DEMOCRAZY.ID - Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu menuding China berupaya mencampuri pemilihan presiden (pilpres) Taiwan yang akan berlangsung pada 13 Januari mendatang.
Hal itu disampaikan Wu dalam wawancara eksklusif bersama CNN Indonesia TV dalam program ‘Asia Forward’ pada Jumat (12/1) malam.
“Mereka (China) telah melakukan hal itu selama bertahun-tahun, mungkin tidak berhasil dalam pemilihan sebelumnya, tapi saya pikir dalam pemilu kali ini, mereka tampaknya lebih halus dalam menerapkan semua jenis taktik campur tangan terhadap Taiwan,” ujar Wu.
Ada tiga kontestan dalam Pilpres Taiwan tahun ini. Pertama, Lai Ching-te (William) dari Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa.
Lai saat ini menjabat sebagai wakil presiden Taiwan dan ketua DPP. Di mata Beijing, DPP dianggap sebagai partai separatis karena tak menginginkan reunifikasi terjadi. Dalam sejumlah jajak pendapat, Lai unggul dari dua calon lainnya.
Kedua, Hou You-ih dari partai oposisi utama Taiwan, Kuomintang (KMT). Saat ini, Hou menjabat sebagai Wali Kota New Taipei.
Berbeda dengan DPP, sikap KMT dianggap lebih lunak dalam menjalin kedekatan dengan Beijing.
Hou ingin kedua belah pihak bisa menemukan jalan tengah setelah China memutus pembicaraan dengan Taiwan di bawah pimpinan Presiden Tsai Ing-wen sejak 2016 lalu.
Ketiga, Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan. Ia mantan Wali Kota Taipei. Meski partainya tidak terlalu besar, namun dalam beberapa jajak pendapat Ko mampu menduduki posisi ke-2.
Menurut Wu, China berupaya mempengaruhi pikiran masyarakat Taiwan bahwa jika kandidat yang menang kontestasi itu tidak disukai oleh China maka akan terjadi ketidakstabilan hingga konfrontasi militer.
Wu mengungkapkan Beijing melakukan sejumlah cara untuk mempengaruhi hasil pemilu Taiwan. Misalnya, di bidang informasi, China disebut membuat ribuan akun palsu untuk menggiring opini publik.
Ia mencontohkan saat pemerintah Taiwan ingin bernegosiasi dengan India untuk mendapatkan kesepakatan terkait izin pekerja India bekerja di Taiwan, berkembang isu hal itu akan membahayakan ekonomi Taiwan.
“Meskipun MOU belum siap, dan ide awalnya adalah untuk mengizinkan sejumlah kecil orang India datang ke Taiwan, tetapi China membuat ribuan akun di media sosial, Facebook, Twitter, dan mereka mulai menghasilkan banyak ide, seperti akan ada 100 ribu orang India yang bekerja di Taiwan, dan perempuan Taiwan akan berada dalam bahaya karena orang-orang India itu,” ujarnya.
“Berita itu menjadi begitu besar, dan menjadi tidak terkendali, dan hal itu memaksa pemerintah untuk keluar dan mengatakan bahwa itu adalah berita palsu dan kita tidak perlu khawatir tentang hal itu karena Taiwan belum siap untuk menandatangani perjanjian dengan India,” sambungnya.
Isu itu, menurut Wu, juga digunakan untuk mempengaruhi pemilih sehingga pemilih akan berpikir bahwa pemerintah tidak kompeten dalam bernegosiasi dengan India terkait masalah tenaga kerja migran.
“Mereka (China) juga menggunakan tekanan ekonomi, atau paksaan ekonomi, di Taiwan untuk membentuk narasi rakyat Taiwan bahwa jika kami memiliki partai politik, atau kandidat yang tidak didukung oleh Beijing, terpilih, akan ada konsekuensi ekonomi,” ujarnya.
Wu beralasan, pada Desember lalu, China mengumumkan penghapusan tarif preferensial nol persen pada 12 produk impor petrokimia dari Taiwan.
“Kemudian, mereka juga mengumumkan dalam sebuah pernyataan publik, dalam sebuah serangan yang sangat pahit terhadap kandidat DPP, dan Anda dapat melihat bahwa Tiongkok mencoba untuk ikut campur dalam pemilihan umum Taiwan,” jelas Wu,
Singgung Pemilu Indonesia
Wu mengklaim pihaknya sudah kebal dengan taktik China dalam mempengaruhi hasil pemilu.
Namun, ia menilai taktik serupa bisa digunakan Beijing untuk mempengaruhi hasil pesta demokrasi negara lain, termasuk Indonesia yang akan menggelar Pilpres pada 14 Februari.
“Untuk Indonesia, saya tahu bahwa pemilu nasional Anda akan segera berlangsung setelah pemilu Taiwan. Dan saya harap teman-teman Indonesia dapat melihat bagaimana Tiongkok mempengaruhi pemilu Taiwan, dan merefleksikan bagaimana RRT berusaha membentuk opini publik di Indonesia, kemudian mencoba mencampuri politik demokratis kita,” ujar Wu.
Tudingan Wu dilatarbelakangi oleh hasil riset sejumlah lembaga. Salah satunya, kata Wu, lembaga nirlaba Freedom House yang mencoba mendokumentasikan bagaimana Tiongkok menyusup ke negara demokrasi lain dan mencoba membentuk narasi atau opini publik di negara lain.
“Freedom House menemukan bahwa Indonesia adalah negara ketiga yang dipengaruhi oleh China dalam opini publiknya. Jadi ini adalah sesuatu yang perlu kita waspadai dan kita harapkan ada lebih banyak sumber berita alternatif, sehingga teman-teman di Indonesia bisa memiliki pandangan yang lebih luas tentang dunia internasional daripada hanya menerima atau, untuk beberapa outlet berita, hanya menerima narasi dari China saja,” paparnya.
China sebelumnya mengatakan pihaknya ‘tidak akan pernah berkompromi’ mengenai masalah Taiwan, dalam pembicaraan militer pertamanya dengan AS sejak tahun 2021.
Mereka mendesak AS untuk ‘berhenti mempersenjatai Taiwan’. Pernyataan ini disampaikan beberapa hari menjelang Pemilu Taiwan yang digelar pada Sabtu (13/1).
China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya, namun pulau tersebut menganggap dirinya berbeda dari daratan China.
“China menyatakan kesediaannya untuk mengembangkan hubungan militer-ke-militer yang sehat dan stabil dengan Amerika Serikat atas dasar kesetaraan dan rasa hormat,” demikian pernyataan Kementerian Pertahanan seperti dilansir BBC.
Sumber: CNN