DEMOCRAZY.ID - Penyaluran bantuan sosial atau Bansos menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 menjadi salah satu topik yang dibahas dalam film dokumenter Dirty Vote.
Film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono ini telah dirilis pada Ahad, 11 Februari 2024 melalui kanal YouTube resmi Dirty Vote.
Film ini dibintangi oleh tiga ahli hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Mereka memaparkan sejumlah data, bukti, dan mengurai pelanggaran hukum serta kecurangan Pemilu yang terjadi saat ini.
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan adanya tekanan kepada kepala desa agar mendukung kandidat calon presiden dan calon wakil presiden tertentu pada Pilpres 2024. Zainal juga menyebut, desa menjadi wilayah pertarungan untuk memperebutkan suara.
Dalam video itu, dia lantas menjelaskan sejumlah wewenang kepala desa yang berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Mulai dari data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bantuan sosial (Bansos), Program Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan langsung tunai atau BLT, serta wewenang alokasi Bansos.
“Kasus penyelewengan dana desa sangat mungkin dikonversi menjadi alat tukar dukungan politik,” kata Zainal.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengkritik berbagai jenis Bansos yang disalurkan pemerintahan menjelang Pemilu.
Dia menjelaskan, setiap tahun Pemilu alokasi dana Bansos selalu meningkat. Baik itu pada Pemilu 2014, Pemilu 2019, maupun Pemilu 2024.
Sementara itu, sebaran dan kecepatan penyaluran bantuan sosial oleh pemerintah pusat juga cenderung meningkat menjelang Pemilu. Pada 2013, menjelang Pemilu 2014, pemerintah mencairkan berbagai Bansos.
Salah satunya BLSM 4 bulan dari Juni-September 2013 sebesar Rp 50 ribu per KK per bulan, dengan alokasi dana negara sebesar Rp 9,3 triliun.
Ada juga bansos dari kementerian atau lembaga sepanjang tahun yang nilainya mencapai lebih dari Rp 69 triliun.
Kemudian menuju Pemilu 2019, Bansos kembali dikucurkan dengan nilai yang lebih tinggi. Mulai dari berbagai program Bansos pada Januari 2018 yang menyalurkan Rp 5,3 triliun, hingga Bansos PKH (Program Keluarga Harapan) dan BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) sepanjang tahun yang mencapai Rp 77,3 triliun.
Berbagai penyaluran program Bansos tersebut terus dilakukan sepanjang tahun 2019 dengan nilai yang lebih tinggi. Contohnya pada Bansos berbagai program di Januari yang mencapai Rp 15,1 triliun.
Kemudian ada bansos PKH dan BPNT yang disalurkan sepanjang tahun mencapai angka Rp 97,06 triliun.
Menjelang Pemilu 2024, berbagai Bansos kembali dikucurkan. Kali ini lebih gencar sekaligus dengan nilai jumbo. Bahkan melebihi nilai Bansos yang diberikan ke masyarakat saat Pandemi Covid-19.
Berikut berbagai jenis Bansos yang dikucurkan pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2023 menjelang Pemilu 2024. Bantuan-bantuan tersebut adalah sebagai berikut:
- Bansos beras pada Maret-Mei 2023: Rp 7,9 triliun
- Bansos beras pada September-November 2023: Rp 8 triliun
- Bansos beras pada Desember 2023: Rp 2,7 triliun
- PKH dan Kartu Sembako di sepanjang tahun 2023: Rp 81,2 triliun
- PIP, KIP, bantuan iuran pekerja, dan bansos lain di sepanjang tahun 2023: Rp 82,3 triliun
- PKH dan BPNT di sepanjang tahun 2023: Rp 114,3 triliun
- Subsidi non energi di sepanjang tahun 2023: Rp 185,9 triliun.
Tak berhenti sampai disitu, baru bulan Januari 2024, pemerintah pusat telah menggelontorkan dana bantuan sosial senilai Rp 78,06 triliun.
Bansos tersebut dibagi dalam berbagai jenis dan kategori, mulai dari PKH, bantuan beras, BNPT, PIP, hingga BLT El Nino atau yang kini disebut BLT Mitigasi Risiko Pangan.
Dari data tersebut, terlihat perbandingan penyaluran Bansos setiap menjelang pemilu yang semakin masif dilakukan oleh pemerintah pusat. Bahkan, pada 2023 ada lebih dari tujuh jenis Bansos yang dikucurkan pemerintah.
Bivitri menyebut politik bagi-bagi Bansos menjelang Pemilu tersebut sebagai politik gentong babi.
"Mengapa Bansos dijadikan alat berpolitik? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang namanya politik gentong babi atau pork barrel politics," kata Bivitri dalam film yang disutradarai Dandy Laksono tersebut.
Bivitri menjelaskan, politik gentong babi merupakan istilah yang muncul pada masa perbudakan di Amerika Serikat.
Politik ini memanfaatkan dana publik oleh penguasa untuk mendapatkan dukungan bagi dirinya atau kelompoknya.
Dalam konteks politik saat ini, Bivitri mengatakan politik gentong babi adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara. Uang tersebut digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh politisi agar publik mendukungnya.
"Tentu saja kali ini Jokowi tidak sedang meminta orang untuk memilih dirinya, melainkan penerusnya," ujar Bivitri.
Dalam Pemilu kali ini, anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Mereka berhadapan dengan dua pasangan lain yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Sumber: Tempo