DEMOCRAZY.ID - Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mokhtar mengatakan lebih baik membahas “memincangkan” presiden daripada pemakzulan presiden.
Zainal pertama kali menjelaskan, ada konsep lame duck’ atau ‘bebek pincang’ dalam ilmu hukum tata negara.
Dalam konteks presiden, ia menuturkan, beberapa negara menerapkan aturan ‘memincangkan’ presiden untuk menurunkan daya kuasanya, khususnya menjelang transisi pemerintahan.
“Presiden di beberapa negara ya, menjelang pemilu atau transisi antar pemilu, atau transisi menuju ke pemerintah selanjutnya itu rata-rata dipincangkan. Dibuat menjadi tidak bisa berdaya, sedaya guna presiden biasa. Itu ada, banyak,” kata Zainal, dalam diskusi secara virtual bertajuk ‘Presiden Berkampanye?’ yang digelar Universitas Pramadina, pada Senin (29/1/2024).
Ia mengatakan, banyak kepentingannya untuk dilakukannya ‘lame duck’ terhadap presiden.
“Termasuk bukan saja untuk kepemiluan, tapi menghindari yang namanya Cinderella Action. Menghindari biasanya presiden itu menjelang menjadi orang biasa itu kemudian mengeluarkan peraturan banyak sekali,” tuturnya.
Sebagai contoh, Zainal mengatakan, Presiden Amerika Serikat Ke-44 Barack Obama, sebelum masa kepemimpinannya habis dan akan menjadi orang biasa, mengeluarkan 144 kebijakan baru.
“Kita harus mulai memincangkan presiden. Bukan hanya soal kampanye. Kampanye itu hanya satu titik kecil. Kita harus membicarakan bagaimana dengan hak protokoler keuangan, kita harus membicarakan bagaimana dia (presiden) membangun politik anggaran,” jelas Zainal.
“Karena apapun yang diputuskan oleh presiden di tahun ini, khususnya di Agustus nanti, itu akan berlaku untuk presiden baru lho,” sambungnya.
Bahkan, kata Zainal, Nigeria termasuk negara yang mengancam pidana jika presiden menghalang-halangi proses transisi pemerintahan.
“Ini berlaku bukan untuk pemilu 2024 saja. Diatur bahwa presiden tidak bisa menyelenggarakan roda pemerintahan sama seperti ketika dia menjadi baru dilantik, karena ada potensi konflik kepentingan,” katanya.
Adapun hal ini menurutnya dapat dilakukan oleh DPR, karena lembaga legislatif itu memiliki kewenangan dalam hal demikian.
“Sebenarnya ini sederhana, karena DPR bisa melakukan itu,” ungkap Zainal.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut dia boleh berkampanye dan memihak kandidat tertentu yang maju di Pilpres 2024.
Adapun hal tersebut menimbulkan perdebatan lantaran diduga mengandung konflik kepentingan, terkait putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di 2024.
Sumber: Tribun