Sebut Penuhi Unsur Pemakzulan, Ini 3 Pernyataan Bivitri Susanti Soal Pelanggaran Jokowi - DEMOCRAZY News
HOT NEWS HUKUM POLITIK

Sebut Penuhi Unsur Pemakzulan, Ini 3 Pernyataan Bivitri Susanti Soal Pelanggaran Jokowi

DEMOCRAZY.ID
Januari 28, 2024
0 Komentar
Beranda
HOT NEWS
HUKUM
POLITIK
Sebut Penuhi Unsur Pemakzulan, Ini 3 Pernyataan Bivitri Susanti Soal Pelanggaran Jokowi

Sebut Penuhi Unsur Pemakzulan, Ini 3 Pernyataan Bivitri Susanti Soal Pelanggaran Jokowi


DEMOCRAZY.ID - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah memenuhi unsur untuk dimakzulkan. 


Pernyataan itu disampaikan menyusul kontroversi ucapan Jokowi tentang presiden boleh kampanye dan memihak dalam Pemilu 2024.


"Menurut saya, ini adalah alasan yang sahih untuk sebuah proses pemakzulan, karena ini merupakan perbuatan tercela," kata Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.


Sebelumnya, Jokowi menyatakan presiden dan menteri dapat memihak dan berkampanye dalam pemilu. Yang paling penting, menurut Jokowi, adalah tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara.


"Presiden itu boleh kampanye. Boleh memihak. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masa ini enggak boleh," kata Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.


Ihwal pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden Jokowi mencuat usai sejumlah tokoh yang menamakan Petisi 100 mendatangi Menko Polhukam Mahfud MD di pada Selasa, 9 Januari 2024 lalu. 


Tuntutan pemakzulan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi atau MK dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.


Berikut pernyataan Bivitri Susanti ihwal pernyataan pemakzulan Jokowi.


1. Membolehkan kampanye Pemilu menjadi alasan pemakzulan Jokowi


Bivitri menilai ucapan Jokowi tentang presiden dan menteri boleh memihak serta berkampanye dalam pemilu menjadi alasan sahih pemakzulan presiden. 


Menurut dia, ucapan mantan Wali Kota Solo itu merupakan perbuatan tercela yang merupakan salah satu syarat pemakzulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 tentang syarat-syarat pemberhentian presiden.


"Menurut saya, ini adalah alasan yang sahih untuk sebuah proses pemakzulan, karena ini merupakan perbuatan tercela," kata Bivitri, Rabu, 24 Januari 2024.


Bivitri mengatakan, perbuatan tercela presiden tidak dinilai secara personal, melainkan dalam konteks jabatan presiden. 


Tak hanya itu, Bivitri menyebutkan, keberpihakan presiden dan menteri dalam pemilu akan berdampak buruk kepada demokrasi. 


Menurut dia, keberpihakan presiden merupakan bahaya dari nepotisme yang selama ini digaungkan.


2. Pemakzulan sangat layak dilanjutkan


Bivitri mengatakan ide pemakzulan terhadap Presiden Jokowi merupakan upaya bagus. Hal ini menyusul ihwal presiden terlibat dalam kampanye pemilihan presiden 2024. 


“Peluang pemakzulan sangat layak dilanjutkan,” kata Bivitri, Kamis, 2 November 2023. 


Menurut Bivitri, DPR bisa menggunakan hak angket dan interpelasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 200 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2015. 


Hak itu dimiliki DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Kendati demikian, Bivitri mengatakan upaya pemakzulan memiliki proses yang diatur dalam UU. Terutama bukti yang konkret dan dinyatakan secara terbuka oleh presiden Jokowi sebagai alasan pemakzulan.


“Isunya harus riil, bisa dibuktikan, dan erat kaitannya dengan Jokowi sendiri sebagai presiden,” kata dia.


3. Keberpihakan presiden dan menteri dalam Pemilu melanggar hukum dan etik


Bivitri mengatakan keberpihakan presiden dan menteri dalam Pemilu akan melanggar hukum dan etik. 


Ia menyebut ada anggapan keliru tentang regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak.


Ia menjelaskan mungkin Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307. 


Pasal-pasal itu membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon.


"Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik," kata Bivitri saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.


Devitri juga menyebutkan, prinsip dan etika penyelenggara negara harus diperhatikan. 


Pasalnya, seorang pejabat negara tidak mungkin melepaskan diri dari fasilitas negara yang melekat kepada mereka. 


Menurutnya, sekretaris, ajudan, sopir, hingga mobil merupakan fasilitas negara yang sulit dilepaskan dari para pejabat negara.


Sumber: Tempo

Penulis blog