'Susilo Bambang Yudhoyono, Antara Bapak Demokrasi Versus Bapak Pengkhianat Demokrasi'
Surprise buat saya pagi tadi melintasi jalan Lenteng Agung (LA) Jakarta Selatan. Tepat di jembatan penyeberangan orang (JPO) antara stasiun LA dan pasar terpasang spanduk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menutup JPO itu.
Besarnya kira-kira 1,5×10 m2. Menariknya spanduk itu bertuliskan “Masih Ingat Saya Kan?”.
Dalam “top of mind” seluruh rakyat kita SBY seharusnya adalah Bapak Demokrasi kita. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena sejarah mengatakan demikian.
Berbeda dengan Prabowo di masa karir tentaranya, SBY sejak kolonel sudah mendorong tema-tema demokrasi di Indonesia.
Ketika dia menjadi Danrem di Yogyakarta, seluruh aktifis gerakan mahasiswa anti rezim otoriter Suharto ditangani SBY secara dialog, tidak ada kekerasan.
Pada tahun 1998, ketika SBY menjadi Ka Sosial Politik TNI atau Aster, SBY mendorong posisi TNI yang selama 30 tahun menjalankan praktek dwi-fungsi, yakni mengontrol juga kehidupan politik, menjadi ke arah tentara profesional.
Tentara tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan politik. Tentara cukup sebagai kekuatan negara yang berhadapan dengan kekuatan asing dan bila dibutuhkan polisi, atau pemerintah, dapat diperbantukan.
Lebih hebat lagi, ketika SBY menjadi presiden, dia menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF).
BDF ini menjadi kejutan bagi dunia karena negara yang hadir berkembang dari Beberapa negara menjadi 86 negara pada BDF IV.
Pembicaraan demokrasi di Asia menjadi diskursus penting. Dan SBY menjadi tokoh sentral dalam isu demokrasi di Asia kala itu.
Apakah SBY Masih Seperti Dulu?
Melihat spanduk di JPO Lenteng Agung itu, apakah kita masih mengingat SBY seperti itu? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab.
Sebab, di satu sisi SBY mendukung Prabowo-Gibran, yang jelas-jelas dipersepsikan merusak demokrasi. Khususnya terkait keputusan MKMK dan DKPP terkait pencalonan Gibran yang melanggar etika.
Dalam ukuran pemilu yang demokratis, sudah pasti SBY tidak mungkin bisa membenarkan berbagai langkah-langkah rezim Jokowi yang (berpotensi) curang dalam kemenangan Prabowo-Gibran.
Apalagi jika fakta-fakta kecurangan itu merujuk pada film “Dirty Vote” yang sedang viral. Namun, tampaknya SBY belum memberikan sikap tegas terkait potensi kecurangan pemilu ini.
Memang SBY memberikan angin segar ketika beliau bersikap positif atas sikap kritis kalangan civitas akademika yang heboh belakangan ini, terkait penegakan demokrasi.
Menurut SBY, suara-suara kampus itu tidak boleh diabaikan. Namun, sikap ini sesungguhnya masih terlalu lembut, jika merujuk SBY sebagai Bapak Demokrasi.
Memang SBY harus diapresiasi karena meminta pemilu jangan curang. Namun, mengapa SBY tidak mengutuk sekeras-kerasnya upaya pelemahan demokrasi di era pilpres ini?
Bukankah kecurangan demi kecurangan terencana secara sistematis? Apakah SBY tersandera kepentingan partai dan anaknya?
Inilah dilema dalam mengingat SBY. Apakah kita mengingat SBY sebagai Bapak Demokrasi? Ataukah SBY menjadi Bapak Pengkhianat Demokrasi?
Namun, dengan sisi positifnya, yakni SBY mengapresiasi kelompok-kelompok Professor kritis dan keinginan SBY agar pemilu berjalan dengan demokratis dan jangan curang, masih menyisakan harapan untuk mengenang SBY sebagai suhunya demokrasi kita.
Penutup
SBY dan demokrasi merupakan ibarat koin dengan dua sisinya. Namun, ketika SBY menginginkan orang mengingatnya, apa yang harus kita katakan? Apakah SBY Bapak Demokrasi? Atau justru SBY sedang mengkhianati demokrasi?
Ketegasan SBY untuk mengutuk berbagai (potensi) kecurangan pilpres harusnya ditunjukkan lebih keras lagi.
Langkah SBY mengapresiasi gerakan kampus yang kritis serta minta pemilu tidak curang, tentu perlu diapresiasi pula. Mudah-mudahan kita tetap mengenang SBY sebagai Bapak Demokrasi kita. ***