DEMOCRAZY.ID - Menurut Presiden Joko Widodo atau Jokowi, presiden dapat memihak dan berkampanye, asalkan tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara.
Menurut Jokowi, presiden merupakan pejabat publik sekaligus pejabat politik yang dapat memihak dan melakukan kampanye.
Namun, tindakan Jokowi ini tidak disetujui oleh berbagai pihak, termasuk Ketua BEM UGM, Gielbran M. Noor.
Gielbran membenarkan bahwa presiden diperbolehkan melakukan kampanye dan berpihak sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Namun, selain tidak boleh menyalahgunakan fasilitas negara, presiden tidak boleh mengkampanyekan keluarga sedarah sampai tingkat tiga derajat. Misalnya, jika memiliki cucu, presiden masih tidak boleh turun gunung melakukan kampanye.
Pernyataan Jokowi tersebut semakin mempertegas bahwa demokrasi Indonesia masih berada dalam level cacat.
Bahkan, Gielbran juga meyakini, pada 2024, demokrasi akan semakin merosot.
Selain itu, pernyataan Jokowi juga membuktikan kebenaran terhadap gelar yang diberikan rekan-rekan BEM UGM sebagai “Alumnus UGM paling Memalukan”.
“Beliau (Jokowi) memang alumnus UGM paling memalukan ditambah dengan statement ini dan sebagai seorang adik sangat menyayangkan,” kata Gielbran kepada Tempo.co, pada Jumat, 26 Januari 2024.
Gielbran pun menyatakan akan ada gerakan lanjutan terkait pernyataan Jokowi dalam Pilpres 2024 ini. Gerakan akan hadir sebagai bentuk tanggapan terkait sikap Jokowi yang menurunkan nilai demokrasi.
Gielbran juga menegaskan, pernyataan Jokowi tersebut tidak mencerminkan etika sama sekali dalam berpolitik.
Ia menilai Jokowi tampak mencla-mencle. Sebab, pada awal 2023, Jokowi menyatakan, ASN tidak boleh memihak dan tidak boleh berkampanye.
Namun, beberapa hari sebelum pencoblosan, Jokowi menegasikan apa yang disampaikan.
Meskipun tindakan Jokowi menurutnya sangat tidak beretika, tetapi masih banyak masyarakat yang menerimanya.
“Saya melihat tindakan Jokowi merupakan etika yang semu. Meskipun melalui ucapan halus dan lembut, tetapi sikap beliau tidak sesuai dengan etika yang baik dan normal,” kata dia.
Tindakan Jokowi yang tidak beretika dalam politik ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap hasil akhir Pilpres 2024. Pengaruh tersebut sudah terwujud mulai dari sekarang.
Jokowi sudah mengerahkan bantuan sosial (bansos) dengan logo salah satu pasangan calon (paslon).
Pemerintah pun sudah menghabiskan ratusan triliun untuk mengadakan bansos yang menguntungkan salah satu paslon.
“Uniknya, anggaran bansos selalu meningkat menjelang masa pemilihan, baik di era SBY maupun Jokowi. Tentunya, tindakan ini memberikan pengaruh besar terhadap hasil akhir pemilihan secara signifikan,” ujar Gielbran.
Terkait sikap Jokowi yang cawe-cawe dalam Pilpres 2024, Gielbran menyatakan, pemimpin negara sekaligus ayah dari calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka ini harus mundur dari jabatannya.
Secara konstitusional, pemakzulan terhadap presiden sudah diatur. Tindakan Jokowi di level ini pun sudah layak untuk dimakzulkan.
“Saya sepakat dengan pernyataan Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti bahwa Jokowi sudah layak dan harus mundur dari jabatan karena terbukti memihak dan berkampanye,” kata Ketum BEM UGM itu menegaskan.
Sumber: Tempo