DEMOCRAZY.ID - Menjelang momen pencoblosan Pilpres 2024, rakyat diharapkan tidak tergiur dengan bansos yang diberikan Presiden Joko Widodo.
Demikian pesan yang disampaikan Peneliti LIPI, Prof. Ikrar Nusa Bhakti dalam diskusi publik lintas akademis yang diselenggarakan Organisasi Penstudi Konstitusi dan Demokrasi (Oposisi) secara hybrid pada Minggu (28/1).
"Karena kita tahu Presiden sedang mengkampanyekan anaknya yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden," kata Ikrar.
Ikrar mengatakan bahwa klausul Presiden boleh berkampanye itu latar belakangnya sebenarnya diperuntukkan untuk Presiden dan Wakil Presiden yang hendak mencalonkan kembali.
"Tapi kali ini kan berbeda, anaknya yang mencalonkan. Tentu perbuatan Presiden tersebut patut diduga kuat mengandung nepotisme dan merupakan perbuatan tercela," kata Ikrar.
"Jika saya boleh menilai, Presiden Jokowi hari ini sudah kehilangan rasa malu sekalipun ada conflict of interest pada proses Pemilu 2024," sambungnya.
Sementara Direktur Oposisi, Sunandiantoro menyampaikan bahwa keterlibatan Presiden Jokowi baik dalam hal kampanye dan bagi-bagi bansos merupakan dugaan perbuatan yang mengarah kuat pada perilaku KKN.
Sebab hal itu dilakukan Jokowi untuk mempromosikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang maju Pilpres 2024.
"Masyarakat Indonesia merasakan keresahan yang sama yaitu merasa Presiden Jokowi sudah bengkok dari konstitusi, dan harus ada gerakan bersama untuk meluruskan dan membuat tegak lurus kembali Presiden Jokowi kepada konstitusi dan amanat penderitaan rakyat Indonesia," kata Sunandiantoro.
Diskusi yang dipandu moderator Demas Brian Wicaksono dan Anang Suindro turut menghadirkan narasumber Maruara Siahaan (mantan Hakim Mahkamah Konstitusi), Charles Simabura (Direktur Pusako FH Andalas), Andang Subahariyanto (Sekjen Pertinasia/ Rektor Untag Banyuwangi), dan Saifuddin Zuhri (Pakar Sosiologi UGM).
Direktur Gerakan Perubahan: Bagikan Sembako di Depan Istana, Jokowi Dicurigai Sogok Rakyat
Pembagian sembako di depan Istana Negara dan pernyataan presiden boleh berkampanye dan memihak dianggap sebagai kode kecurangan Pilpres 2024 yang akan terjadi.
Demikian analisa Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi atas berbagai pernyataan dan sikap yang mulai ditunjukkan Presiden Joko Widodo menjelang pelaksanaan Pilpres 2024 yang akan berlangsung sebentar lagi.
"Pembagian sembako di depan Istana di saat pilpres dan pernyataan presiden boleh kampanye dan memihak, dugaan saya itu kode keras untuk memenangkan pilpres satu putaran untuk menangkan paslon anak haram konstitusi," kata Muslim, Minggu (28/1).
Karena, kata Muslim, publik mengetahui bahwa presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan yang seharusnya netral sebagaimana sikap Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin.
"Di saat bicara presiden boleh kampanye dan memihak, di sampingnya ada Menteri Pertahanan yang sedang capres dan Panglima TNI ada di sampingnya. Dapat diartikan Joko Widodo sedang kampanye untuk 02 dan TNI harus amankan perintah 'itu'," terang Muslim.
Muslim pun curiga, sembako yang dibagikan Presiden Jokowi di depan Istana merupakan alat untuk upaya menyogok rakyat agar memilih anaknya, Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Prabowo.
"Di saat ada pembagian sembako di depan Istana di saat pilpres, artinya Istana sedang kirim pesan terselubung bahkan terang-terangan dukung anaknya yang sedang berjuang sebagai cawapres," tutur Muslim.
Dengan dua peristiwa itu kata Muslim, dapat diartikan sebagai sinyal keras bahwa Presiden Jokowi sedang melakukan kampanye terselubung.
"Maka kalau sejumlah lembaga survei yang rilis angka tinggi bagi paslon 02 adalah upaya mencocokkan antara kode Istana terhadap KPU, Bawaslu dan DKPP? Walaupun kampanye sepi massa, tapi kalau pilpres di klaim menang satu putaran, itu artinya rancangan dan desain curang sedang diumumkan agar rakyat paham," jelas Muslim.
"Kampanye tidak penting banyak massa. Yang penting sebar sembako dan amankan perintah presiden untuk menangkan calon tertentu? Dengan dua kode keras itu, apakah dijamin pilpres tidak curang? Jika demikian yang terjadi, rakyat jangan berharap ada demokrasi. Selamat datang kekacauan di Republik ini? Apakah itu yang diimpikan oleh Joko Widodo di akhir kekuasaannya?" sambung Muslim menutu
"Penyakit" Jokowi Suka Tabrak Aturan Berpotensi Menular hingga Pengurus RT
"Penyakit" perilaku Presiden Joko Widodo yang dianggap banyak berkata dan berjanji bohong hingga suka menabrak hukum bisa menular hingga ke pejabat di tingkat Rukun Tetangga (RT)
"Ibarat penyakit perilaku Jokowi yang banyak berkata dan berjanji bohong, dan suka tabrak hukum, maka dampak negatif yang ditimbulkan adalah dapat menyebar secara langsung maupun tidak langsung dari satu orang ke orang lainnya," kata pengamat hukum dan politik Mujahid 212, Damai Hari Lubis.
Sehingga, kata Damai, perilaku Jokowi yang kerap kali menabrak aturan, apalagi belakangan ini menyatakan bahwa presiden boleh ikut berkampanye dan memihak, akan berdampak menular hingga ke pimpinan tingkat RT.
"Oleh karenanya justru perilaku kepemimpinan yang buruk, akan kuat menarik lalu mengontaminasi orang di sekelilingnya dan level yang banyak di bawahnya. Ibarat penyakit, semua bisa terkena infeksi atau CDS atau yang biasa disebut juga sebagai penyakit infeksius dari gabungan berbagai penyakit," terang Damai.
Menurut Damai, hukum tanpa moral adalah sia-sia belaka. Apalagi, Jokowi sebagai seorang presiden sangat mudah melanggar norma-norma dan mengelak dari sanksi hukum.
"Oleh sebab itu, menghentikannya tentunya membutuhkan tindakan atau langkah yang super luar biasa, termasuk super keberanian, yakni melalui kesadaran dengan kekuatan terakhir, kekuatan kedaulatan di tangan rakyat," kata.
"Rakyat butuh gunakan pola bersatu turun ramai-ramai hentikan kelucuan tingkah Jokowi hingga ia turun panggung lalu tiarap," sambungnya.
Sumber: RMOL