DEMOCRAZY.ID - Situasi masyarakat baik di lingkungan rumah, kerja, tongkrongan hingga di media sosial semakin memanas mendekati waktu Pemilu 2024 tiba, yakni pada 14 Februari mendatang.
Sebelum pemilu, masyarakat diberikan waktu untuk memilah dan menentukan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden, termasuk yang menjadi wakilnya di DPR yang akan dipilih dan diharapkan mampu mengemban amanah untuk posisi vital tersebut.
Sebagian besar masyarakat baik secara langsung maupun di media sosial mulai terang-terangan menyuarakan pandangan mereka terkait kriteria calon pemimpin yang mereka yakini untuk dapat melaksanakan tanggung jawab sebagai pembuat keputusan 5 tahun mendatang.
Berkaca dari fenomena tersebut, nyatanya dalam Islam terdapat sebuah kisah dimana Rasulullah SAW pernah menolak memberikan amanah kepada sahabatnya untuk menjadi pemimpin.
Dalam kisah tersebut, Rasulullah SAW menyebutkan, bahwa jika seseorang yang memiliki sikap terpuji sekalipun tidak dianjurkan untuk menjadi seorang pemimpin apabila memiliki satu kriteria yang melekat pada diri orang tersebut.
Ketika Sahabat Nabi SAW, Ditolak untuk Dijadikan Pemimpin
Hal ini dijelaskan dalam sebuah kisah ketika sahabat nabi hendak dijadikan pemimpin suatu kaum namun Nabi Muhammad SAW menolaknya dan tidak memperbolahkan sahabatnya tersebut untuk mengambil tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.
Nah yang jadi persoalan adalah kenapa Rasulullah SAW sampai menolak sahabatnya sendiri untuk menjadi seorang pemimpin?
Simak penjelasan berikut ini dikutip dari muslim.or.id pada Jumat (26/01/2024).
Pemimpin haruslah amanat. Namun sifat amanat ini sangat kurang untuk saat ini, bahkan walau kepalanya dibaluti sorban atau jidatnya nampak bekas shalat. Sungguh, musibah di akhir zaman. Perhatikan nasehat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Dzar berikut ini.
Abu Dzarr berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).
Kisah Abu Dzar
Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).
Imam Nawawi membawakan dua hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak layak kepemimpinan atau kekuasaan diberikan pada orang yang lemah yang tidak punya kapabilitas, bukan ahli di dalamnya.
Namun boleh menerima kekuasaan jika diberikan oleh khalifah atau oleh majelis yang bertugas untuk menunjuk penguasa yang capable.
Point penting yang patut dicatat bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanat yang berat dan berbahaya.
Siapa yang diberi amanat seperti ini hendaklah ia benar-benar menjalankannya dan jangan bersifat khianat.
Jika ia menjalaninya dengan benar dan punya kapabilitas di dalamnya, maka ia akan mendapatkan keutamaan yang besar berupa naungan Allah pada hari kiamat kelak.
Demikian kriteria seseorang yang tidak boleh jadi seorang pemimpin menurut kisah Rasulullah SAW.
Sumber: Liputan6