DEMOCRAZY.ID - Indonesia akan segera memiliki Presiden baru pengganti Presiden Joko Widodo. Berdasarkan hasil sementara hitung cepat, pengganti itu adalah Prabowo Subianto.
CNBC Indonesia mengumpulkan pandangan sejumlah ekonom mengenai tantangan ekonomi yang dihadapi presiden baru yang akan memimpin Indonesia kelak. Hasilnya sama, siapapun presidennya menahkodai kapal sebesar Indonesia tidak akan mudah.
Presiden baru punya pekerjaan rumah menggenjot ekonomi RI hingga ke level 6-7% per tahun.
Bila target itu tak tercapai, maka Indonesia akan terjebak menjadi negara dengan pendapatan menengah.
Alih-alih menjadi negara kaya, Indonesia akan menjadi negara dengan mayoritas penduduk tua yang miskin.
Kondisi global yang penuh ketidakpastian akan menjadi penghalang untuk mengejar target itu.
Ditambah kondisi dalam negeri yang juga penuh tantangan, maka ucapan selamat bekerja ekstra keras rasa-rasanya cocok diberikan kepada sosok presiden baru itu.
Berikut ini merupakan analisis 7 ekonom mengenai masa depan ekonomi Indonesia di bawah presiden baru dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh orang nomor 1 di negara ini kelak.
1. Ekonom Senior dan Dosen Universitas Indonesia Chatib Basri
Mantan menteri keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Chatib Basri memberikan saran kepada presiden baru Indonesia yang terpilih kelak. Hal ini dipaparkannya dalam wawancara dengan CNN, dikutip Kamis (15/2/2024).
Menurutnya, siapapun presiden yang terpilih, Indonesia butuh akselerasi ekonomi. Ini mutlak harus dilakukan karena Indonesia akan menuju aging population pada 2050.
"Jadi kesempatan untuk Indonesia hanya tinggal 26 tahun lagi dari saat ini. jadi siapapun presidennya butuh mendorong pertumbuhan ekonomi mulai dari 6% sampai 7%," kata Chatib.
Oleh karena itu, presiden baru Indonesia harus bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah 6%-7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih di sekitar 5%.
Kinerja tersebut, kata Chatib, cukup baik. Namun, dia memastikan tidak akan cukup untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan pendapatan menengah atau middle income trap.
"Jadi saya percaya siapapun yang jadi presiden itu butuh mencapai pertumbuhan 6%-7%, mereka harus mencari jalan keluar untuk itu," tegasnya.
Untuk mencapai pertumbuhan tinggi ini, Chatib mengungkapkan Indonesia butuh kontribusi investasi ke PDB sebesar 41%-48%.
Saat ini, kontribusinya baru mencapai 35%. "Jadi ada saving investment gap yang cukup besar," ujar Chatib.
2. Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai tugas terberat presiden baru adalah menggenjot ekonomi hingga ke level 6-7%. Hanya dengan cara itu kue pembangunan akan bisa dinikmati oleh masyarakat.
Dia menyebut kunci untuk mencapai target tersebut adalah dengan membuat Indonesia punya lebih banyak saing di berbagai sektor.
Selain itu, dia mengatakan presiden baru harus memastikan pembangunan yang lebih inklusif, baik secara vertikal dan horizontal.
Vertikal maksudnya pembangunan bisa dirasakan oleh semua kelompok ekonomi masyarakat. Sementara horizontal pembangunan harus merata di seluruh wilayah Indonesia.
Itu adalah tantangan jangka panjang yang harus diselesaikan presiden. Andry mengatakan untuk tantangan jangka pendek, presiden baru harus memastikan pasokan pangan dan energi Indonesia aman.
"Memastikan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap volatilitas Global terutama pangan dan energi," kata dia.
3. Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan presiden baru akan menghadapi tantangan dari dalam dan luar negeri.
Dari sisi global, kata dia, presiden baru akan langsung dihantam kenyataan pertumbuhan ekonomi dunia sedang melemah. Hal tersebut tentu akan berpengaruh ke kinerja ekspor-impor dan harga komoditas andalan RI.
Tauhid menilai dalam jangka pendek era suku bunga tinggi juga akan masih bertahan. Dia bilang dengan era suku bunga tinggi ini, presiden baru akan dibuat pusing. Sebab, itu akan mempengaruhi sikap investor dalam menanamkan investasinya ke Indonesia.
"Dalam jangka pendek ini kita masih akan lihat era suku bunga tinggi terjadi," kata dia.
Tauhid mengatakan tantangan dari dalam negeri tak kalah peliknya. Pertama, dia menyoroti masalah inflasi RI yang cenderung tinggi karena kenaikan harga pangan.
Dia menilai bila masalah beras ini tidak segera dicari solusi jangka panjangnya, maka tingkat konsumsi masyarakat akan terus tertekan.
Dia berkata pelemahan kinerja ekspor RI juga akan berpengaruh ke industri dalam negeri, seperti di sektor tekstil, alas kaki dan furniture.
Dia mengatakan penurunan ekspor itu bisa berdampak luas, yakni PHK besar-besaran pekerja di sektor tersebut. "Ini yang harus diwaspadai oleh siapapun presidennya," kata dia.
4. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai para investor tidak hanya menunggu siapa pemenang Pilpres, namun juga siapa pengisi kabinet sang presiden terpilih itu. Menurut dia, hal ini sangat krusial terutama yang mengisi pos-pos menteri bidang ekonomi.
"Jadi belum tentu dengan hasil satu putaran investor tidak melakukan wait and see, bisa jadi sikap itu berhenti ketika menteri dan kabinet baru diumumkan," kata dia.
Bhima menekankan analisisnya pada skenario satu putaran, dimana sejauh ini Prabowo Subianto memimpin klasemen.
Dia beranggapan Prabowo dengan tema keberlanjutan akan melanjutkan program-program Jokowi, salah satunya hilirisasi.
Dengan skenario itu, kata dia, maka investor yang datang ke Indonesia cenderung masih didominasi dari Tiongkok.
"Proyek hilirisasi belum mendukung keberadaan investor dari negara barat, masih ada kecenderungan investasi didominasi dari Tiongkok," kata dia.
Bhima mengatakan Prabowo juga akan dihadapkan pada tantangan menjalankan visi-misinya sendiri yaitu makan siang dan susu gratis. Dia menilai kebijakan ini membutuhkan dana yang sangat besar.
"Maka yang paling penting ke depan dengan program super populis apakah dari sisi ketersediaan anggaran itu ada dan kalaupun harus dicari dengan geser anggaran jangan sampai mengganggu program lainnya," kata dia.
5. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pekerjaan besar presiden baru adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Josua mengatakan pemerintah harus berupaya untuk meningkatkan produktivitas dari perekonomian, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia maupun teknologi produksi sehingga dengan input yang sama, dapat menghasilkan output yang lebih besar.
"Peningkatan produktivitas dapat mendorong naik pertumbuhan ekonomi jangka panjang alamiah Indonesia," kata Josua.
Menurutnya, kunci untuk membawa Indonesia mencapai target negara maju 2045 adalah transformasi struktural.
Jika hal tersebut dilakukan maka kemungkinan Indonesia tumbuh 6% per tahun akan dapat diwujudkan.
Maka akselerasi transformasi struktural menjadi penting agar cita-cita tersebut dapat terwujud. Josua menambahkan akselerasi pertumbuhan ekonomi akan bergantung pada seberapa cepat transformasi struktural Indonesia dan ketahanan Indonesia dalam menghadapi VUCA.
"Indonesia juga punya peluang karena ada bonus demografi. Jadi jika Indonesia dipenuhi oleh skilled labor, maka dampaknya cukup dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi," katanya.
Dari sisi domestik, tantangan pada periode tersebut adalah dari konsistensi keberlanjutan kebijakan transformasi struktural karena dari sisi politik terdapat kecenderungan mengambil kebijakan-kebijakan jangka pendek.
Transformasi struktural tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek saja, padahal ini cukup penting karena memberikan pondasi untuk ke depan agar ekonomi dapat akselerasi ke depannya.
Tentunya hal ini juga didukung oleh peningkatan pada hal kepastian hukum, regulasi, menurunnya permasalahan KKN dan isu-isu sosial.
6. Direktur Eksekutif CORE Indonesia M. Faisal
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai tantangan utama presiden baru adalah memastikan Indonesia dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Dia mengatakan cara untuk mencapai tujuan itu adalah dengan mengejar pertumbuhan ekonomi 6-7% per tahun.
Menurut Faisal, presiden baru tidak bisa hanya meneruskan program-program yang dilakukan oleh Jokowi. Sebab, selama 10 tahun ini jurus yang diandalkan Jokowi hanya bisa membuat pertumbuhan ekonomi berada di level 5%. "Harus ada kebijakan yang lebih manjur dan lebih cepat," kata dia.
Dia mengatakan kebijakan hilirisasi Jokowi memang bisa dilanjutkan, namun program itu harus dipastikan bisa menumbuhkan industri di dalam negeri.
"Hilirisasi selama 5 tahun dijalankan sendiri punya catatan kelam, dari sisi lingkungan, sisi sosial dan tata kelola antar pelaku bisnis, itu perlu diperbaiki," ujarnya.
Selain hilirisasi, dia mengatakan presiden juga punya pekerjaan besar yaitu menciptakan lapangan kerja.
Dia mengatakan efek pandemi terhadap meningkatnya pengangguran belum berakhir. Pembukaan lapangan kerja ini, kata dia, harus dibarengi dengan peningkatan kualitasnya.
"Tantangannya adalah menciptakan lapangan kerja yang masif, tapi juga punya kualitas," kata dia.
Faisal mengatakan untuk menjalankan program hilirisasi dan program kesejahteraan juga memiliki tantangan dari sisi anggaran. Ketika ada program baru tanpa ada pengelolaan anggaran, maka yang terjadi adalah beban utang yang bertambah.
"Hilirisasi misalnya itu kan untuk bisa menarik investor luar harus ada insentif pajak dan tax holiday, itu sebenarnya kan juga belanja," kata dia.
7. Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Riefky mengatakan presiden terpilih akan langsung disambut dengan harga komoditas yang melemah. Permintaan global yang menurun, kata dia, akan berpotensi berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
"Bagaimana kemudian pemerintah baru bisa menavigasi tantangan global di jangka pendek ini jadi tantangan utama," kata dia.
Dia menilai dalam 5 tahun presiden baru harus bisa membangun pondasi yang kuat untuk mencapai Indonesia maju.
Menurut dia, tanpa pondasi yang kuat itu, maka Indonesia tidak perlu terlalu khawatir dengan ketidakpastian global yang mungkin akan berlangsung lebih lama dan silih berganti.
Sumber: CNBC