DEMOCRAZY.ID - Pemilihan presiden (pilpres) RI terus membawa perhatian asing. Bukan hanya media, pengamat asing juga menyorotinya.
Soal calon presiden (capres) misalnya. Prabowo Subianto, nomor urut 2, juga mendapat perhatian besar. Salah satunya pengamat Universitas Murdoch, Australia Barat, Ian Wilson.
Dalam tulisannya berjudul 'An Election to End All Elections?' yang diterbitkan di situs Fulcrum ia membeberkan "ramalan" situasi Indonesia jika Prabowo menang pemilu. Situs itu teraviliasi dengan ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.
"Pemilihan umum presiden dan legislatif di Indonesia mendatang akan dilangsungkan dengan latar belakang meningkatnya dukungan partai dan legislatif terhadap gagasan perampingan skala pemilihan langsung. Apa arti kepresidenan Prabowo bagi masa depan demokrasi elektoral?" muat pembukaannya, dikutip Jumat (2/2/2024).
"Berada di spektrum politik Indonesia yang beraliran sayap kanan nasionalis, partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo menolak apa yang mereka klaim sebagai arah reformasi, pasca reformasi tahun 1998-1999 yang bersifat liberal-demokratis. Gerindra menganjurkan kembalinya sistem berdasarkan UUD 1945 yang asli," tulisnya lagi.
Ia menyinyalir keinginan membawa ke UUD 1945 yang asli, berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002.
Di mana itu mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun).
"Sikap Prabowo dan Gerindra lebih dari sekedar retoris," paparnya.
"Pada akhir tahun 2014, setelah kalah dalam pencalonan pertamanya sebagai presiden dari Jokowi, Prabowo memimpin koalisi parlemen multi-partai yang mengesahkan RUU Pemilu yang mengembalikan- meskipun untuk sementara- situasi sebelum tahun 2005 yang memungkinkan penunjukan kepala daerah, termasuk gubernur oleh parlemen," tambahnya mengungkit 2014.
Menurutnya jika Prabowo menjadi presiden mungkin terdapat perluasan pendekatan pemerintahan yang 'tanpa oposisi'. Di mana semua pihak dibingkai dengan label "persatuan".
Hal ini, kata Wilson, tidak akan dilakukan dengan represi terang-terangan, namun dengan kooptasi ke dalam koalisi besar berkuasa. Di mana kolaisi itu dikelola melalui negosiasi serta kesepakatan antar-elit.
"Logika dari pendekatan ini, yang sudah dianut oleh Jokowi, adalah untuk menghilangkan oposisi di parlemen dan membatasi munculnya basis kekuatan yang saling bersaing," jelasnya.
"Prabowo mengatakan bahwa ia bermaksud untuk melibatkan 'semua pihak' dalam pemerintahan di masa depan. Hal ini mirip dengan model yang berbasis 'musyawarah' integralis, seperti yang diharapkan dalam UUD 1945, dan berfungsi untuk lebih memperkuat kekuasaan eksekutif," jelasnya lagi.
Ia pun meyakini mungkin saja, jika Prabowo mampu mempertahankan popularitasnya kekuatan otoriter muncul. Di mana pemilihan langsung tak akan terjadi lagi.
"Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pasca tahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung," tutupnya.
Sumber: CNBC