DEMOCRAZY.ID - Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggal dunia 14 tahun lalu, tepatnya pada 30 Desember 2009.
Cucu Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan Pesantren Tebuireng Jombang sebagai presiden yang cerdas dan humoris. Gus Dur meninggal pada usia 69 tahun. Berarti kini Haul ke-14.
Dari guru Bangsa ini, apa yang harus kita teladani? Simak analisisnya di bawah ini:
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dibela mati-matian,” itulah pernyataan legendaris Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid ketika dilengserkan oleh MPR yang diketuai Amien Rais.
Tapi, kata Gus Dur pada kesempatan lain, jika menyangkut penegakan konstitusi, berkorban jiwa atau nyawapun pun akan dipertaruhkan belani.
“Tapi kalau menyangkut konstitusi, nyawapun saya pertaruhkan,” tegas Gus Dur dalam bahasa Jawa saat memberikan pengajian di depan warga NU.
Pernyaataan Gus Dur itu sangat menarik. Pada satu sisi Gus Dur ikhlas dikudeta oleh segerombolan politisi cowboy senayan.
Ia bahkan melarang pendukungnya (warga NU) melakukan perlawanan agar tak terjadi pertumpahan darah.
Tapi pada sisi lain, Gus Dur – yang nota bene korban “kudeta konstitusional” – justru bertekad akan mempetaruhkan nyawa atau jiwa untuk menjaga konstitusi.
Sikap kesatria dan kenegarawan Gus Dur sangat urgen diungkap kembali pada akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Yang secara terang-terangan mengaku akan cawe-cawe sehingga ditengarahi punya hasrat melanggengkan kekuasaan lewat politik dinasti dan oligarki.
Diakui atau tidak, watak politik Jokowi berbeda secara diametral dengan Gus Dur. Jika Gus Dur rela mati demi konstitusi. Jokowi justeru ditengarahi “bermain-main” dengan konstitusi.
Jokowi bahkan dituding “memanfaatkan” konstitusi untuk kepentingan politik. Kasus putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang melenggang jadi calon wakil presiden berkat “siasat” pamannya, Anwar Usman, saat menjabat ketua Mahkamah Konstitusi (MK), adalah contoh nyata yang sulit dibantah. Tak aneh, jika majalah Tempo menjuluki Gibran “anak haram konstitusi”.
Gus Dur sebaliknya. Putra KH A Wahid Hasyim itu tidak menempatkan keluarga dan pribadi sebagai prioritas nomor 1. Apalagi memakai akal bulus untuk memanfaatkan konstitusi.
Seperti dituturkan putri sulungnya, Nyai Hj Alissa Qotrunnada Munawaroh, Gus menempatkan urusan keluarga pada prioritas ke-4.
“Lis, jangan mengharap Bapak iki seperti bapake kanca-kancamu, ya. (bapaknya teman-temanmu, ya). Bapak enggak bakalan punya banyak waktu untuk kalian, karena keluarga itu prioritas Bapak keempat, Nak,” tutur Alissa dalam acara Haul Gus Dur ke-13 di Pesantren Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (17/12/ 2022) malam.
Lalu apa prioritas nomor 1 bagi Gus Dur? Alissa yang juga menjabat Ketua PBNU masa khidmat 2022-2027 itu menjelaskan skala prioritas Gus Dur.
“Nomor 1 Islam, nomor 2 Indonesia, nomor 3 NU, nomor 4 baru keluarga. Kamu harus bisa nerima,” lanjut Alissa menirukan dawuh Gus Dur dikutip NU Online.
Demikianlah renungan untuk mengenang jasa dan keteladanan Gus Dur dalam bernegara. Dalam suasana memperingati Haul ke-14 Gus Dur ini semoga kita bisa meneladani, terutama dalam hidup bernegara dan bermasyarakat.
Sekali lagi, semoga komitmen Gus Dur dalam bernegara bisa kita teladani. Lahul fatihah.
Sumber: HajiNews