DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mendapatkan petisi dari sejumlah kalangan menjelang Pemilu Presiden atau Pilpres 2024.
Desakan itu antara lain Petisi Bulaksumur dari golongan akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Petisi 100 dari koalisi masyarakat sipil.
Lantas apa itu Petisi Bulaksumur dan Petisi 100 serta isinya?
Petisi Bulaksumur
Petisi Bulaksumur merupakan petisi yang dilayangkan secara terbuka oleh sivitas akademika UGM kepada Presiden Jokowi pada Rabu, 31 Januari 2024 lalu.
Mereka terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, hingga alumni berkumpul di Balairung UGM untuk menyampaikan peringatan kepada Kepala Negara. Teguran diberikan kepada Jokowi lantaran dinilai menyimpang.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” kata Guru Besar Psikologi UGM Koentjoro membacakan isi Petisi Bulaksumur.
Sejumlah sivitas akademika yang hadir dalam pembacaan petisi antara lain Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, mantan Rektor UGM Sofian Effendi, Antropolog UGM Bambang Hudayana, dan PM Laksono.
Selain itu hadir pula mantan Rektor UNY Rochmat Wahab dan Ketua BEM KM UGM Gielbran Muhammad Noor.
Isi Petisi Bulaksumur
Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam berbagai demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif pembenaran-pembenaran presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik, serta netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.
Presiden Joko Widodo sebagai alumni semestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah (legitimate) demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. ‘Bagi kami almamater kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara.
Alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya. Tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.
Karena itu, melalui petisi ini kami segenap civitas akademika UGM, meminta, mendesak dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden termasuk Presiden sendiri untuk segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Kami juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap dan langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi elektoral yang merupakan manifestasi demokrasi Pancasila untuk memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Petisi 100
Petisi 100 merupakan sebutan singkat dari Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, sebuah gerakan yang mewakili 100 tokoh masyarakat mendesak DPR dan MPR segera lakukan pemakzulan Jokowi.
Tuntutan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejumlah tokoh yang terlibat dalam Petisi 100 di antaranya mantan KASAD Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto, mantan Ketua MPR Amien Rais, Guru Besar UGM Zainal Arifin Mochtar, pengajar UNS M. Taufiq, Ketua FUI DIY Syukri Fadholi, Ketua BEM KM UGM Gielbran M. Noor, serta perwakilan Petisi 100 Marwan Batubara
Isi Petisi 100
Petisi ini dilayangkan pada Juli 2023 lalu. Ada sepuluh alasan mengapa pemakzulan Jokowi harus segera dilakukan. Alasan itu mereka sampaikan di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, pada 20 Juli. Pemakzulan semakin relevan setelah adanya serangkaian pelanggaran konstitusional baru yang dilakukan Jokowi.
Pelanggaran konstitusional itu, antara lain keterlibatan Jokowi sebagai ipar mantan Ketua MK Anwar Usman dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 ihwal batas usia capres-cawapres. Majelis Kehormatan MK (MKMK) memutuskan Anwar Usman telah melanggar etik berat sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK.
Nepotisme Jokowi, menurut Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. “Dengan pelanggaran ini, Petisi 100 akan segera melaporkan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Jokowi, Anwar Usman dan Gibran,” bunyi Petisi 100.
Petisi 100 juga menyinggung pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menjelaskan adanya intervensi Jokowi terhadap KPK. “Kemudian merevisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah berada di bawah Presiden,” ujar Petisi 100.
Adapun dasar hukum pemakzulan, Petisi 100 mengatakan adalah TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemakzulan Presiden. “Petisi 100 bersikap bahwa Presiden Jokowi sudah sangat mendesak untuk mundur atau dimakzulkan.”
Petisi 100 bersepakat akar masalah semua persoalan bangsa adalah Jokowi.
“Untuk itu menuntut pemakzulan Presiden Jokowi sesegera mungkin dan diadili,” kata Petisi 100, dalam pernyataannya.
Mereka mengaku berkewajiban terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara.
Sumber: Tempo