DEMOCRAZY.ID - TIM Hukum Nasional Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) menanggapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak memahami aturan mengenai presiden boleh kampanye.
Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Dia tidak memahami, kita maklumilah. Jadi juga jangan disalah-salahin harusnya," ujar anggota Tim Hukum Nasional Timnas AMIN, Eggi Sudjana di Markas Pemenangan Timnas AMIN, Jalan Diponegoro X, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 26 Januari 2024.
Eggi menjelaskan Pasal 299 UU Nomor 7 dibuat saat Jokowi hendak maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Sehingga aturan ini diperuntukan bagi capres yang berstatus presiden atau wakil presiden.
"Jadi, dalam dimensi ruang dan waktu dalam penegakan hukum, gabisa digebyah uyah sampai sekarang," tuturnya.
Egi menambahkan kampanye yang dilakukan presiden dilakukan untuk dirinya pribadi. Bukan untuk mendukung salah satu pasangan yang tengah maju.
"Pakai ilmulah yang bener jangan karena kepentingan keluarganya kemudian dia membenarkan dirinya itu yang tidak benar," jelasnya.
Presiden Jokowi membuat video klarifikasi mengenai pernyataannya yang menyebut presiden boleh berkampanye di pemilu.
Jokowi menjelaskan pernyataan itu disampaikan ketika ada wartawan yang bertanya mengenai menteri boleh berkampanye atau tidak.
Dalam videonya, Jokowi menunjukkan dua lembar kertas putih yang menjelaskan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Regulasi itu menjelaskan aturan presiden dan wakil presiden boleh berkampanye.
"Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye, jelas," ujar Presiden dalam keterangan persnya secara virtual.
Jokowi Sulit Netral, Gejolak Publik Bisa Terjadi
DESAKAN untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan cawe-cawe politiknya merupakan keharusan semua pihak untuk tetap menjaga demokrasi tanpa kecacatan.
Jokowi telah mengeksploitasi hukum dan demokrasi hingga ujung konstitusi hingga agenda politik bisa masuk.
Pernyataan ini disampaikan peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal, Jumat (26/1).
"Dalam tradisi yang demokratis dan kuat tidak mungkin seorang presiden aktif anaknya mencalonkan diri sebagai cawapres. Seharusnya itu tidak terjadi dan tidak boleh terjadi. Seharusnya bisa nyalon saat bapaknya turun tidak lagi jadi presiden," ujarnya.
Perilaku Jokowi yang semakin jauh dengan nilai demokrasi memiliki akar masalah yang jelas yakni ketika anak kandungnya muncul dan mencalonkan diri di saat orang tuanya masih berkuasa.
Sehingga mustahil demokrasi dan keadilan bisa ditegakan apalagi menuntut Jokowi untuk tidak berpihak.
"Jadi tidak mungkin presiden netral. Kita tahu eksekutif power seorang presiden menggunakan dua topi. Pertama topi kepala pemerintahan dan kepala negara," jelasnya.
Tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan Jokowi harus menjamin pemerintahan tetap berjalan dan mengendalikan pemerintahan itu.
Sedangkan sebagai kepala negara dia memiliki tanggung jawab sebagai pemersatu dan simbol negara.
"Cuma sekarang seperti ini kelakuannya ya sulit. Sekarang yang bisa dijalankan dan dijaga paling banyak soal keuangan dan ekonomi dan program pembangunan. Apa iya dia bisa running sebagai kepala negara. Dia simbol negara kalau begini dia susah jadi simbol pemersatu," cetusnya.
Kondisi yang meresahkan ini sangat berpotensi menimbulkan gejolak di tengah publik. Maka peran penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi sangat penting dalam mengembalikan aturan pada jalurnya.
"Kita bisa mendesak tapi itu sifatnya imbauan. Maka peran penyelenggara pemilu dan juga MK yang menangani sengketa nantinyalah harus bisa mendinginkan situasi ini dengan meletakan dan menegakan aturan. RUU lembaga kepresidenan juga sebenarnya patut disambut baik karena akan mempositifkan etika kenegaraan. Lalu posisi presiden dalam pemilu harus seperti apa," tukasnya.
Sumber: MediaIndonesia