HUKUM

Perbandingan Konflik Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana Lebih Parah?

DEMOCRAZY.ID
Januari 23, 2024
0 Komentar
Beranda
HUKUM
Perbandingan Konflik Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana Lebih Parah?

Perbandingan Konflik Agraria di Era Jokowi dan SBY, Mana Lebih Parah?


DEMOCRAZY.ID - Pembangunan nasional tak selalu berjalan mulus. calon wakil presiden nomor urut 1, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyebut pembangunan diiringi dengan konflik. 


Di bidang pertanahan, masih banyak terjadi kesenjangan dan konflik agraria yang terus terjadi antara pemerintah, masyarakat, dan perusahaan. 


Pada Periode Pemerintahan Presiden Joko Widodo, konflik agraria di Indonesia mengalami peningkatan yang pesat.


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mecatat, selama 9 tahun terakhir, terjadi sekira 2.939 konflik agraria di Indonesia.


Selama tahun 2015 hingga 2023, jumlah konflik agraria tertinggi ada pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 1.131 konflik. 


Hal ini berdampak pada lebih dari 2,7 juta hektar lahan dan menimbulkan lebih dari 400 ribu kepala keluarga menjadi korban.


Konflik agraria di sektor pembangunan properti menjadi yang kedua terbanyak, dengan 609 konflik yang berdampak pada sekitar 225 ribu hektare lahan dan 177 ribu kepala keluarga sebagai korban. 


Dilansir dari jurnal berjudul “Kebijakan Reforma Konflik Hukum Politik Agraria di Era Pemereintahan Jokowi” karya Hernanda Ayudya dan kawan-kawan yang diterbitkan Universitas Brawijaya, pada masa jabatan Jokowi, dalam rentang waktu 2015-2020, konflik agraria mencapai 2.291 kasus. 


Jumlahnya melampaui pada  masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mana  tidak  sampai 2000 kasus. 


Angka tersebut terus meningkat dalam periode pemerintahan Jokowi yang ke-2 ini.


Dewi Karthika, Sekretaris Jenderal Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, laju pembangunan dan investasi pada masa pemerintahan Joko Widodo diikuti dengan laju eskalasi konflik agraria yang meletus di berbagai daerah. 


Menurut Dewi, seiring datangnya pengembangan dan investasi, pemerintah yang tidak menghormati hak-hak masyarakat di wilayah yang diperuntukkan bagi pembangunan dan investasi, sehingga menyebabkan penggusuran dan perampasan tanah.


Berdasarkan laporan Tim Reforma Agraria Staf Presiden (KSP), saat ini terdapat 223 persoalan pertanahan, di antaranya terkait PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan tercatat sebagai pengaduan masyarakat. 


Yang lebih memprihatinkan lagi, hingga kini belum ada solusi penyelesaian sengketa agraria di wilayah PTPN tersebut.


Selain itu, merujuk pada ylbhi.or.id, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menemukan bahwa proyek-proyek strategi nasional (PSN) yang dilakukan oleh Jokowi diiringi aksi protes dari sejumlah kelompok masyarakat.  


YLBHI mencatat proyek-proyek tersebut, diikuti dengan tindakan represif aparat dan penggunaan kekuatan  berlebihan terhadap warga yang mempertahankan tanah, air, dan tempat hidupnya. 


Petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia, dan aktivis lingkungan hidup pun menjadi sasaran kekerasan fisik dan non-fisik serta kriminalisasi. Dari 43 jumlah kasus kriminalisasi, 212 orang petani menjadi korban.


Upaya kriminalisasi oleh pihak berwenang maupun perusahaan tersebut paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. 


Kemudian diikuti oleh UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus. 


Sumber: Tempo

Penulis blog