DEMOCRAZY.ID - Pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengenai dibolehkannya keberpihakan presiden dan jajaran menteri untuk kampanye menuai banyak kritik.
Menurut ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Muhammad Isnur, keberpihakan Jokowi dalam Pemilu 2024 merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan dan kemunduran demokrasi.
Isnur dalam wawancara dengan Tempo, pada Rabu, 24 Januari 2024 mengatakan "Kami mendesak agar Presiden Joko Widodo untuk berhenti melakukan praktik buruk pelanggaran konstitusi dan demokrasi serta etika kehidupan berbangsa dan bernegara,”.
Respons lain muncul dari Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Airlangga atau Presiden BEM Unair, Anang Jazuli mengatakan keberpihakan presiden dalam kampanye memang diperbolehkan dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan catatan tidak menggunakan fasilitas negara.
“Namun yang menjadi penting yaitu, sekalipun Indonesia adalah negara hukum, pernyataan Jokowi tersebut saya rasa disampaikan pada momentum yang kurang tepat karena waktu itu presiden sedang bersama dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden dan di lain sisi salah satu putranya juga sedang berkontestasi sebagai calon wakil presiden.” kata Anang kepada Tempo melalui WhatsApp, Selasa, 30 Januari 2024.
Menurutnya pernyataan Jokowi itu bisa menimbulkan prasangka dan rasa tidak adil antara pasangan calon lain yang membuat seolah presiden tidak netral dalam pemilu kali ini.
Sebagai orang nomor satu di Indonesia netralitas menjadi hal yang penting guna menjaga norma dan etika untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas serta menjaga kepercayaan masyarakat.
Pernyataan presiden itu, menurut Anang, ingin menunjukkan dukungan tersembunyi dan preferensi politik Presiden pada Pemilu kali ini.
Ada kecenderungan dukungan yang secara tersirat dilakukan oleh Presiden Jokowi, mengingat putranya sulungnya juga mencalonkan diri dengan melanggar Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang ketuanya saat itu adalah paman dari Gibran Rakabuming Raka dan adik ipar dari Presiden Joko Widodo.
“Sekalipun tidak secara gamblang mengatakan mendukung paslon A, tetapi sudah terlalu banyak isyarat jika Presiden cenderung mendukung salah satu paslon. Seperti sering menjalankan kunjungan kerja dengan salah satu paslon, melakukan agenda makan dengan para ketua umum partai pengusung salah satu paslon, dan sebagainya. Itu sudah menjadi isyarat bahwa keberpihakan presiden mengarah ke mana.” kata mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Unair ini.
Seperti diketahui akhir-akhir ini kunjungan kerja dan makan-makan presiden dengan beberapa tokoh disebut sebagai agenda politik. Makan siang menjadi komunikasi politik Jokowi.
Termasuk dengan beberapa kali bersama para tokoh politik dan yang terakhir makan siang bersama Prabowo Subianto, di Magelang.
Agenda tersembunyi itu malah menunjukkan secara gamblang presiden ingin mengarah dan mendukung siapa dengan tujuan politik agar kekuasaan dapat terus berjalan. Sikap presiden disoroti sebagai bagian dari ketidaknetralan dan sikap yang tidak etis.
“Saya rasa mungkin presiden berpikir dengan menunjukkan keberpihakan kepada salah satu paslon akan mengarahkan agar masyarakat mendukung keberlanjutan program pemerintahan saat ini oleh presiden dan wakil presiden yang baru terpilih. Sehingga bisa jadi apa yang menjadi agenda politik para elit hari ini dapat terus berjalan sesuai yang direncanakan,” katanya.
Anang menanggapi bagaimana jika Presiden Jokowi harus meminta izin Presiden untuk berkampanye dan berpihak ketika kontestasi politik sedang berlangsung.
“Dibayangkan saja itu agak aneh. Akan membingungkan bagaimana prosedur teknis itu dijalankan oleh orang yang sama.” ujar Anang.
Sumber: Tempo