DEMOCRAZY.ID - Guru Besar Antropologi Hukum FH Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto melihat ada kekerasan budaya yang terjadi hari ini.
Kekerasan budaya bukan melalui tindakan fisik, namun menyerang kesadaran dengan mengikis nilai dan ide yang baik, kemudian mengatakan bahwa itu yang tepat.
Selain itu, menurut Prof. Sulis ada pula penyebaran kesadaran palsu, yakni tindakan mengaburkan apa yang dinilai netral dan tidak netral bagi publik, sehingga inilah yang kemudian dipakai untuk menjaga kekuasaan.
Sulis menyebut segala bentuk kecurangan yang terjadi hari ini sebagian besar justru dilakukan oleh penyelenggara negara. Hal ini berbeda dengan Pemilu di periode sebelumnya.
Debat ke-4 Pilpres 2024 telah diselenggarakan pada Minggu (21/1/2024). Tiga calon wakil presiden yakni Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD telah menyampaikan gagasan dan visinya terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.
Sulistyowati Irianto menjadi salah satu panelis dalam debat ke-4 lalu. Menurut Sulis, debat itu tidak mencerminkan stature-nya yang tinggi, sebab hanya dilakukan untuk mendapatkan simpati publik dan meraih jabatan teratas.
Sulis mengatakan para panelis berusaha agar menghasilkan pertanyaan yang berkualitas dengan harapan akan direspons para kandidat melalui pernyataan konseptual dan data yang relevan terkait kebijakan isu-isu tersebut.
Namun ternyata ketiga cawapres hanya mengedepankan gimik dan belum merespons harapan publik untuk memaparkan substansi pertanyaan dalam debat sebagai ajang untuk mencari pemimpin bangsa.
Profesor Sulistyowati Irianto menilai menjelang masa Pemilu ini Indonesia yang tadinya dikenal sebagai negara hukum dan negara demokrasi Islam terbesar, justru tiba-tiba berubah menjadi negara kekuasaan.
Prof. Sulis melihat hal ini sebagai politisasi yudisial, bukan hanya terkait putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres, melainkan banyak sekali produk-produk legislasi dan kebijakan yang mengarah kepada tindakan untuk melegalisasi berbagai macam kecurangan. Maka, jalan kebudayaan menjadi ‘jalan terang’ atas situasi ini.
Sebelumnya, Sulis menulis di Harian Kompas 23 Januari 2024 berjudul Pemilu dan Jalan Kebudayaan bagi Indonesia. Berikut kutipannya:
“Indonesia selama ini dipuji dunia sebagai negara hukum dan negara demokrasi Islam terbesar yang mampu merawat keragaman. Namun, dalam waktu singkat menjelang Pemilihan Umum 2024, negara ini berubah menjadi negara kekuasaan.”
[Selengkapnya] VIDEO:
Sumber: Kompas