ade melanjutkan, Jokowi juga masih menjabat presiden hingga tujuh bulan ke depan. Karena itu, mantan Wali Kota Solo tersebut dianggap mampu mengkonsolidasikan koalisi dalam menghadapi pemilihan kepala daerah serentak pada November tahun ini.


"Semua bisa diatur dari Jakarta oleh pimpinan partai. Itu yang disebut sebagai koalisi atau kerja sama politik bersama," ujarnya.


Ade mengatakan partainya juga menghendaki adanya koalisi permanen menuju Indonesia emas pada 2045. Koalisi permanen itulah yang akan mengawal program kerja pemerintah hingga 2045, meski presiden berganti. 


Dia mendapat informasi bahwa ide pembentukan koalisi yang dipimpin Jokowi itu sudah dikomunikasikan dengan pengurus Golkar dan Gerindra. Namun ia tak bersedia membuka siapa pengurus dari kedua partai tersebut.


Ade belum mengetahui apakah ide tersebut sudah sampai atau belum ke Jokowi. Ia hanya yakin agenda itu seharusnya sudah diketahui Presiden. Sebab, Ketua Umum DPP PSI Kaesang Pangarep adalah putra Jokowi. "Tak mungkin tidak ada komunikasi," katanya.


Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie, Wakil Ketua Umum DPP PSI Andy Budiman, dan juru bicara PSI Sigit Widodo juga sempat dimintai konfirmasi soal ini. Namun ketiganya tidak menjawab pertanyaan Tempo.


Ketua Umum Pro-Jokowi (Projo)—kelompok pendukung Jokowi dalam Pemilihan Umum 2014 dan 2019—Budi Arie Setiadi merespons rencana Jokowi menjadi pemimpin koalisi besar partai tersebut. Menteri Komunikasi dan Informatika itu mengatakan agenda tersebut akan berjalan ketika Jokowi bergabung ke Golkar.


Dalam beberapa hari terakhir, santer terdengar kabar bahwa Jokowi diduga akan mengambil alih kendali Golkar. Partai berlambang beringin itu akan menggelar musyawarah nasional pada Desember tahun ini. Namun pelaksanaan munas itu berpeluang dipercepat sebelum berakhirnya masa jabatan Jokowi pada 20 Oktober mendatang.


Menteri Investasi Bahlil Lahadalia disebut-sebut sebagai tangan Jokowi untuk mengambil alih Golkar. Bahlil pun sudah mengisyaratkan akan berkontestasi dalam pemilihan Ketua Umum Golkar. Bahkan ia mengklaim sudah mendapat restu Jokowi.


Di lingkup internal Koalisi Indonesia Maju, Golkar merupakan peraih suara terbanyak dalam pemilu legislatif 2024. Perolehan suara sementara partai beringin hanya kalah oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang hampir pasti menjadi pemenang pemilihan anggota legislatif.


Adapun pemilihan presiden kemungkinan besar dimenangi Prabowo-Gibran. Hasil rekapitulasi suara pemilu oleh KPU hingga kemarin menunjukkan keunggulan pasangan nomor urut dua itu atas kedua rivalnya, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.


Ketua DPP Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono membantah adanya pertemuan pengurus partainya dengan PSI yang membahas rencana Jokowi memimpin koalisi partai penyokong Prabowo-Gibran. "Belum ada pembahasan di lingkup internal koalisi," kata Dave, kemarin.


Penjelasan Dave itu sejalan dengan keterangan Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi dan Sekretaris Jenderal DPP PBB Afriansyah Noor. Keduanya juga mengatakan lingkup internal Koalisi Indonesia Maju belum pernah membahas rencana mendorong Jokowi menjadi pemimpin koalisi. "Koalisi belum pernah membahasnya," kata Viva.


Jokowi belum pernah mengomentari ide PSI tersebut. Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana ataupun Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan Joanes Joko juga belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini.


Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin, mengatakan ide tersebut menunjukkan bahwa Jokowi berambisi terus berkuasa, yaitu dengan jalan menjadi pemimpin koalisi partai penyokong Prabowo-Gibran. "Usul ini hanya untuk kepentingan Jokowi dan PSI, bukan untuk kepentingan bangsa," ujarnya.


Ujang berpendapat, presiden terpilih dalam pilpreslah yang seharusnya menjadi pemimpin koalisi. Ia pun menilai Prabowo, jika ditetapkan sebagai pemenang piplres, akan merugi jika koalisi partai pendukungnya dipimpin Jokowi. Sebab, pengaruh Prabowo dipastikan akan berkurang dan melemah di hadapan koalisi.


Menurut Ujang, rencana menjadikan Jokowi sebagai pemimpin koalisi partai merupakan cara menggiring Indonesia kembali seperti Orde Baru, dengan satu figur mengendalikan semua partai.


Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, mengatakan ide tersebut justru menunjukkan bahwa PSI memang berada di tangan Jokowi. Ide itu sekaligus memperlihatkan partai itu masih mengedepankan personalisasi. "Padahal hal tersebut tidak bagus bagi demokrasi," ucapnya.


Menurut Arif, ide tersebut sesungguhnya strategi PSI untuk menguatkan posisinya di Koalisi Indonesia Maju. Sebab, posisi partai berlambang mawar itu di koalisi akan melemah ketika Jokowi tak lagi menjadi presiden. 


Arif menilai ide PSI itu akan sulit terealisasi. Ia mengatakan Jokowi harus memimpin sebuah partai jika ingin mengendalikan koalisi. "Sedangkan Jokowi bukan ketua umum partai," ujarnya.


Arif menduga kehadiran Jokowi sebagai pemimpin koalisi akan mempersulit komunikasi antarpartai karena mesti melalui koordinasi pemimpin koalisi. Padahal selama ini komunikasi antarpartai dilakukan secara langsung di antara para ketua umum partai yang bersangkutan. "Keputusan politik juga menjadi lambat," ujar Arif. 


Kerugian lain, kata Arif, hubungan antarpartai pendukung pemerintah dan oposisi tidak akan cair. Padahal dalam praktik pemerintahan selama ini tidak ada partai yang benar-benar berperan sebagai oposisi. Partai oposisi juga sering kali sejalan dengan keputusan pemerintah. 


Arif mengandaikan ketika Prabowo menjadi Presiden RI 2024-2029 dan Jokowi sebagai pemimpin koalisi partai pemerintah. Dalam situasi tersebut, Prabowo mungkin akan sulit berkomunikasi dengan PDIP, yang kemungkinan besar menjadi oposisi.


Kehadiran Jokowi di koalisi, kata Arif, akan menambah beban psikologis pemerintahan Prabowo. Sebab, hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Jokowi tidak harmonis selama pemilihan presiden. Karena itu, Prabowo akan lebih mudah berkomunikasi langsung dengan Megawati dibanding melalui perantara Jokowi sebagai pemimpin koalisi.


"Jokowi akan jadi beban anggota koalisi ketika dia menjadi perantara atau pemimpin koalisi," ucap Arif.


Pengamat politik dari Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, mengatakan ide PSI tersebut sulit direalisasi karena setiap partai punya kepentingan dan ideologi sendiri. Selain itu, ide menerapkan koalisi permanen tidak relevan dengan konteks politik Indonesia. "Kalau mau ada koalisi permanen, basisnya apa?" kata Agung.


Agung berpendapat koalisi permanen memang menguntungkan, yaitu membuat pemerintahan stabil. Namun situasi politik demikian akan berbahaya bagi demokrasi karena pengawasan legislatif bakal melemah. 


(Sumber: Koran TEMPO, Jumat, 15 Maret 2024)

Penulis blog