'Runtuhnya Etika dan Moral Dalam Politik Gentong Babi Jelang Pemilu 2024'
Bahasan etika dan moral kembali mencuat menjelang kontestasi politik Pemilu 2024. Etika dan moral seringkali dianggap sama dalam percakapan sehari-hari, tetapi sebenarnya keduanya memiliki perbedaan yang penting dalam konteks pemerintahan.
Secara umum, moral merujuk pada aturan atau prinsip tentang perilaku yang baik dan buruk, sementara etika merupakan kajian atau analisis filosofis tentang prinsip-prinsip tersebut tanpa memberikan penilaian langsung atas mana yang benar atau salah.
Aristoteles, salah satu tokoh filsuf klasik terkemuka, menganggap etika sebagai upaya untuk mewujudkan kebahagiaan individu, sementara politik bertujuan mencapai kesejahteraan seluruh masyarakat.
Dalam konteks pemerintahan, etika memiliki peran yang penting dalam membentuk panduan perilaku dan pengambilan keputusan bagi para pemimpin terpilih, anggota parlemen, staf politik, dan pelayan publik.
Etika pemerintahan melibatkan pengembangan aturan dan pedoman yang menuntun sikap dan perilaku para aktor dalam lembaga pemerintahan. Ini mencakup tanggung jawab moral dalam menjalankan kekuasaan, mengambil keputusan yang adil dan transparan, serta memastikan kesejahteraan seluruh rakyat menjadi prioritas utama.
Para pemimpin terpilih, seperti presiden dan kabinet menteri, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan keputusan dan tindakan mereka sesuai dengan kepentingan publik dan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat.
Anggota parlemen juga diharapkan dapat bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika dalam menentukan kebijakan dan mengawasi tindakan pemerintah. Staf politik dan pelayan publik harus mengikuti pedoman etika dalam menjalankan tugas mereka.
Sebab, ini merupakan kewajiban untuk berintegritas, menghindari konflik kepentingan, serta memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal ini dituangkan dalam Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Bab II Poin ke 2, yang menyatakan ”etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Dalam keseluruhan, etika pemerintahan bukanlah hanya tentang mematuhi hukum atau peraturan formal, tetapi juga tentang mengadopsi sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral yang diakui secara luas oleh masyarakat.
Ini memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan dan legitimasi pemerintah, serta menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Dengan memahami perbedaan antara moral dan etika, serta menerapkan prinsip-prinsip etika dalam konteks pemerintahan, kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk pemerintahan yang berintegritas dan bertanggung jawab. Harapannya, ke depan akan menghasilkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Lantas, apakah ada keterkaitan antara etika dan politik pork barrel (politik gentong babi)?
Frasa "gentong babi" berasal dari praktik memberikan daging babi asin kepada para budak kulit hitam pada masa Perang Saudara (1861-1865).
Istilah "gentong babi" bernada menghina dan merendahkan. Adapun pengertian pork barrel atau politik gentong babi adalah politik distribusi dengan menyalurkan sumber daya seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain sebagainya kepada daerah pemilihan atau daerah tertentu oleh elite politik.
Biasanya, politik gentong babi menggunakan kebijakan-kebijakan populis yang justru seringkali malah mengabaikan azas manfaat dari suatu kebijakan. Dengan adanya program populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan efisien kepada masyarakat.
Faktanya di lapangan, sangat sulit melihat ketulusan para kontestan politik. Karena, di dalamnya terdapat dua praktik yang terkesan mirip, yakni money politics dan pork barrel. Di mana money politic secara terang-terangan memberikan sesuatu untuk rakyat dan meminta imbalan untuk mendapatkan suara. Sementara pork barrel alias politik gentong babi menggunakan anggaran pemerintah untuk memberikan bantuan demi mendapatkan suara rakyat.
Sebenarnya politik gentong babi sudah lama berlangsung di Indonesia, terutama para petahana yang berkompetisi kembali atau kerabat petahana yang maju dalam pemilu. Contoh konkretnya, beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan fenomena pembagian bansos yang anggarannya melebihi dari anggaran bansos saat negara terjebak dalam krisis COVID-19. Jejak perusakan nilai etika pemerintah dapat kita lihat dari jejak digital para menteri selaku ketua partai dan anggota koalisi Indonesia Maju.
"Siapa yang memberikan bansos sama BLT?" Tanya Zulkifli Hasan selaku Ketum PAN dan Menteri Perdagangan RI. Tak lama, audiens lantas membalas, "Pak Jokowi!" "Pak Jokowi itu PAN. PAN itu Pak Jokowi," kata Zulkifli menegaskan. "Makanya kita dukung Gibran,” sambungnya lagi.
Selain itu, pada 9 Januari 2024 saat sidang kabinet di istana negara, Presiden Jokowi mengumumkan kembali perluasan program bansosnya. Kali ini, bantuan beras dan BLT El Nino sama-sama diperpanjang penyalurannya hingga Juni 2024.
Pada 15 Januari 2024, giliran Airlangga selaku Ketum Golkar dan Menteri Koordinator Perekonomian RI yang menggunakan "kartu bansos" saat menemui keluarga penerima bantuan beras di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Banyak orang yang jeli melihat skema ini, tidak terkecuali Menteri Keuangan RI Sri Mulyani. "Tahun ini 2024, bansos di dalam APBN kita nilainya Rp 496 triliun, jadi beda Rp 20 triliun," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK di kantornya, Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Dalam hal ini, publik melihat kepentingan presiden dan koalisinya dalam bansos untuk mendongkrak elektabilitas Anak kandungnya, yang terlibat dalam kontestasi pemilihan presiden 2024.
Praktik politik gentong babi praktis menimbulkan konflik etika dalam pemerintahan karena dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Politik gentong babi juga dapat menciptakan personalisasi terhadap barang publik, di mana elite politik berkedok sebagai pemimpin yang adil namun sebenarnya bermaksud untuk mencapai kepentingan politis dan eksistensi elite itu sendiri.
Hal ini tentu melanggar prinsip-prinsip etika pemerintahan yang mengharuskan pemimpin dan pejabat publik bertindak dengan integritas, transparansi, dan pelayanan kepada masyarakat. Praktik politik gentong babi ini juga menimbulkan personalisasi terhadap barang publik, seolah elite merupakan ratu adil yang benar-benar peduli pada rakyatnya. Padahal, di balik hal tersebut ada kepentingan politis untuk menjaga loyalitas dan eksistensi elite.
Runtuhnya etika dan moral dalam politik gentong babi menjadi praktik yang mengandung konotasi negatif. Sebab, di dalamnya terdapat aktivitas politis yang menggunakan uang negara demi mewujudkan kepentingan politiknya. Bahkan tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Padahal, etika dan moral harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang tulus, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Di sinilah nilai etika dan moral harus di kedepankan sebagai pemimpin atau pejabat publik yang menjauhi praktik-praktik yang terindikasi politik gentong babi, sehingga memperkuat etika dan moral pemerintah.
Sumber: Kumparan