CATATAN POLITIK

'Politik Identitas dan Politik Pemalsuan Identitas'

DEMOCRAZY.ID
Februari 20, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Politik Identitas dan Politik Pemalsuan Identitas'
'Politik Identitas dan Politik Pemalsuan Identitas'


'Politik Identitas dan Politik Pemalsuan Identitas'


Oleh: M Yamin Nasution

Pemerhati Hukum


Bertahun-tahun kata ‘politik identitas’ seolah-olah menjadi satu kalimat yang kuat untuk menghilangkan semangat penegakan keadilan yang harus di junjung tinggi oleh ummat islam.


Sebagai golongan terbesar, islam memang di ajarkan oleh Al-qur’an untuk terus berbicara tentang ketidakadilan, islam bahkan di perintah untuk menegakkan keadilan.


Selama pemerintahan di pimpin oleh Jokowi, dua kata ini, ‘politik identitas’ seolah-olah hanya tertuju pada golongan Islam. Bahkan Jokowi mengatakan dengan tegas untuk “Memisahkan Agama dengan Politik”.


Pernyataan ini juga di aminkan oleh mereka-mereka yang tidak memahami antara kejahatan, agama, dan kejahatan dibalik agama.


Politik Identitas


Indonesia secara geographik adalah identitas, bukan politik. Pernyataan ini disebut oleh peneliti sosiologi dan hukum adat Belanda, sekaligus misionaris kristen yaitu Ter Haar dalam buku Adat Recht, penelitian ini juga di tulis ulang kedalam Bahasa Inggris oleh dua Associates Prof asal Amerika Serikat, Arthur Schiller dan Adamson Hoebel (Adat Law In Indonesia, 1967).


Indonesia secara geographik adalah Identitas, artinya setiap kehidupan masyarakat Indonesia memiliki identitas yang kuat, baik dari sisi penamaan, marga, rambut, aksen, dan seterusnya, termasuk Agama.


Identitas menyatu dalam kehidupan fisik dan batin (jiwa), mustahil seseorang dapat memisahkan antara identitas fisik dan identitas batiniah, bahkan identitas batiniah akan menjadi landasan dalam aktivitas sehari-hari. Demikian pula dengan latar belakang agama yang di terima seseorang sejak kecil.


Dalam bahasa Prancis identitas disebut “identité, ydemtité, ydemptité”  kesamaan kualitas. Dalam bahasa Indonesia berasal dari dasar kata “Ide” dan “Entitas”


Pertanyaan utama adalah, dapatkah Identitas ini berubah? ya dapat, namun seseorang yang dibesarkan dengan identitas, akan sangat sulit melepas identitas, khususnya identitas batiniah (jiwa).


Setiap ide, atau ideologi tidak dapat bersifat pasti selama seseorang masih memiliki nyawa, dia dapat berubah, bahkan potensial berubah setiap detik, potensi perubahan setiap detik berkaitan dengan ide ide yang ringan (Baca: Comte Antonio Louis Destut De Tracy, 1825  Élémen D’Idéologie)


Hidup dalam kehidupan terbagi atas tiga, yaitu; masa lalu, masa kini dan yang akan datang, secara ruang dan waktu ketiga kehidupan ini terpisah, namun secara psikologis (kejiwaan), apa yang dilakukan saat ini, dan yang akan datang, secara psikologis (kejiwaan) adalah satu kesatuan. Inilah bagian sejarah terdalam kehidupan manusia dan dalam konsep kehidupan bernegara.


Lalu bagaimana bila suatu kelompok dengan identitas Agama melakukan kejahatan? Montesquieu dalam buku Semangat Hukum (De’l Esprit Des Loi) mengatakan: Apabila suatu kelompok disakiti, namun suatu hari mereka berkuasa, dan membalas apa yang dulu di alaminya dengan latar belakang agama, perbuatan pembalasan itu adalah kejahatan, walaupun dibelakangnya ada simbol Agama.


Politik Pemalsuan Identitas


Politik Pemalsuan Identitas adalah suatu politik yang dilakukan dengan berpura-pura agamis, menggunakan latar belakang agama, budaya, adat, yang palsu.


Pura-pura merakyat, pura-pura agamis, semua aktivitas politik dilandaskan kebohongan demi mendapatkan suara dan perhatian dari masyarakat.


Ir. Soekarno dalam Tujuh Indoktrinasi mengatakan; gotong royong adalah suatu semangat kebersamaan, adanya kesamaan antara ucapan dan action, apabila antara ucapan dan action berbeda, ini adalah lip service.


Kesimpulan


Politik tertinggi dalam politik identitas adalah politik yang disandarkan pada nilai-nilai agama, nilai-nilai budaya, setiap orang dengan latar belakang budaya yang kuat, lalu memilih suatu agama, bila budaya nilai-nilai budaya bertentangan dengan agama, secara kesadaran pribadi harus meninggalkannya., sehingga tidak menjadi penyebab pertikaian.


Dalam  kehidupan masyarakat yang majemuk, hal ini menjadi salah satu fungsi dasar negara dalam konsep penganut klasik liberal, secara umum dikenal sebagai: Berbeda beda tetap satu jua (Unity in Deversity).


Negara penganut Klasik liberal harus menghidupkan nilai-nilai agama, budaya, dan adat istiadat, setiap golongan harus menjaga, nilai-nilai yang ada, dan dalam kehidupan demokrtisnya mereka dibatasi atas hal-hal ini (tertuang pada Pasal 28 J ayat (2) UUD-NRI 1945).


Konsep ini pembeda antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Eropa yang melandaskan pada Persatuan dalam Perbedaan (Deversity within Unity), masyarakat Eropa memiliki latar belakang agama, budaya dan adat istiadat, namun mereka hidup untuk kepentingan hidup dan dilindungi oleh pemerintah semata, tidak peduli tetangga, agama, budaya dan agama dipisahkan dengan negara, walaupun secara piskologis sangat berat.


Melalui Politik identitas yang memahami nilai tertinggi pada sila pertama, maka seorang pemimpin akan melahirkan sila ke lima, pemimpin tidak akan berbohong, ingkar janji-janjinya.


Bila seorang Presiden memahami hakekat teologis, maka dia malu berdusta, dia tidak akan menggunakan kekuasan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, tidak akan melanggar hukum tertinggi, tidak akan menjadi penyebab yang menimbulkan kekisruhan besar dalam bernegara. ***

Penulis blog