DEMOCRAZY.ID - Terik matahari menyilaukan mata pada Jumat, 26 Januari 2024, pukul 14.51 WIB, ketika TEMPO sampai di depan pagar besi berwarna putih dengan tembok warna senda dengan plang bertuliskan Kampung Susun Bayam berkelir hijau.
TEMPO ingin melihat langsung bagaimana aktivitas dan keadaan para warganya yang baru-baru ini sedang menjadi buah bibir masyarakat.
Sebab kondisi mereka belum mendapat kepastian tempat tinggal dan mirisnya juga tak mendapat fasilitas penunjang kehidupan setelah rumahnya digusur untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
Tepat di samping gerbang Kampung Susun Bayam, berjaga empat hingga lima petugas keamanan. Baju mereka tidak seragam. Ada yang memakai kaus cokelat tua dan ada juga yang mengenakan kemeja hitam.
Perjalanan dari depan gerbang menuju area Kampung Susun Bayam bisa ditempuh sekitar dua menit menit menggunakan motor.
Menelusuri jalan yang belum diaspal, yang lebarnya bisa dilewati lebih dari dua mobil, akhirnya sampai juga ke tempat tujuan.
“Kami mau isi air dulu, kak, nanti kakak bareng aja sama bapak-bapak yang lewat buat langsung naik ke gedung (maksudnya rusun),” ujar salah satu wanita yang menjemut TEMPO.
Selang beberapa detik, ada tiga laki-laki dengan perawakan khas bapak-bapak umur 50-an berjalan depan belakang. Seakan sudah tahu akan kedatangan TEMPO, ia tanpa basa-basi mengatakan.
“Oh ini ya yang dari media tadi? Ayo langsung ikut kita ke atas, biar ngobrolnya enak,” katanya.
Meski dengan penjagaan yang cukup ketat oleh sekelompok petugas keamanan, namun itu tak membuat suasana di Kampung Susun Bayam terasa menegangkan.
Aktivitas sore yang santai, ibu-ibu sibuk mengambil air di sumur, satu dua bapak-bapak berlalu lalang menikmati sore di kampung yang letaknya persis di samping Jakarta International Stadium (JIS) itu.
Untuk ukuran sebuah kampung yang minim segala akses, kebersihannya cukup terjaga. Tidak ada sampah berserakan di kampung itu.
TEMPO diantar menuju lantai dua, tempat seluruh penduduk kelompok tani Kampung Susun Bayam itu tinggal.
Lantai 1 atau yang disebut pelataran, berisikan foto-foto kebersamaan antara warga dan Anies Baswedan yang saat itu masih menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Foto itu dibentangkan di kain hitam dari sisi tembok satu ke tembok yang lain. Kemudian kain hitam itu diikat menggunakan kayu tipis agar tetap kokoh. Serangkaian foto itu diberi judul “Perkembangan Kampung.”
Selain foto, berjejer galon plastik dan beberapa ember berisi air. Setelah TEMPO menanyakan air itu, ternyata untuk keperluan warga mandi dan kebersihan lainnya.
TEMPO sampai di lantai 2 dan ditunjukan oleh salah satu bapak yang mengantar.
“Ini, kak namanya Pak Furqon, beliau ketuanya di sini,” ujarnya.
Aktivitas di lantai dua Kampung Susun Bayam ini juga tak dipenuhi ketegangan. Mereka asyik bercengkrama beralaskan tikar lebar berwarna biru, menikmati sore dan anak kecil yang juga tak kalah sibuk bermain kejar-kejaran sambil berteriak, manambah ramai suasana.
Muhammad Furqon, Ketua Kelompok Petani Kampung Bayam Madani (KPKBM), langsung menceritakan perjuangan mereka berada di rumah susun Kampung Bayam sejak 13 Maret 2023 tanpa akses listrik dan air bersih.
Pekerjaan utama mereka sebagai petani yang lama-lama terpaksa terputus karena segala keterbatasan akses dan ruang bergerak.
Furqon menceritakan pertemuannya dengan beberapa warga Kelompok Tani Susun Bayam yang hadir di acara Desak Anies, acara kampanye pasangan calon nomor urut 1 itu di Jakarta Selatan pada 18 Januari lalu.
Para warga seketika tidak kuat untuk tidak menangis saat bertemu kembali dengan Anies dan menceritakan sedikit tentang keadaan mereka yang hingga saat ini belum menempati Kampung Susun Bayam karena akses kunci yang belum juga diberikan.
“Kami nangis, terus Pak Anies juga ikut nangis,“ ujar Furqon.
“Pak Anies bilang sabar, sabar, Bismillah. Kita belum ada kewenangan, nanti setelah ada kewenangan kita pulangkan bersama-sama,” kata seorang warga lain, Bariya, 48 tahun, yang juga ada di acara tersebut.
Selepas mengenang momen bersama Anies, Furqon menanggapi soal putusan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi yang akan membangun ulang rusun di Tanjung Priok tahun 2025, alih-alih berikan akses kunci untuk setiap bilik ruangan kampung susun bayam.
Ketua kelompok tani KSB ini pun menilai keputusan Heru Budi sangat tidak rasional dan tidak memikirkan kondisi warga KSB yang semakin hari semakin memprihatinkan.
“Ya sekarang dia (Heru) bilang mau bangun kan butuh anggaran APBD harus ada. Kunci sama bangun lagi mahalan mana sih? Ya tinggal kasih kunci doang, gitu,” kata Furqon menjelaskan dengan terengah-engah menahan emosi.
Selain Furqon, TEMPO bercengkrama dengan dua warga lain, yaitu Haeriyah (52 tahun), dan Bariya (48 tahun).
Dua orang ibu rumah tangga bergantian bercerita perjuangan para kelompok tani Kampung Bayam ini mau tidak mau harus putar otak untuk bertahan hidup.
Perjuangan mendapat akses listrik, dan air, misalnya. Haeriyah menuturkan hanya mengandalkan genset sebagai sumber listrik dan menggali sumur manual untuk mendapat air.
“Patungan kita setiap hari minimal 7 ribu buat beli bensin hidupin genset. Tapi kadang ada yang ngasih ada yang enggak, ya mau gimana kondisinya lagi begini,” jelasnya.
Teman Haeriyah, Bariya (48 tahun), tidak terlalu banyak bercerita. Ia berharap segera mendapat akses kunci dan akses tempat tinggal.
Rumah susun Kampung Bayam, menurut Bariya, sudah lebih dari bagus dan layak untuk dihuni, “Semahal itukah kunci sampai triliunan? Dibanding rusun yang baru?” kata Bariya.
Haeriyah ingin menyampaikan pesan khusus untuk Heru Budi agar berkenan menjenguk, melihat secara langsung keadaan warga kelompok tani KSB, serta berdiskusi secara langsung dan terbuka untuk menemukan solusi yang terbaik.
“Pengen duduk bareng, komunikasi. Kami juga warga Indonesia, punya KTP DKI juga, anggap aja kami ini anaknya dia (Heru Budi),” kata Haeriyah yang berbicara khusus untuk Heru Budi.
Sumber: Tempo