'Butuh Kontrol Atas Penyalahgunaan Kekuasaan Presiden di Pilpres'
NETRALITAS Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024 terus disorot publik. Putranya, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres, mendampingi capres Prabowo Subianto.
Presiden juga dinilai menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang dalam pemilu kali ini.
Direktur Eksekutif RISE Institute Anang Zubaidy mengungkapkan presiden sebagai kepala pemerintahan tertinggi harus tunduk pada Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945.
Presiden juga terikat dengan sumpah jabatan yakni memenuhi kewajiban sebagai presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya dan menjalankan undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya.
“Berangkat dari hal tersebut, maka presiden harus bersikap netral dan adil. Presiden harus menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok. Terlebih hanya bagi kepentingan pemenangan kelompoknya,” ujarnya, Rabu (31/1).
Pakar hukum tata negara dari FH UII itu juga menjelaskan bahwa presiden juga harus bertindak sesuai dengan hukum dan perundang-undangan dan dilarang bertindak dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.
Jika presiden berlaku dan bertindak tidak adil bahkan di luar kewenangannya, ada 2 langkah yang dapat diambil yakni langkah hukum dan langkah politik.
"Langkah hukum dapat berupa gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan berupa tindakan presiden yang bertentangan peraturan perundang-undangan dan/atau dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” terangnya.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah mengatur perluasan objek peradilan tata usaha negara dari yang sebelumnya berwenang memeriksa KTUN (keputusan tata usaha negara) yang merupakan produk hukum tertulis menjadi berwenang pula untuk memeriksa tindakan pemerintah.
Sementara itu langkah politik, dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dalam bentuk pengawasan.
Mengenai pelaksanaan pengawasan oleh DPR, pintu masuknya dapat berupa rapat konsultasi dengan pemerintah atau bahkan lebih dari itu tindakan politik berupa interpelasi yang merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
“Hak interpelasi ini perlu dilakukan untuk meminta keterangan kepada pemerintah (dalam hal ini presiden) mengenai tindakannya yang telah menimbulkan dampak yang luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.
Suarakan Kebenaran
Pakar komunikasi politik Antonius Benny Susetyo mengatakan, masyarakat perlu turun tangan dan unjuk suara karena melihat penyimpangan, penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
"Kita semua, kita masyarakat, berhak meluruskan jika memang merasa penyimpangan nilai, etika dan moral Pancasila, dilanggar,” tegas pria yang akrab disapa Romo Benny ini.
Ada banyak cara, melalui berbagai kanal. Yang terpenting, tetap menyuarakan kebenaran, menjaga demokrasi, menggaungkan ke-Pancasila-an.
“Tulislah di kolom-kolom opini, media sosial, jadilah pengkritik yang juga berpikir kritis dan memberikan edukasi dengan bahasa yang engaging sehingga masyarakat mengerti," imbuh Romo Benny.
Pria yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini mengingatkan kembali Pancasila sebagai DNA bangsa Indonesia.
Tidak lepas sikap-sikap penguasa harusnya berjiwa Pancasila. Namun nyatanya banyak ditemukan pelanggaran etika dan moral, penyalahgunaan kekuasaan.
"Memang ini berat, untuk mengingatkan, mengedukasi, serta memberikan kritik. Tetapi, jika kita sadar betul Pancasila adalah DNA bangsa Indonesia, maka haruslah kita menjadi radar pengingat jika kritis aplikasi Pancasila sudah terjadi, apalagi di kalangan para pemegang kekuasaan dan pemangku kebijakan, yang dimana apapun kebijakan mereka, akan langsung mempengaruhi kita semua,“ jelas Romo Benny.
Menurut dia, Indonesia memiliki contoh pemimpin yang memiliki teladan yang baik. Tidak haus kekuasaan.
“Bung Hatta, contohnya, bagaimana dia tidak membeli sepatu bermerek sampai akhir hayatnya, padahal bisa dengan mudahnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dia miliki, dia memiliki sepatu tersebut,“ cerita dia.
Kemudian, Agus Salim, tidak arogan meminta tempat duduk di kereta karena menyadari betul bahwa semua orang punya hak untuk duduk di kursi-kursi dalam kereta tersebut.
“Tapi, sekarang (role model) itu hilang. Arogansi dipertontonkan, hukum dikoyak karena kekuasaan menang, alhasil, masyarakat pun jadi merasa mereka juga bisa arogan, oportunis, dan tidak taat aturan,” tandas Romo Benny.
Sumber: MediaIndonesia