DEMOCRAZY.ID - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyerukan pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Hal ini seiring situasi demokrasi yang di Indonesia yang dianggap memburuk menjelang Pemilu 2024.
Faisal menyebut Indonesia saat ini seperti manusia yang sedang dihadapkan pada penyakit stroke ketiga.
Adapun stroke pertama, kata Faisal, terjadi pada 1965 dan stroke kedua pada 1998. Padahal, menurut dia, Indonesia belum pulih dari kedua stroke tersebut.
"Penyebab stroke ini tunggal. Namanya Jokowi," kata Faisal dalam acara Malam Tirakatan untuk Kejujuran dan Keadilan yang disiarkan langsung melalui YouTube Teater Utan Kayu, Senin, 12 Februari 2024.
Menurut Faisal, masih ada kesempatan bagi Jokowi untuk bertaubat. Caranya, dengan memerintahkan ASN, tentara, dan polisi, untuk netral dalam Pemilu 2024. Namun, menurut dia, hal tersebut juga mustahil.
"Kalau mustahil, wajib dijatuhkan secepat mungkin," kata Faisal. "Itu obatnya supaya kita tidak mengalami stroke ketiga. Karena masa ketiga, biasanya sudah dekat kepada kematian."
Faisal menuturkan, Indonesia harus dirajut kembali. Karena itu, penyebab stroke harus segera disingkirkan.
"Jadi, jatuhkan Jokowi, makzulkan Jokowi segera mungkin, supaya muncul rajutan yang kian erat, yang membawa Indonesia selamanya menjadi negeri yang menyejukkan bagi semua."
Belakangan ini, Presiden Jokowi tengah menjadi sorotan. Ia ditengarai melakukan kecurangan Pemilu 2024 untuk memenangkan Capres-Cawapres nomor urut dua Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Teranyar, dugaan kecurangan Jokowi diungkap dalam film Dirty Vote yang dirilis Ahad kemarin, 11 Februari 2024.
Dalam film yang disutradarai Dandhy Laksono tersebut disebutkan bahwa Jokowi diduga mengerahkan lembaga negara untuk membantu pemenangan Prabowo-Gibran.
Rentetan dugaan kecurangan tersebut dipaparkan tiga ahli hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Salah satu isu yang disorot dalam film ini adalahh dugaan penyalahgunaan wewenang kepala desa.
Sebab, Zainal Arifin menyebut, desa menjadi wilayah pertarungan untuk memperebutkan suara. Ia lantas mengatakan ada empat wewenang kepala desa yang bisa disalahgunakan.
Keempat hal tersebut meliputi data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bantuan sosial (Bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan langsung tunai atau BLT, serta wewenang alokasi Bansos.
"Kasus penyelewenangan dana desa sangat mungkin dikonversi menjadi alat tukar dukungan politik," kata Zainal.
Selanjutnya, Bivitri menyoroti gelontoran bantuan sosial atau Bansos yang berlebihan. Anggarannya bahkan melebihi anggaran Bansos ketika pandemi Covid-19. Penyalurannya pun tidak dilakukan dengan sesuai, karena tidak melibatkan Kementerian Sosial.
Padahal, Bivitri berujar, Banssos merupakan fasilitas negara yang harus disalurkan sesuai struktur kenegaraan.
"Barangkali karena kebetulan Menteri Sosial saat ini dari PDIP yang sudah berseberangan dengan penerus Jokowi," ujarr Bivitri.
Bivitri pun meminta agar Bansos dikembalikan ke tujuan awal bahwa Bansos bukan bantan politik dan pejabat.
Ia mengatakan Bansos sebagai cara cepat melaksanakan amanah sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, untuk mengimplementasikan pasal 34 UUD 1945, bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihra negara.
Sementara itu, Feri Amsari memaparkan dugaan kecurangan Pemilu 2024 oleh Presiden Jokowi melalui penunjukkan 20 PJ kepala daerah dan pemekaran wilayah di Papua. Langkah tersebut ditengarai sebagai langkah mengamankan suara.
Pasalnya, Feri menuturkan, 4 wilayah baru hasil pemekaran Papua bisa langsung mengikuti Pemilu 2024. Hal tersebut berbeda dengan pemekaran wilayah Kalimantan Utara atau Kaltara.
"Pengalaman provinsi baru Kaltara yang didirikan 2013 tidak bisa ikut Pemilu 2024. Mereka harus nunggu 6 tahun untuk bisa ikut Pemilu 2019," tutur Feri.
"Itu sebabnya apa yang terjadi di Papua menjadi sangat penting untuk bicarakan sebaran wilayah."
Sumber: Tempo