POLITIK

[ANALISIS] Potensi Penyalahgunaan Wewenang Presiden Saat Memihak di Pilpres

DEMOCRAZY.ID
Januari 25, 2024
0 Komentar
Beranda
POLITIK
[ANALISIS] Potensi Penyalahgunaan Wewenang Presiden Saat Memihak di Pilpres

[ANALISIS] Potensi Penyalahgunaan Wewenang Presiden Saat Memihak di Pilpres


DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo menuai polemik usai menyebut seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu.


Menurutnya, hal itu tidak dilarang sepanjang mengikuti aturan bahwa selama kampanye tidak menggunakan fasilitas negara.


Jokowi mengatakan presiden tak hanya berstatus sebagai pejabat publik, namun juga pejabat politik.


Keberpihakan Jokowi dalam Pilpres 2024 sebenarnya sudah jauh hari jadi sorotan publik setelah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, ikut mencalonkan diri sebagai wakil presiden.


Gibran mendampingi calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan di kabinet pemerintahan Jokowi.


Berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, presiden dan wakil presiden yang masih menjabat memang diperbolehkan ikut serta dalam kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden di Pilpres 2024.


Meski diperbolehkan ikut kampanye, presiden dan wakil presiden harus memenuhi pelbagai persyaratan. 


Di antaranya harus cuti di luar tanggungan negara serta tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.


Persyaratan yang sama juga harus dilakukan oleh para menteri dan para kepala daerah tingkat provinsi hingga kabupaten/kota bila ingin terlibat dalam mengampanyekan kandidat peserta pemilu.


Sementara dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 53 tahun 2023 dijelaskan menteri dan pejabat setingkat menteri yang dicalonkan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden tidak harus mundur dari jabatannya.


Jokowi dinilai langgar etik


Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menilai keberpihakan dan keikutsertaan Jokowi dalam kampanye melanggar etik.


"Secara etik pasti salah, enggak boleh itu seharusnya. Offside. Kampanye presiden, menteri-menteri kampanye itu enggak boleh secara etik," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/1) malam.


Ia membenarkan bahwa Jokowi boleh berpolitik karena setiap warga negara memiliki hak politik untuk memilih. Namun, yang menjadi persoalan, menurutnya, kampanye yang dilakukan oleh seorang presiden.


Dalam konteks jabatan presiden, kata dia, etika penyelenggara negara harus diperhatikan. Sebab, presiden bisa mempengaruhi suara masyarakat melalui fasilitas negara yang melekat dan pengaruh yang dimilikinya.


"Presiden, menteri, itu kalau ngomong pasti kayak titah juga. Menteri paling tidak buat jajaran bawahannya. Kalau dari aspek hukum, secara prinsip kita bisa lihat pasal-pasal lainnya enggak boleh ada kampanye oleh pejabat-pejabat negara," ujarnya.


Bivitri menyoroti pernyataan Wakil Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan presiden dan wakil presiden boleh melakukan kampanye sesuai Pasal 299 ayat 1 Undang-undang Pemilu.


Ia menegaskan pasal yang menyatakan hak presiden untuk berkampanye harus dibaca dalam konstruksi hukum yang utuh dari Undang-undang Pemilu. 


Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu, jelas dia, dibuat untuk presiden, wakil presiden, dan menteri yang mencalonkan diri dalam kontestasi politik.


"Dalam konteks presiden seperti Jokowi 2019 boleh kampanye orang dia nyalon lagi. Tapi kan sekarang dia enggak nyalon. Jadi itu bukan perlakuan umum sebenarnya. Itu kekhususan," jelasnya.


"Secara prinsip kita bisa lihat di pasal-pasal lainnya enggak boleh tuh ada kampanye oleh pejabat-pejabat negara," imbuhnya.


Selain melanggar etik, Bivitri juga menilai Jokowi melanggar hukum tata negara yang mengandung nilai-nilai konstitusionalisme.


"Hukum tata negara itu mengandung nilai-nilai konstitusionalisme, dalam konteks ini Jokowi melanggar. Dia juga melanggar prinsip pemilu kita yaitu luber, jurdil terutama dil-nya. Enggak ada keadilan pemilu jadinya," kata Bivitri.


[ANALISIS] Potensi Penyalahgunaan Wewenang Presiden Saat Memihak di Pilpres


Pelanggaran undang-undang


Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai pernyataan Jokowi secara terang benderang melanggar undang-undang.


Dalam Pasal 229 Undang-undang Pemilu disebutkan bahwa yang boleh kampanye adalah mereka yang sudah didaftarkan sebagai juru kampanye atau tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).


"Lho, Jokowi bukan tim kampanye," ujarnya.


Menurutnya, cara berpikir Presiden Jokowi yang mengatakan boleh kampanye itu cara berpikir yang menempatkan Presiden semata-mata sebagai jabatan politik.


"Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945" kata Ubedilah.


"Lebih bahaya lagi ketika Jokowi bicara boleh kampanye dan boleh memihak itu ia lakukan didampingi Prabowo dan di hadapan dan di kelilingi tentara," sambungnya.


Ubedilah menegaskan mencampuradukan antara jabatan politis, kepala negara dan kepala pemerintahan tidak bisa dibenarkan.


Tindakan itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.


"Mencampuradukkan wewenang itu sama saja bekerja di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut. Karenanya Presiden Jokowi sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar undang-undang," jelasnya.


Netralitas Sekadar Jargon


Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai secara etik sebaiknya Jokowi menjaga proses penyelenggaraan Pemilu.


Menurutnya, seorang presiden perlu betul-betul netral di tengah banyaknya narasi soal independensi penyelenggaraan Pemilu. Sehingga, bicara netralitas tidak hanya sebagai jargon semata.


Wanita yang akrab disapa Ninis itu berpendapat keikutsertaan Jokowi dalam kampanye Pemilu 2024 berpotensi merusak demokrasi Indonesia. Apalagi, Gibran yang merupakan putra sulung Jokowi menjadi salah satu peserta pilpres.


"Sejak pencalonannya sudah banyak mendapatkan kritikan. Bahkan MKMK menyatakan ada pelanggaran etik berat terhadap putusan MK. Potensi penggunaan state resources untuk menguntungkan pasangan calon tertentu juga ada," kata Ninis.


Ninis mengatakan jika hanya membaca salah satu pasal, memang tidak ada larangan bagi presiden ataupun menteri untuk kampanye. Karena itu, perlu membaca pasal dalam Undang-undang Pemilu secara utuh.


"Undang-undang hanya mengatur bahwa untuk kampanye harus cuti saat kampanye. Tapi di luar itu yang perlu diantisipasi adalah soal potensi penyalahgunaan wewenangnya," ucap Ninis.


Perbandingan era Megawati, SBY dan Jokowi


Menurut Bivitri, Jokowi merupakan presiden yang secara terang-terangan menabrak konstitusi dan hukum dibandingkan presiden-presiden sebelumnya.


"Pak Jokowi itu yang paling jelas inkonstitusionalitasnya. Ini yang paling rusak, demokrasi kita benar-benar mundur, kekuasaan presiden terlalu berlebih-lebihan sangat kelihatan dibanding jamannya Pak SBY dan Bu Mega," katanya.


Ia mengatakan politik dinasti tak ada di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY). Politik dinasti muncul ketika Jokowi menjadi presiden.


Meski SBY mendukung putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menguasai Partai Demokrat, namun ia tak memberi jalan AHY untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.


Begitu pun dengan Megawati terhadap putrinya, Puan Maharani. Megawati tak berupaya membengkokkan hukum demi karpet merah bagi sang anak.


"Situasi di mana presiden yang masih berkuasa memberikan jalan karpet merah dan fasilitas untuk anaknya itu baru sekarang terjadi," ujar Bivitri.


Ia mengatakan Pasal 282 Undang-undang Pemilu dibuat ketika belum ada kasus empirik tentang nepotisme yang terjadi saat ini. Karena itu, di dalam Undang-undang tidak ada pasal-pasal yang melarang secara ketat terkait kampanye.


"Jadi undang-undangnya memang tidak menyiapkan pasal yang lebih ketat tentang larangan-larangan ini karena dari dulu enggak ada. Ini anomali yang sekarang terjadi," ujarnya.


Hal yang sama disampaikan Ninis. Menurutnya, baik Megawati maupun SBY tak cawe-cawe dalam Pemilu meski saat itu masih menjabat sebagai presiden.


"Kalau dibandingkan dengan presiden sebelumnya situasinya memang berbeda. Di presiden-presiden sebelumnya saat akhir masa jabatan mereka kan tidak diikuti dengan pencalonan kerabat mereka," kata Ninis.


Sementara itu, kata dia, Jokowi sangat terlihat jelas cawe-cawe dalam pencalonan Gibran di Pilpres 2024.


"Ini yang menjadikan saat ini kita bisa merasakan cawe-cawe itu, seperti tadi misalnya saat proses pencalonan yang melalui putusan MK," ucapnya.


Membaca makna perubahan PP Pemilu


Bivitri mengatakan perubahan PP Nomor 32 Tahun 2018menjadi PP Nomor 53 Tahun 2023 yang mengatur menteri hingga wali kota tidak perlu mundur dari jabatan meskipun maju sebagai capres atau cawapres cukup rumit karena merupakan tindaklanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).


"Memang aturan-aturan itu dibuatnya terlalu longgar. Harusnya menteri-menteri yang nyalon, gubernur, wali kota mundur jangan hanya cuti karena enggak mungkin dilepaskan dari jabatan," kata Bivitri.


Menurutnya, seorang pejabat negara tidak mungkin melepaskan diri dari fasilitas negara yang melekat kepada mereka. Ia menyebut sopir, sekretaris, ajudan hingga mobil merupakan fasilitas negara yang sulit dilepaskan.


"Makanya enggak lazim tuh sekadar boleh cuti. Karena dalam kenyataannya tidak mungkin seseorang dilepaskan sepenuhnya dari jabatan yang tengah dia emban apalagi kalau kita bicara jabatan publik," ucapnya.


Selain kemungkinan menggunakan fasilitas negara, kata dia, ada kemungkinan untuk mereka melakukan intimidasi. Sebab, pejabat negara bisa memengaruhi masyarakat.


"Tersirat ataupun tersurat dalam masyarakat Indonesia yang feodalistik ini misalnya Menteri Airlangga kalau dia ngomong dibilang 'hei bawahan pilihlah si x' pasti bawahan akan nurut karena bawahan enggak akan mungkin bisa memisahkan Airlangga secara pribadi dengan jabatan menteri," ujarnya.


Hal yang sama juga terjadi pada Jokowi. Bivitri menilai masyarakat akan melihat pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Jokowi sebagai seorang presiden bukan sebagai tukang kayu.


Senada, Ninis menyebut ada potensi baik presiden maupun menteri yang berkampanye mempengaruhi bawahan hingga masyarakat untuk memilih paslon tertentu di Pilpres 2024.


"Potensi ini bisa terjadi, karena psikologis dari ASN adalah mengikuti perintah dari pimpinan," tuturnya.


Ia berpendapat para bawahan itu khawatir jika tak menaati titah atasan, maka hal itu akan turut berdampak pada karier mereka.


"Jika tidak menuruti maka bisa jadi ada kekhawatiran nanti akan berdampak pada karirnya," ucap Ninis.


Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut seorang presiden boleh memihak dan berkampanye selama masa Pemilu telah disalahartikan oleh sejumlah pihak.


"Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari dalam pesan singkat di Jakarta, Kamis (25/1).


Sumber: CNN

Penulis blog