DEMOCRAZY.ID - Pernyataan terbuka Presiden Joko Widodo yang menyebut seorang presiden boleh berkampanye dan berpihak ibarat pepatah menjilat ludah sendiri.
Sebab itu bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menegaskan ia dan seluruh jajaran akan netral.
"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum," demikian keterangan tertulis Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang beranggotakan pegiat hukum dan tata negara, Kamis (25/1).
Salah satu anggota CALS, Yance Arizona menyebut, tidak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden.
Harus disadari, ini bisa melanggar prinsip keadilan dalam pemilu berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil (Pasal 22E UUD 1945) bila aktif berkampanye.
Sebab pejabat negara, baik presiden, menteri, kepala-kepala daerah akan bisa mempengaruhi keadilan pemilu.
Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat.
Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
"Keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya ini bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu," jelas Yance.
Di sisi lain, yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan antara “berpolitik” dan “berkampanye.”
Presiden, kata dia, berhak berpolitik, tetapi tidak diperbolehkan untuk berkampanye.
"Kita bisa berdebat pada bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu, namun UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas luber jurdil, dengan penekanan pada aspek keadilan. Pasal-pasal itu memang belum mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan anaknya," tandasnya.
Sumber: RMOL