'Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan'
Oleh: Suhermanto Ja’far
PBNU dalam pusaran Pilpres terus menjadi sorotan publik, terutama warga NU, wabil khusus para kiai. Khittah mereka dipertanyakan karena diindikasikan terlibat dukung-mendukung capres-cawapres. Bagaimana seharusnya sikap PBNU dalam perspektif khittah 26?
Di bawah ini lanjutan tulisan Suhermanto Ja’far, dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan pertama berjudul “Mengurai “Lipstik Khittah NU“. Selamat membaca:
NU masih menjadi “pemain” politik nasional kendati berada di luar struktur, bahkan terkadang cukup jadi penonton.
Justru karena itu, pemain di dalam struktur NU sering tergoda untuk terlibat dalam pragmatisme politik partisan, atau minimal menjadi pendukung.
Godaan inilah yang sulit dihindari dan sering mengganggu khittah NU, ketika kita tidak bisa menempatkan diri sebagai pengurus yang ada dalam struktur NU dalam berbagai level.
Khittah NU 1926 dirancang dan dicanangkan pada Muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo yang merupakan kode etik NU sebagai aturan tertinggi organisasi.
Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta khittah NU “dimantapkan”, maka pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tersebut khittah NU telah menjadi panduan dan pedoman yang harus dijalankan dan ditaati oleh seluruh pengurus NU dari berbagai level.
Melihat mata rantai muktamar tersebut, tampaknya khittah NU akan tetap diagendakan sebagai pegangan strategis dan politis bagi warga NU yang terjun ke dunia politik.
Persoalannya sekarang, sejauh mana khittah NU tersebut perlu dipertahankan, sementara tuntutan untuk kembali ke wilayah politik praktis masih menjadi obsesi banyak warga nahdliyyin terutama kiai-kiai NU? Terbukti, mereka masih terlibat dalam sejumlah manuver politik sekarang ini.
Pertanyaan tersebut relevan dikemukakan, sebab walau sudah kembali ke khittah 1926, naluri politik warga NU masih sangat peka, bahkan khittah 1926 itu sendiri sesungguhnya juga merupakan langkah politik NU.
NU masih menjadi “pemain” politik nasional kendati berada di luar struktur, bahkan terkadang cukup jadi penonton.
Justru karena itu, pemain di dalam struktur NU sering tergoda untuk terlibat dalam pragmatisme politik partisan, atau minimal menjadi pendukung.
Godaan inilah yang sulit dihindari dan sering mengganggu khittah NU, ketika kita tidak bisa menempatkan diri sebagai pengurus yang ada dalam struktur NU dalam berbagai level.
Khittah NU 1926 dirancang dan dicanangkan pada Muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo yang merupakan kode etik NU sebagai aturan tertinggi organisasi.
Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta khittah NU “dimantapkan”, maka pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung Tasikmalaya tersebut khittah NU telah menjadi panduan dan pedoman yang harus dijalankan dan ditaati oleh seluruh pengurus NU dari berbagai level.
Melihat mata rantai muktamar tersebut, tampaknya khittah NU akan tetap diagendakan sebagai pegangan strategis dan politis bagi warga NU yang terjun ke dunia politik.
Persoalannya sekarang, sejauh mana khittah NU tersebut perlu dipertahankan, sementara tuntutan untuk kembali ke wilayah politik praktis masih menjadi obsesi banyak warga nahdliyyin terutama kiai-kiai NU? Terbukti, mereka masih terlibat dalam sejumlah manuver politik sekarang ini.
Pertanyaan tersebut relevan dikemukakan, sebab walau sudah kembali ke khittah 1926, naluri politik warga NU masih sangat peka, bahkan khittah 1926 itu sendiri sesungguhnya juga merupakan langkah politik NU. ***