DEMOCRAZY.ID - Kelompok Petani Kampung Bayam Madani (KPKBM) mengajukan permohonan audiensi kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Mereka menuntut agar bisa menempati Kampung Susun Bayam.
“Kami kesekian kalinya mengirim surat ke Pj (Heru Budi) agar mau dialog dengan warga. Bukan mempolisikan,” kata Ketua KPKBM Furkon lewat pesan singkat pada Tempo, Jumat, 12 Januari 2024.
Dalam pesannya, Furkon menyertakan foto berupa surat permohonan audiensi kepada Heru Budi Hartono tertanggal 10 Januari 2024.
Surat tersebut sudah diterima petugas di Balai Kota yang ditandai lembar pengantar berlogo Pemprov DKI dengan cap di kolom pengolah tertanggal Jumat, 12 Januari 2024.
Furkon mengaku upaya audiensi ini pernah dilakukan pula sejak 13 Maret 2023. Saat itu mereka meminta pertemuan dengan BUMD DKI, PT Jakarta Propertindo (Jakpro), selaku pengelola Kampung Susun Bayam, tapi tidak mendapat kejelasan.
Akhirnya, pada 18 Maret 2023, warga yang tergabung dalam KPKBM melakukan aksi dengan tinggal di selasar di lantai 1 Kampung Susun Bayam (KSB).
Mereka mengklaim Jakpro telah menjanjikan warga agar bisa tinggal di rumah susun (rusun) tersebut. Sebab sebelumnya, mereka tinggal di hunian sementara yang disediakan era Gubernur Anies Baswedan.
Beberapa bulan bertahan di selasar, warga mulai membuka paksa unit-unit lantai 2 untuk ditinggali secara serentak.
Mereka masuk tanpa izin Jakpro selaku pengelola gedung. Meskipun fasilitas listrik dan air di sana mati. Mereka mulai menggunakan genset dan mengambil air di luar rusun.
Furkon berujar upaya itu dilakukan agar Jakpro atau Pemprov DKI Jakarta mau mengunjungi mereka. Tak sesuai harapan warga, Jakpro justru menggandeng kepolisian untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Jakpro melaporkan Furkon, Junaedi Abdullah, Komar, dan Sudir karena masuk dan tinggal tanpa izin di KSB.
Mereka diduga melanggar Pasal 170, Pasal 406, dan Pasal 167 KUHP, yakni melakukan kekerasan terhadap barang, pengrusakan, dan memasuki pekarangan milik orang lain tanpa izin yang berhak.
Kasus itu kini sudah dalam tahap penyidikan. Kuasa hukum warga KSB, Muhammad Taufiq, berujar telah meminta Polres Jakarta Utara untuk menghentikan penyidikan.
Taufiq menganggap proses itu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang mengatur Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP tidak bisa diberikan secara bersamaan dengan surat panggilan.
“Seyogyanya polisi mengirimkan terlebih dahulu SPDP kepada klien kami dan kemudian pada waktu berikutnya mengirimkan panggilan, bukan mengirimkan sekaligus keduanya kepada klien kami pada saat yang bersamaan melalui pos, hal ini tidak dapat dibenarkan,” kata Taufiq lewat keterangan tertulis pada Rabu, 10 Januari 2024.
Sebab sehari sebelum surat SPDP dan surat panggilan diterima warga, mereka sudah melakukan mediasi bersama Jakpro. Meski warga tetap memilih melawan.
Sumber: Tempo