DEMOCRAZY.ID - Setidaknya dua warga sipil menjadi korban penembakan dalam konflik bersenjata di Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah, dalam sepekan terakhir. Satu di antara mereka tewas di lokasi kejadian, tanpa sempat dilarikan ke puskesmas terdekat.
Warga yang tewas adalah Yusak Sondegau. Dia kehilangan nyawa pada 21 Januari lalu. Menurut beberapa saksi, peluru bersarang di punggungnya.
Pada hari yang sama, Juru Bicara Kodam Cendrawasih, Letkol Candra Kurniawan, menyatakan bahwa pihaknya yang menembak Yusak.
Candra menuduh laki-laki berumur 40 tahun itu merupakan anggota milisi pro-kemerdekaan Papua.
Akan tetapi, pihak keluarga membantah tudingan itu dan berkata bahwa Yusak adalah pekebun yang juga bekerja sebagai pegawai pemerintahan Kampung Buwisiga di Distrik Homeyo.
Satu warga sipil lain yang menjadi korban penembakan adalah perempuan bernama Apriana Sani. Dia ditembak pada 20 Januari lalu. Apriana bertahan hidup meski peluru tertancap ke tangan kanannya.
Yusak dan Apriana menjadi korban saat terjadi kontak tembak di Intan Jaya sejak 19 Januari lalu.
Situasi di kabupaten itu memanas seiring gelombang penolakan warga terhadap proyek TNI/Polri membangun Patung Yesus Kristus dan kasak-kusuk izin pertambangan emas di Blok Wabu.
Berikut penelusuran BBC News Indonesia terhadap rentetan peristiwa yang berdampak pada ratusan warga Intan Jaya belakangan ini, termasuk kesaksian sejumlah warga yang urung muncul ke pemberitaan media massa.
Kronologi penembakan warga
Yusak Sondegau ditembak dan tewas di halaman rumahnya, pada 21 Januari 2024 sekitar pukul 11 siang.
Informasi ini disampaikan warga Sugapa yang berada di lokasi dan turut mengangkut jenazah Yusak. Saksi mata ini meminta identitasnya disembunyikan. Dia khawatir akan mendapat intimidasi dalam situasi konflik yang belum mereda.
Menurut saksi mata, sebelum ditembak, Yusak baru saja pulang dari ibadah Minggu di gereja. Rumah Yusak berada dekat pos Brimob. Posisi rumahnya tepat di belakang Bank Papua Sugapa.
"Setelah warga pulang ibadah, sekelompok personel TNI/Polri masuk ke rumah Yusak dan memeriksa dari kamar ke kamar. Mereka keluar setelah mengambil data orang-orang yang tinggal di rumah itu, termasuk Yusak," kata saksi mata.
Orang tua Yusak, yang bekerja di kantor bupati, kemudian memberi minuman kepada para aparat keamanan tersebut.
Sebelum kembali ke pos jaga, kata saksi mata ini, aparat memerintahkan semua warga kampung untuk masuk ke dalam rumah mereka. Namun Yusak bertahan di luar rumah. Dia duduk di halaman.
"Lalu terdengar suara tembakan satu kali. Masyarakat bertanya-tanya itu tembakan apa. Ternyata aparat menembak Yusak. Dia mati di tempat.
"Waktu di tembak, dia tidak membawa senjata tajam apapun. Dia mengenakan baju hitam, jaket, dan sepatu lumpur," ujarnya.
Menurut saksi mata, informasi penembakan Yusak beredar cepat. Tak lama berselang, pengurus beberapa gereja dan pejabat distrik datang dan mengevakuasi jenazah Yusak ke Puskesmas Yokatapa.
Salah satu orang yang membawa jenazah Yusak adalah Pastor Angelo Lusi. Dia adalah imam yang bertugas di Gereja Katolik Paroki Ilaga, Kabupaten Puncak. Saat kejadian dia tengah melakukan kunjungan kerja di Gereja Santo Misael Bilogail di Sugapa.
Menurut saksi mata, orang-orang melarikan Yusak ke puskesmas bukan untuk menyelamatkan nyawanya. Saat dievakuasi, Yusak sudah tidak bernapas. Peluru bersarang di punggung kanannya.
"Warga angkat jenazahnya ke puskesmas agar dokter bisa kasih surat kematian dan juga untuk bersihkan lukanya," kata saksi mata ini.
TNI akui tembak Yusak
Pada hari yang sama, Juru Bicara Kodam Cenderawasih, Letkol Candra Kurniawan, menyebar keterangan tertulis kepada media massa.
Dalam dokumen itu, Candra menyebut pasukan TNI/Polri melakukan penindakan hukum yang mengakibatkan Yusak tewas. Candra menuduh Yusak adalah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
"Kejadian ini bermula saat dilakukan penegakan hukum oleh personel gabungan TNI/Polri yang melihat tujuh gerombolan KKB [istilah yang digunakan pemerintah untuk menyebut TPNPB]," kata Candra.
Candra membuat klaim, pasukannya melihat tujuh orang itu membawa dua senjata laras panjang. Mereka berada di Kampung Baitapa menuju Kumbalagupa Sugapa. Setelah menembak Yusak, Candra mengeklaim bahwa senjata laras panjang itu dibawa lari anggota TPNPB.
Klaim Candra ini tidak sesuai dengan kesaksian warga. Selain bukan anggota milisi pro-kemerdekaan, Yusak tidak pernah memiliki atau membawa senjata api saat terbunuh.
"Yusak sudah lama tinggal di rumah itu. Dia tidak pernah gabung dengan TPNPB atau OPM," kata saksi mata yang juga tetangga kampung Yusak.
"Yusak adalah seorang pekebun. Kami pikir aparat curiga gara-gara dia pakai sepatu lumpur. Tuduhan kepada Yusak sangat tidak benar," ucapnya.
Tak lama berselang, petinggi TPNPB di Intan Jaya, Gusby Wakerkwa, menyebar pernyataan kepada pers di Papua bahwa Yusak bukanlah anggota milisinya.
"Kalau ada berita bahwa mereka adalah anggota TPNPB, itu adalah pembohongan publik," tulis Gusby.
Pada Rabu (24/01),Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan, mengakui bahwa terdapat satu warga sipil yang tertembak dalam peristiwa baku serang antara TNI/Polri dan TPNPB.
Namun Izak membantah personelnya yang menembak warga sipil tersebut. Dia melempar tuduhan kepada TPNPB.
"Ada warga sipil yang tertembak, sudah pasti yang menembak bukan TNI," kata Izak di Jayapura. "Saya jamin TNI tidak salah tembak," ujarnya membuat klaim.
Jenazah Yusak dimakamkan oleh keluarganya pada 22 Januari di Yokatapa.
Usai pemakaman itu, salah satu anggota keluarga menyebut Yusak sebagai korban. Menurutnya, Yusak tidak akan kehilangan nyawa jika pemerintah tidak menyetujui proyek pendirian Patung Yesus Kristus yang dikerjakan TNI/Polri.
Rasa takut menyerang warga
Konflik bersenjata di Intan Jaya bukan baru kali ini terjadi. Serupa dengan berbagai kejadian sebelumnya, kontak tembak bukan cuma menyasar warga sipil, tapi juga memicu gelombang pengungsian.
Setelah Yusak tewas, ratusan warga sipil dari enam kampung secara swadaya mengevakuasi diri. Mereka kini tersebar ke berbagai lokasi, antara lain Pastoran Gereja Katolik Santo Misael Bilogai, Gereja Protestan Tigamajigi, Greja Katolik Agapa, dan Gereja Katolik Stasi Baitapa.
Pastor Angelo Lusi, yang turut mengevakuasi Yusak, angkat bicara memberi nasehat kepada warga yang tinggal sementara di pastoran gereja itu. Dia berkata, warga harus belajar dari peristiwa yang menimpa Yusak.
Pastor Angelo meminta warga untuk sementara tidak keluar dari pengungsian. Alasannya, personel TNI/Polri berpotensi menembak warga sipil dengan tuduhan anggota TPNPB.
"Tidak boleh ada korban lagi," ujarnya.
Seorang warga yang mengungsi berkata, rasa takut kini menjalar ke hampir semua orang. Namun laki-laki dewasa merasakan kecemasan yang paling berat. Mereka cemas bernasib sama seperti Yusak: dituduh anggota milisi pro-kemerdekaan, ditembak, lalu mati.
"Warga sangat trauma, terlebih laki-laki," kata warga yang meminta BBC News Indonesia menyembunyikan identitasnya atas dasar keamanan.
"Laki-laki kalau keluar paling hanya di halaman, lalu masuk kembali. Yang keluar dan petik sayur di halaman hanya perempuan," ujarnya.
Kapolres Intan Jaya, AKBP Afrizal Asri, menurut seorang warga, memberi pengumuman kepada masyarakat melalui pengeras suara masjid di Sugapa, pada Kamis (25/01).
Afrizal meminta warga untuk tidak beraktivitas keluar rumah pada jam-jam tertentu. Dia juga meminta masyarakat menghindari aktivitas di "zona rawan konflik".
Sejak eskalasi kontak tembak meningkat pada 19 Januari lalu, setidaknya satu polisi dan lima orang yang diduga anggota TPNPB tewas.
Polisi yang tewas adalah seorang anggota Brimob: Bripda Alfando Steven Karamoy.
Lima terduga milisi pro-kemerdekaan bernama Oni Kobagau, Jaringan Belau, Agustia, Ones dan Melkias Maisani. BBC News Indonesia belum mendapat informasi dari masyarakat tentang tuduhan aparat kepada kelima orang ini.
Polemik patung Yesus
Pangdam Cenderawasih, Izak Pengemanan, menuduh TPNPB membuat isu tidak benar terkait proyek pembangunan patung Yesus Kristus di Intan Jaya: terdapat bom besar di dalam patung tersebut.
Izak berkata, proyek patung itu telah "sejak lama dibangun oleh TNI". Satuan Tugas dari Batalyon Infanteri 330/Tri Dharma yang kini bertugas di Intan Jaya ditugaskan melanjutkan proyek pembangunan patung itu, kata Izak.
"Semua ini dilakukan untuk membangun perdamaian, saya tidak mau ada kekerasan dan pertumpahan di Tanah Papua," kata Izak, Rabu (24/01) lalu kepada sejumlah wartawan di Jayapura.
"Saya sesalkan ada yang menyebar isu patung itu," tuturnya.
Patung raksasa Yesus Kristus yang disebut Izak direncanakan akan menjadi lokasi wisata di Intan Jaya. Sejak awal Januari lalu, penolakan terhadap proyek itu bermunculan, antara lain dari kalangan mahasiswa. Mereka menduga, proyek patung Yesus ini berkaitan dengan eksploitasi sumber daya emas di Blok Wabu.
'Tugas TNI bukan bangun patung Yesus'
Seorang rohaniawan Katolik asal Intan Jaya, Pastor Yeskiel Belau, menilai proyek patung ini problematis.
Dia berkata, proyek ini tidak semestinya ada karena tugas pokok TNI/Polri bukan membangun sarana wisata rohani. Dua institusi ini, kata Yeskiel, juga tidak memiliki kewenangan menjalankan penginjilan Kristiani.
"Hal-hal yang berhubungan dengan kerohoanian, jalurnya adalah keagamaan," ujar Yeskiel.
"Patung-patung kudus, seperti patung para santo-santa maupun patung Yesus adalah ciri khas Gereja Katolik, maka jelas hubungan ini hendaknya membuka hati pemerintah Intan Jaya untuk menyerahkan pembangunannya kepada Gereja Katolik," kata Yeskiel.
"Gereja mempunyai sumber teologi. Magisterius Gereja berhubungan dengan hukum yang harus ditaati umat, yaitu Kitab Hukum Kanonik yang sudah mengatur semuanya, dari kelahiran, kematian, termasuk pembangunan sarana rohani," tuturnya.
Yeskiel lantas menyebut bahwa tanpa izin pimpinan gereja seperti uskup atau imam, legalitas proyek patung Yesus berpotensi melanggar hukum Katolik.
"Demi hukum Gereja dan situasi aman dan damai di Intan Jaya, serahkanlah patung Yesus itu kepada gereja untuk ditempatkan di tempat yang pantas," ujar Yeskiel.
Apa sikap Bupati?
Pada 10 Januari, Penjabat Bupati Intan Jaya, Apolos Bagau, menyebut bahwa patung Yesus yang dibangun ditujukan menjadi simbol perdamaian di kabupaten tersebut.
"Tidak ada tujuan lain," ujar Apolos dalam pernyataan publik di kantornya. Hari itu, Apolos menyebut proyek itu akan terus dijalankan.
Namun 12 hari kemudian, tepatnya sehari setelah penembakan terhadap Yusak Sondegau, Apolos berubah sikap. Dia menyatakan akan menghentikan proyek pembangunan patung Yesus karena konflik bersenjata yang meningkat.
Apolos berkata, perubahan sikapnya itu juga didasarkan pada gelombang desakan yang disampaikan masyarakat dan pihak gereja.
Apa kaitan dengan Blok Wabu?
Pemerintah pusat sampai saat ini belum pernah mengumumkan secara resmi area konsesi Blok Wabu yang akan dioperasikan oleh perusahaan pelat merah, PT Aneka Tambang Tbk.
Merujuk temuan lembaga advokasi HAM, Amnesty Internasional, terdapat dokumen pemerintah yang berisi usulan area konsesi Blok Wabu seluas 69.000 hektare atau seluas wilayah DKI Jakarta.
Dalam publikasi rencana penambangan emas di Intan Jaya pada 2020 oleh pemerintah, banyak komunitas warga di Intan Jaya menolak konsesi Blok Wabu di kabupaten mereka.
Isu ini mencuat lagi seiring rencana pembangunan patung Yesus. Kasak-kusuk di Intan Jaya beredar: patung itu berkaitan dengan Blok Wabu.
Saat konflik bersenjata meningkat di Intan Jaya belakangan ini, sejumlah pejabat daerah di Papua Tengah angkat bicara terkait Blok Wabu.
Penjabat Gubernur Papua Tengah, Ribka Haluk, misalnya, berkata kepada pengunjuk rasa di Nabire bahwa belum ada izin apapun yang dia keluarkan untuk Blok Wabu. Penjabat Bupati Intan Jaya, Apolos Bagau, juga mengeluarkan perkataan serupa.
"Kami tidak pernah mengeluarkan rekomendasi terkait pengelolaan Blok Wabu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (23/01) lalu.
Blok Wabu merupakan sebuah lanskap pegunungan dengan sumber daya emas. Konsesi ini sebelumnya dipegang oleh PT Freeport Indonesia, sebelum mereka mengembalikannya kepada pemerintah tahun 2015.
Menurut analisis Amnesty Internasional, eksploitasi emas di Blok Wabu berpotensi membuat kasus pelanggaran HAM di Intan Jaya melonjak. Salah satu kasus HAM itu adalah pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani pada tahun 2020.
Amnesty mencatat terdapat peningkatan jumlah tentara dan pos militer di Intan Jaya sejak tahun 2019. Konflik di Intan Jaya pada Januari ini menambah daftar panjang kasus kekerasan di Tanah Papua.
Selama tahun 2023, menurut Aliansi Demokrasi untuk Papua, terjadi 96 kasus kekerasan dan konflik bersenjata di Papua dan Papua Barat. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 53 kasus.
Sumber: BBC