DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo telah menyampaikan keinginannya untuk terlibat dalam kampanye dan berpihak pada salah satu calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak," katanya 24 Januari 2024 lalu.
Pernyataan ini langsung menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat meskipun Jokowi menegaskan tidak menggunakan fasilitas negara saat berkampanye.
Pro kontra soal Jokowi ikut kampanye dan terlibat mendukung paslon capres dan cawapres pun dinilai berbagai pihak dari sudut pandang hukum maupun etika berpolitik.
Menyikapi hal ini, Muhammadiyah pun turut bersuara. Melalui Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, organisasi ini menilai harus bersikap pada pernyataan Jokowi yang menimbulkan polemik ini.
"Sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggung jawab keummatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing," ungkap rilis yang ditandatangani Ketua Majelis Hukum dan HAM Trisno Rajarjo dan Sekretaris Muhammad Alfian Dj.
Muhammadiyah menilai pernyataan Jokowi tidak bisa dipandang dari sisi normatif saja tetapi juga dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, dari sudut normatif, Muhammadiyah mengakui benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden berhak melaksanakan kampanye.
Namun demikian, pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya sekadar ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
"Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?" demikian pernyataan rilis Muhammadiyah.
Menurut Muhammadiyah, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
Tinjauan Sudut Pandang Filosofis dan Etis
Kedua, dari sudut pandangan filosofis presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Sehingga ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, begitu juga dalam hal pemilu.
Presiden sebagai kepala negara wajib memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Tujuannya tak lain untuk memastikan sosok penggantinya nanti juga memegang penuh integritas.
Di sisi lain presiden juga merupakan pejabat publik yang disumpah untuk menjabat sepenuh waktu. Dus, seharusnya tidak ada aktivitas lain yang melekat dalam jabatannya dalam hal ini adalah kampanye.
"Secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat," nilai Muhammadiyah.
Ketiga, dari sudut pandang etis dan juga teknis, presiden sudah disumpah untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya.
Misalnya, meskipun presiden juga terpilih dari partai politik maupun koalisi namun saat sudah menjabat sebagai presiden maka harus sepenuhnya tunduk pada rakyat. Bukan pada partai politik pengusung maupun koalisi.
Dalam aktivitas apapun, Joko Widodo akan selalu dilihat sebagai seorang presiden. Sebagaimana bantuan sosial yang secara langsung maupun tidak akan dinilai sebagai 'bantuan Jokowi'.
Enam Poin Sikap Muhammadiyah
Untuk itu, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah perlu menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
3. Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.
4. Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
5. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil pemilu. Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya.
6. Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara. Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.
Pernyataan sikap ini sekaligus sebagai upaya Muhammadiyah untuk senantiasa memberi solusi untuk negeri, sebagaimana disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan: “Aku berdoa, berkah dan keridhoan serta limpahan rahmat karunia ilahi, agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh umat sepanjang sejarah dari zaman ke zaman”.
Sumber: Liputan6