'PDI Perjuangan di Simpang Jalan'
Pertanda kemenangan Prabowo-Gibran dari hasil hitung cepat Pilpres 2024 menggiring PDI Perjuangan ancang-ancang mengambil sikap siap menjadi oposisi.
Tingginya hasil hitung cepat ataupun real count mengantarkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendekati kemenangan Pilpres 2024. PDI Perjuangan berancang-ancang menjadi oposisi pemerintah. Partai pengusung Ganjar Pranowo-Mahfud Md tersebut mendaku mendapat panggilan ‘memperjuangkan demokrasi’, yang dianggap telah menyimpang.
“Jadi 2024 ini, kemungkinan besar kami tetap berpegang pada komitmen itu, perjuangan itu. Jadi bisa saja kami tetap ada di luar pemerintahan untuk melakukan kritik, menjadi penyeimbang, menjadi pengawas, mengawasi jalannya pemerintahan untuk tujuan demokrasi itu bisa tercapai. Itu tugas suci. Panggilan sejarah PDI Perjuangan di situ,” tegas Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun kepada detikX melalui sambungan telepon, Jumat (16/2/2024).
Penyimpangan demokrasi itu, kata Komarudin, dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan cara menggunakan kekuasaan dan instrumen negara untuk memuluskan jalan Gibran, putranya, menjadi cawapres. Jokowi dianggap mengingkari proses demokrasi yang dibangun sejak era Reformasi 1998.
“Penyimpangan itu jelas, jadi Pak Jokowi ini kan dia orang biasa yang berkesempatan masuk Istana karena ada jalan reformasi. Pemilu ‘98 itulah yang buka pintu sehingga beliau menjadi presiden. Kalau tanpa itu, tidak mungkin orang biasa jadi presiden. Pasti dari militer atau darah biru, kan. Nah, tetapi seketika Jokowi jadi presiden itu, malah menggunakan kekuasaan dan instrumen negara untuk mengurus keluarganya,” jelasnya.
Komarudin memantik kembali pengalaman PDI Perjuangan pernah menjadi oposisi kala pemerintahan Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, PDI Perjuangan konsisten mengkritik dan mengevaluasi kebijakan pemerintah.
Lebih jauh lagi selama masa Orde Baru, PDI Perjuangan menjadi partai yang keras melawan kebijakan Soeharto meski pemerintahan saat itu menihilkan partai oposisi. Ini menyebabkan PDI Perjuangan sempat dilarang mengikuti pemilu pada 1997.
“Negara dibawa ke arah militerisasi waktu itu ya, (selama) 30 tahun. Di situ PDI Perjuangan terpanggil, Ibu Mega (Megawati Soekarnoputri) muncul dan memimpin sejarah Reformasi ‘98. Nah, dalam perjalanan sampai Reformasi ke sini, muncul lagi ada penyimpangan yang dilakukan Pemilu 2024 ini. Yang dilakukan ini lebih parah lagi. Yang dilakukan oleh penguasa,” terang Komarudin.
Kendati demikian, Komarudin mengatakan keputusan akhir posisi PDI Perjuangan dalam pemerintahan mendatang masih menunggu hasil akhir Pemilu 2024, yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain itu, PDI Perjuangan akan menggunakan mekanisme partai dengan membahasnya dalam rapat berskala nasional.
“Kami ada di dalam atau ada di luar, saya kira sikap Ibu Mega jelas, karena Ibu Mega mau kami kumpul-kumpul saja di pemerintahan, saya kira kemarin kita sudah kumpul, tapi kan Ibu harus masih tetap pegang teguh pada komitmen perjuangan terhadap demokrasi,” tutur Komarudin.
Komarudin juga kembali meneguhkan pernyataan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terkait dengan sikap partai menghadapi dinamika politik terkini. Keadaan sekarang, diklaim Hasto, mirip dengan dugaan kecurangan Pemilu 2009 ketika terjadi manipulasi daftar pemilih tetap (DPT) sehingga DPR membentuk hak angket. Hasto juga menyebut PDI Perjuangan juga pernah memperjuangkan pemilih di luar negeri yang tak bisa melaksanakan hak pilihnya karena faktor administratif.
"Kecurangan dari hulu ke hilir memang benar terjadi. Hanya, kita berhadapan dengan dua hal. Pertama, pihak yang ingin menjadikan demokrasi ini sebagai kedaulatan rakyat tanpa intervensi mana pun. Kemudian, pihak yang karena ambisi kekuasaan dan ini diawali dari rekayasa hukum di Mahkamah Konstitusi," kata Hasto dalam keterangan tertulis, Kamis (15/2/2024).
Sementara itu, Deputi Politik 5.0 TPN Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto, menyebut ada tiga langkah Megawati dalam memutuskan apakah akan berada di dalam atau di luar pemerintahan.
“Ada penilaian ideologis, ada penilaian relasi elite, lalu ketiga baru ada penilaian tentang kepentingan strategis. Yang mau diusung bareng-bareng selalu tentang tiga itu. Tapi kalau misalnya ideologinya sudah nggak ketemu, ya sudah, langsung mati,” ucap Andi ketika ditemui detikX, Jumat (16/2/2023).
Dari situ nantinya bisa dilihat apakah ketiga itu berbenturan dengan Prabowo Subianto jika kelak ia menjadi presiden. Menurut Andi, ada kesamaan kecenderungan ideologis antara Megawati dan Prabowo, yakni sama-sama nasionalis. Sedangkan untuk simbol elite, dibanding dengan Prabowo, benturan keras lebih terlihat pada Megawati dengan Jokowi.
“Selama proses politik ini, lebih banyak benturannya dengan Pak Jokowi daripada dengan Pak Prabowo. Yang ketiga, apakah kepentingan strategis yang untuk Indonesia berbeda secara signifikan?” kata Andi tak menjelaskan lebih jauh.
Partai Lain Belum Gamblang Tentukan Posisi
Berada di puncak perolehan suara, Partai Gerindra, salah satu pengusung Prabowo-Gibran, kini turut membuka kesempatan kepada partai-partai dari kubu lawan untuk bergabung ke koalisi pemerintahan.
“Kalau saya sering ngobrol dengan Pak Prabowo, beliau sangat terbuka. Jadi, setelah pemilu ini, kita ada rekonsiliasi. Kalau memang ada yang berkenan mau bergabung di pemerintahan, ya kita sangat terbukalah. Karena dulu Pak Jokowi mempraktikkan hal yang sama, kan,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman kepada detikX.
Di sisi lain, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan sedang menjalin komunikasi dengan kubu Anies dan Ganjar untuk merangkul keduanya seperti keinginan Prabowo. Muzani juga menanggapi sikap PDI Perjuangan yang berpeluang menjadi oposisi di pemerintahan mendatang.
"Sebagai sebuah pernyataan, kami menghormati," kata Muzani di Jakarta Pusat, Jumat (16/2/2024).
Menanggapi itu, PPP belum menunjukkan gelagat apakah akan mengikuti jejak PDI Perjuangan partai koalisinya, siap berada di luar pemerintahan atau berada di dalam pemerintahan seperti pada 2019.
Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy mengungkap sejauh ini para pimpinan masih disibukkan dengan mengawal dugaan kecurangan pemilu, kekacauan Sirekap, serta agenda rapat pleno panitia pemilihan kecamatan (PPK).
“Pertemuan para ketua umum selama dua hari berturut-turut itu masih berfokus pada apa yang akan kami sikapi atau sikap apa yang akan kami lakukan menghadapi kecurangan yang terjadi bertubi-tubi di berbagai tempat, termasuk ketidakberesan Sirekap,” kata Romahurmuziy kepada detikX.
Sedangkan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Mardiono mengatakan belum memutuskan apakah PPP akan menerima ajakan Prabowo.
"PPP belum berpikir itu, PPP sedang menunggu ya hasil data, ya terutama yang paling utama adalah C1 plano. Itulah data yang riil di TPS. Nah, kita kumpulkan dulu ya seperti apa nanti hasilnya, itu yang utama jadi landasan," ungkap Mardiono di gedung High End, Jakarta.
Partai NasDem, pengusung paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar juga belum memutuskan arah partainya ke depan. Namun, pada Minggu (18/2/2024), Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh diketahui bertemu dengan Jokowi di Istana Merdeka selama satu jam lamanya.
Dikutip dari CNN Indonesia, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menuturkan salah satu pembahasan pertemuan tersebut yakni menyoal dinamika politik seusai pelaksanaan Pemilu 2024.
Meski begitu, Sekjen Partai NasDem Hermawi Taslim mengatakan sebaliknya. Surya Paloh hadir atas undangan Presiden Jokowi.
“Kehadiran Ketum NasDem Pak Surya Paloh di Istana Negara adalah memenuhi undangan makan malam Presiden Jokowi,” ujar Hermawi Taslim dalam keterangannya.
Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai, tak seperti PDI Perjuangan, partai lain seperti PPP, NasDem, dan PKB berpotensi untuk bergabung dengan Prabowo.
“PPP sangat mungkin karena PPP kan bisa disebut the ruling party. Siapa pun yang jadi presiden, kemungkinan PPP akan bergabung. PPP punya jejak mendukung Prabowo, Pilpres 2014-2019, kalah dan berkoalisi dengan Jokowi. PKB ini mirip dengan PPP, the ruling party. Sejauh ini kita belum pernah melihat PKB itu sebagai oposisi,” jelas Adi kepada detikX.
Sedangkan Partai NasDem, bisa dilihat dari jejak historis antara Surya Paloh dan Prabowo Subianto, yang pernah berjuang bersama di Partai Golkar. Menurut Adi, ini meniadakan kendala psikologi antara Partai NasDem dan Prabowo Subianto.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, sangat besar dan beralasan PDI Perjuangan nantinya menjadi oposisi. Sebab, kekalahan yang terjadi setelah 10 tahun berkuasa membuat partai berlambang banteng moncong putih itu tak memiliki pilihan lain.
“Kalau bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, dia posisinya yang kalah. Jadi untuk menjaga harga diri, dia jadi oposisi,” tandas Ujang.
Sumber: DetikX