CATATAN POLITIK

'Menyikapi Isu Pemakzulan Presiden'

DEMOCRAZY.ID
Januari 31, 2024
0 Komentar
Beranda
CATATAN
POLITIK
'Menyikapi Isu Pemakzulan Presiden'
'Menyikapi Isu Pemakzulan Presiden'


'Menyikapi Isu Pemakzulan Presiden'


Pergulatan politik menjelang pemilu akhir-akhir ini kembali membawa suasana ketegangan dan ketidakharmonisan dalam berbangsa dan bernegara. 


Salah satu hal yang menjadi penyebab utamanya adalah munculnya wacana pemakzulan Presiden setelah adanya permintaan dari sejumlah tokoh dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat yang mendatangi Menkopolhukam Mahfud MD untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo karena diduga telah melanggar konstitusi dan laporan terkait dengan adanya dugaan kecurangan dalam pemilu.


Beberapa dugaan pelanggaran konstitusi oleh Presiden yang dilaporkan di antaranya terkait dengan adanya nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK), intervensi lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Dewan Pengawas KPK melalui revisi Undang-Undang KPK, penerbitan Perpres No. 54 Tahun 2020 tentang APBN yang seharusnya dibahas dan mendapat persetujuan DPR, dan menerbitkan Perpu Cipta Kerja dengan mengesampingkan perintah dari putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang inkonstitusional bersyarat.


Menariknya, mekanisme yang dilakukan dalam mengajukan permohonan pemakzulan ke Menkopolhukam merupakan langkah yang keliru dan tidak sesuai dengan tata cara pemakzulan Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang secara eksplisit dijelaskan dalam konstitusi yakni Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:


Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajuakn permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.


Sehingga, secara prosedural upaya yang dilakukan dalam pemakzulan presiden ke Menkopolhukam adalah langkah yang secara hukum inkonstitusional sehingga sulit bagi presiden untuk dijatuhkan dengan mekanisme yang seperti itu. 


Namun, yang menarik dari alasan pemakzulan yang diajukan oleh Petisi 100 terkait dengan frasa adanya dugaan “pengkhianatan terhadap negara” yang menimbulkan berbagai macam polemik dan penafsiran.


Lantas, bagaimana kualifikasi dan penjelasan secara yuridis atas frasa “pengkhianatan terhadap negara” tersebut?


Undang-Undang Dasar 1945 secara expressive verbis memang tidak memberikan penjelasan yang pasti terkait dengan unsur pengkhianatan terhadap negara. 


Tetapi, kita bisa merujuk pada beberapa ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang lain seperti Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi; dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a menyebutkan bahwa pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.


Kejahatan terhadap keamanan negara sendiri diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 129. 


Misalnya, Pasal 112 KUHP menyebutkan: Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang sesuatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya, bahwa surat, kabar atau keterangan itu harus dirahasiakan karena kepentingan negara, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.


Selain itu, dalam penjelasan Pasal 169 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tidak pernah mengkhianati negara adalah tidak pernah terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah dasar negara, serta tidak pernah melanggar UUD 1945.


Sedangkan menurut Wirjono Pordjodikoro, ada dua macam pengkhianatan, yakni; pertama, pengkhianatan intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. 


Kedua, pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri. Misalnya memberikan pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan negara kita.


Apabila dugaan atas pengkhianatan terhadap negara memang memiliki bukti yang kuat, maka secara prosedural yang menjadi inisiator dalam proses pemakzulan tersebut adalah DPR, lalu disidangkan ke MK untuk menguji secara hukum apakah presiden telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar hukum atau tidak, setelah itu baru kemudian putusan MK tersebut diajukan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memutuskan apakah presiden layak untuk diberhentikan atau vice versa.


Dengan demikian, jika kita cermati alur proses dari pemakzulan itu sendiri memiliki makna bahwa meskipun presiden telah terbukti melanggar hukum tetapi putusan akhir tergantung pada putusan MPR yang juga merupakan lembaga politik. 


Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara politik sehingga pada saat pemberhentian presiden harus diberhentikan secara politik pula. ***

Penulis blog