DEMOCRAZY.ID - Perdebatan adalah aktivitas yang biasa terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan pemikiran dan cara pandang setiap orang.
Sehingga berdebat merupakan cara untuk mempertahankan pendapat di kala perbedaan hadirnya pendapat-pendapat lain yang sekiranya berseberangan.
Pada dasarnya debat bukanlah hal yang negatif, sebab dapat melatih seseorang agar mempunyai pendirian yang teguh, melatih cara berpikir serta menyampaikan argumen sistematis dan juga mempertahankannya.
Di dalam peradaban Islam juga mewariskan beragam keilmuan dengan cara pandang beragam yang lahir dari diskusi kritis dan perdebatan serta pergolakan pemikiran para tokoh dan pakar keilmuan.
Kita dapat memaknai bahwa kegiatan ini benar-benar positif. Adapun diskusi dan debat yang dinilai negatif dalam peradaban Islam lahir pada masa tabiin.
“Perdebatan dan saling bantah membantah muncul setelah habisnya masa tabiin hingga seterusnya, di saat kebohongan muncul di tengah-tengah masyarakat, kesaksian yang dusta bermunculan di mana-mana, kebodohan pun menyebar...” Ujar Abul Muzhaffar As-Sam’ani. (As-Sam’ani, Al-Intishar li Ashhabil Hadits, halaman 18).
Muncul di Tengah Peradaban Islam'
Mengutip dari laman NU Online, menurut As-Sam’ani, teknik berdebat muncul di tengah peradaban Islam kala keluarga Baramikah diberi jabatan wazir oleh Harun Arrasyid.
Kala itu Baramikah memfasilitasi secara besar-besaran penerjamahan buku-buku filsafat ke dalam bahasa Arab.
Mulai saat itu debat dan adu argumentasi menjadi seni dan digandrungi banyak orang, termasuk para pakar keilmuan dalam Islam.
Fenomena ini memuat kritik dari berbagai ulama yang memandang sebagian debat cenderung negatif, alih-alih bertujuan menemukan kebenaran.
Menariknya, pro-kontra terhadap debat ini muncul dari berbagai ulama. Misal saja Ibnu Rajab Al-Hanbali yang memandang perdebatan soal halal haram di kalangan fuqaha Irak adalah negatif, sebab bukannya menuntaskan hukum, mereka malah memperluas perdebatan.
Di tengah pro-kontra tersebut, Ibnu Hazm mengakui bahwa debat yang dilaksanakan dengan cara-cara yang sopan dan benar merupakan hal yang positif.
"Kami menemukan Allah memuji dalam Al-Quran atas debat yang benar, bahkan memerintahkannya. Kami yakin debat jenis ini – yang diperintahkannya – bukan termasuk jenis debat yang dilarang.” (Ibn Daqiq Al-‘Id, Ihkamul Ahkam, jilid I, halaman 20).
Senada dengan pendapat Ibnu Hazm, Al-Khatib Al-Baghdadi mengonfirmasi bahwa dalam Al-Quran, beberapa ayat memerintahkan kita untuk berdebat, sedangkan ayat lainnya melarang. Al-Baghdadi berkesimpulan bahwa debat yang dianjurkan jenisnya berbeda dengan yang dilarang. Beliau berkata:
فعلمنا علما يقينا أن الذي ذمه غير الذي أمر به، وأن من الجدال ما هو محمود مأمور به ومنه مذموم منهي عنه
Artinya: “Kita mengetahui dengan pasti bahwa debat yang dicekam berbeda dengan debat yang diperintahkan Allah, dan di antara jenis debat, ada yang terpuji dan diperintahkan [oleh Islam], ada pula yang tercela dan dilarang.” (Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Faqih wal Mutafaqqih, [Saudi: Dar Ibnul Jauzi, 1417 H], jilid I, halaman 329).
Debat yang Dilarang dalam Islam
Adapun debat yang masuk kategori negatif dan dilarang menurut Al-Khatib Al-Baghdadi ada dua macam, yaitu:
1. Berdebat tanpa dasar ilmu pengetahuan
Berdebat tanpa ilmu, atau bahkan tanpa bukti hanya akan memicu tuduhan tidak berdasar dan tidak substansial. Barangkali inilah yang disebut dengan debat kusir. Mengenai debat jenis ini, Allah pernah berfirman dalam surah Al-Isra ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌۗ اِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
Artinya: “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra:36).
2. Berdebat pasca ditemukannya fakta, namun tetap bersikeras membela kebatilan
Berdebat pasca menemukan fakta yang valid dalam rangka menutupinya dan mencoba membela kebatilan termasuk debat yang tidak direkomendasikan, bahkan dilarang dalam Islam. Berkaitan dengan jenis debat ini, Allah berfirman dalam Al-Quran surah Az-Zukhruf ayat 58:
وَقَالُوْٓا ءَاٰلِهَتُنَا خَيْرٌ اَمْ هُوَۗ مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ اِلَّا جَدَلًاۗ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ ٥٨
Artinya: "Mereka berkata, “Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?” Mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu, kecuali dengan maksud membantah saja. Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS Az-Zukhruf:58).
Menyangkal Kebenaran dan Tidak Etis
Merespons keterkaitan antara ayat dengan model debat di dalamnya, Ibnu Hazm menyebut bahwa jenis model semacam yang dilakukan dalam ayat ini adalah debat yang negatif, di mana bukti sudah jelas-jelas ada di tengah-tengah mereka, namun masih saja mereka menyangkal kebenaran. (Ibn Daqiq Al-‘Id, Ihkamul Ahkam, jilid I, halaman 20).
Debat model ini juga disinggung oleh Rasulullah saw dalam hadisnya, beliau bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوتُوا الجَدَلَ، ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الآيَةَ: {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ}
Artinya: “Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapat petunjuk yang ada pada mereka melainkan karena mereka suka berbantah-bantahan.’ Kemudian beliau membaca ayat ini: ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar’ (Az Zukhruuf: 58).” (HR At-Tirmidzi).
Demikianlah dua model perdebatan yang dianggap tidak etis dan dilarang menurut Al-Baghdadi. Tentunya kita sudah sangat memahami mana model debat yang edukatif dan debat kusir. Wallahu a’lam.
Sumber: Liputan6