HUKUM POLITIK

Soal Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Apa Kata Para Pakar Hukum Tata Negara? Simak!

DEMOCRAZY.ID
Februari 23, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Soal Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Apa Kata Para Pakar Hukum Tata Negara? Simak!

Soal Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, Apa Kata Para Pakar Hukum Tata Negara? Simak!


DEMOCRAZY.ID - Sejumlah pakar hukum tata negara buka suara ihwal usulan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna mengusut kecurangan Pemilu 2024. Lantas, bagaimana pendapat mereka soal usulan hak angket tersebut?


1. Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid


Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, mengatakan DPR memang berhak menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. 


Tapi penggunaan hak tersebut seharusnya dalam konteks pengawasan terhadap lembaga eksekutif.


Hak angket, kata dia, bukan untuk menilai atau membahas proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya. 


Rencana penggunaan hak angket untuk menyelidiki kecurangan pemilu jauh dari prinsip konstitusional. 


Sebab, Undang-Undang Dasar sudah mengatur penyelesaian sengketa pemilu melalui Mahkamah Konstitusi, bukan lewat penggunaan hak angket.


“Jalan ke MK itu yang mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata Fahri.


2. Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto


Pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto, menilai hak angket DPR guna mengungkap kecurangan dalam Pemilu 2024 bisa menjadi pintu masuk pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo alias Jokowi.


Syaratnya, materi atau obyek hak angket harus berhubungan dengan temuan pelanggaran terhadap undang-undang atau kebijakan pemerintah yang strategis, penting, dan berdampak luas bagi masyarakat.


Menurut Agus, dugaan keterlibatan Presiden dengan mendukung salah satu pasangan calon presiden dan wakilnya bisa menjadi obyek hak angket. Temuan cawe-cawe Presiden harus dibuktikan dengan dokumen.


“Temuan itu kemudian bisa dipertentangkan dengan Undang- Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara,” ujar Agus saat dihubungi pada Kamis, 22 Februari 2024.


3. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura


Paka hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, berpendapat hak angket DPR ihwal dugaan kecurangan Pemilu 2024 juga bisa menghantarkan kepada pemakzulan Jokowi. 


Setelah hak angket diterima, kata dia, DPR dalam rapat paripurna merekomendasikan pembentukan tim khusus untuk melakukan penyelidikan.


Obyek penyelidikan berhubungan dengan dugaan keterlibatan Presiden mendukung salah satu paslon. 


Charles menjelaskan, keterlibatan itu bisa berupa temuan pengerahan aparat negara untuk mendukung kandidat tertentu hingga dugaan ketidaknetralan Presiden. 


“Tim itu harus melaporkan tugasnya paling lama 60 hari sejak dibentuk,” katanya.


Menurut Charles, temuan pelanggaran hukum dari hak angket itu bisa menjadi bahan untuk mengajukan pemakzulan presiden. Dalam proses itu, DPR akan menggunakan hak menyatakan pendapat. 


Hak tersebut adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam negeri atau di dunia internasional.


4. Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah,


Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, hak angket tidak akan mempengaruhi atau membatalkan hasil pemilu. Sebab, kewenangan pembatalan hasil pemilu ada di MK. 


Adapun pengusutan kecurangan pemilu dalam proses pemungutan suara ada di Bawaslu. Namun, Herdiansyah menilai hak angket perlu didukung sebagai upaya menjalankan fungsi pengawasan DPR.


Herdiansyah mengatakan proses pemakzulan melalui hak angket tersebut juga menghadapi tantangan. 


Sebab, pemakzulan baru bisa dilakukan bila berada dalam tahap hak menyatakan pendapat.


Tahap ini memerlukan dukungan 2/3 suara dari total anggota DPR yang berjumlah 575 orang. Gabungan kubu 01 dan 03 belum menjamin batas suara itu. 


“Paling tidak ada 384 suara setuju. Tapi gabungan kubu 01 dan 03 kanya 314 suara,” katanya.


Sumber: Tempo

Penulis blog