'Melawan Penyalahgunaan Kekuasaan'
KEKUASAAN di level negara memang memiliki daya pikat yang luar biasa karena pemegangnya secara otomatis akan mendapatkan berbagai privilise seperti hak memerintah, membuat kebijakan, keuntungan finansial hingga mengambil keputusan strategis.
Tidak heran jika dalam ajang kontestasi politik, segala daya upaya dilakukan oleh masing-masing kubu untuk memikat masyarakat demi memenangkan ‘kursi’ kekuasaan.
Namun jika kekuasaan disalahgunakan, dampaknya akan sangat berbahaya sehingga kita harus tegas melawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Mengapa penyalahgunaan kekuasaan perlu ditentang sekeras mungkin? Kekuasaan yang tidak terkontrol dan bersifat otoriter akan menimbulkan masalah kronis, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran HAM, dinasti politik, hingga menghambat kemajuan.
Dalam catatan sejarah, Indonesia pernah mengalami dampak dari penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru, mulai dari otoritarianisme, maraknya kasus KKN yang merugikan keuangan negara hingga pelanggaran HAM seperti buruknya kebebasan berpendapat, diskriminasi dan lain sebagainya.
Belajar dari masa lalu, kita tentunya tidak ingin sejarah kelam yang buruk terulang kembali di masa kini. Namun faktanya, sejak reformasi 1998, Indonesia mengalami kemunduran demokrasi yang sangat memprihatinkan.
Menurut catatan Amnesty International Indonesia, kualitas demokrasi di negara ini dinilai mengalami kemerosotan yang luar biasa pascareformasi 1998 dan kondisi ini semakin menguat beberapa tahun belakangan.
Berdasarkan indeks demokrasi, menurut Freedom House dan The Economist Intelligence Unit, terdapat dua catatan penting yang mengindikasikan kemunduran demokrasi di Indonesia.
Pertama: kebebasan sipil yang berkenaan dengan kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi. Kedua: hak politik yang berkenaan dengan bagaimana partisipasi masyarakat dalam kelembagaan elektoral.
Dampak buruk langsung dari regresi demokrasi bisa tercermin dalam beberapa hal seperti pengabaian kasus HAM, kriminalisasi penggiat HAM, dugaan praktik politik dinasti, hingga pelanggaran hukum tertinggi negara demi melancarkan rencana politik kelompok tertentu.
Fakta ini tentunya tidak bisa dibiarkan mengingat berbagai potensi bahaya yang akan ditimbulkan dari kemunduran demokrasi.
Mirisnya lagi, sebagai negara hukum yang berdaulat, Indonesia bisa berpotensi diubah menjadi negara kekuasaan yang dijalankan oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan strategis.
Ketua Centra Initiative, Al-Araf menyatakan, negara hukum memiliki empat pilar utama antara lain, penghormatan terhadap HAM, peradilan independen, pemerintahan berdasarkan pada undang-undang, pembagian kekuasaan (power sharing) (Tempo.co, 29/01/2023).
Namun, menurut dia, keempat pilar tersebut seakan ‘ambruk’ sehingga negara hukum yang menjadi cita konstitusi kehilangan nyawanya dan berubah menjadi negara kekuasaan. Hal ini seperti layaknya sejarah kelam masa lalu yang terulang kembali.
Oleh karena itu, yang harus kita lakukan adalah mengupayakan segala cara untuk mencegah dan melawan kelompok-kelompok elite penguasa yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan jalur melanggar demokrasi dan konstitusi.
Bahayanya lagi, kelompok-kelompok ini memiliki agenda-agenda politik yang dikemas secara rapi dan terencana melalui beragam strategi untuk melancarkan aksi politik mereka.
Oleh karenanya, jika kita tidak segera mengambil tindakan atau menyusun strategi untuk melawannya, hal-hal yang mengerikan akan mengancam NKRI masa depan.
Ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan melawan kelompok elite penguasa yang menggunakan abuse of power.
Pertama, kita perlu memahami cara-cara mereka melancarkan agenda-agenda politiknya dan kedua, memikirkan berbagai strategi untuk melawannya.
Pertama, agenda politik yang disetir oleh kelompok elite penguasa biasanya bersifat rapi, terorganisir, dan memiliki struktur kuat dan jelas sehingga segala bentuk perintah dan propaganda politik akan secara cepat dan efektif diteruskan ke anggota pendukungnya.
Selain itu, mereka juga didukung sumber daya yang besar seperti dukungan finasial, dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan, teknologi canggih untuk menyebarkan wacana mereka untuk meyakinkan publik.
Contohnya dengan memanfaatkan media massa yang memiliki political interest yang sejalan dengan penguasa.
Hal ini pernah dilakukan oleh rezim otoriter Orde Baru untuk menggulirkan propaganda politiknya demi melanggengkan kekuasaannya dan memperkuat politik dinasti.
Tidak hanya itu, kelompok elite penguasa juga memiliki agenda politik serta tujuan jelas, yaitu mengambil kursi kekuasaan untuk keuntungan-keuntungan politik sehingga mereka secara konsisten fokus mengejar tujuan tersebut tanpa terpengaruh oleh gangguan eksternal seperti perbedaan pendapat atau kebingungan.
Melalui cara-cara di atas, kita harus bisa membangun kekuatan yang sama dan mengupayakan beragam strategi untuk mencegah dan melawan segala bentuk abuse of power yang dilakukan oleh kelompok elite penguasa ini, antara lain:
Pertama, membangun dan menggulirkan wacana tandingan (counter discourse) yang berpihak pada demokrasi dan keadilan yang berpihak pada rakyat.
Namun kita juga perlu meniru cara-cara kelompok elite melancarkan agenda-agenda politiknya, yaitu dengan memperkuat koordinasi dan struktur untuk menyebarkan wacana tandingan tersebut supaya kokoh dan tidak bersifat sporadis.
Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama antarelemen masyarakat (akademisi, aktivis, ormas, dan masyarakat lainnya) di level individu maupun kelompok untuk menggaungkan ‘kegelishan’ dan ‘kemarahan’ publik terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Tidak hanya itu, dukungan finansial juga memiliki pengaruh yang penting dalam memperkuat wacana tandingan yang menentang segala bentuk kebatilan teroganisir dan mematahkan ‘mitos-mitos’ politik yang dibangun oleh kelompok elite penguasa.
Selanjutnya, kita juga dapat memanfaatkan internet dan media sosial untuk membangun ruang alternatif dalam menggulirkan wacana tandingan untuk melawan kebatilan ini.
Dalam artikel berjudul The Internet, Social Network, and Reform in Indonesia, Merylna Lim menuliskan peran internet dan ruang-ruang diskusi alternatif dalam melengserkan rezim otoriter Orde Baru.
Kajian-kajian kritis yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat disebarkan melalui surat elektronik dan berhasil membangun gerakan sosial untuk melawan rezim otoriter.
Pendidikan dan literasi informasi juga memiliki peran sentral dalam memerangi kelompok penguasa yang menggunakan abuse of power.
Melalui kerja sama antarsekolah, perguruan tinggi dan media massa alternatif masyarakat harus diedukasi untuk melatih diri berpikir dan bersikap kritis terhadap kebijakan negara yang merugikan, mengenali propaganda politik, dan melawan mitos-mitos politik yang dikemas melalui berita palsu dan manipulatif.
Terakhir kita perlu memperkuat fondasi nilai-nilai kebenaran, integritas, dan keadilan yang berlandaskan hukum untuk membentuk karakter masyarakat yang lebih tahan terhadap manipulasi dan kebatilan.
Kesimpulannya, kita harus membangun kekuatan yang sama untuk melawan segala bentuk penyalagunaan kekuasaan demi NKRI.
Sumber: Kompas