DEMOCRAZY.ID - Food Estate Singkong menjadi salah satu topik yang dibicarakan dalam debat calon presiden (Capres) ketiga pada Minggu, 7 Januari 2024 lalu.
Proyek food estate dikelola Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam diskusi tersebut oleh mendapat sorotan dari calon presiden nomor 1 Anies Baswedan.
Polemik inilah yang disinggung Anies saat memaparkan visi-misinya. “Food estate singkong menguntungkan kroni, merusak lingkungan, dan tidak menghasilkan. Ini harus diubah,” ujar Anies.
Bahkan, usai debat, mantan Gubernur DKI Jakarta itu kembali mempersoalkannya saat berkampanye di Gorontalo, Senin, 8 Januari 2024.
Menurut Anies, anggaran food estate yang dibiayai negara lebih baik diberikan kepada petani kecil. Pasalnya, dia menilai proyek tersebut hanya memberikan keuntungan kepada korporasi atau perusahaan swasta.
“Alokasi anggaran melalui subsidi pupuk dan solar lebih penting untuk petani sehingga bisa bermanfaat langsung oleh mereka dalam mengelola lahan pertanian,” kata Anies.
Food estate adalah satu proyek pangan yang dikerjakan Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Penunjukan Prabowo dalam memimpin urusan pangan sempat menjadi tanda tanya bagi publik. Kala itu Presiden Jokowi mengatakan pemerintah perlu menyiapkan lumbung pangan untuk menghadapi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Proyek food estate dikerjakan lintas sektor dan kementerian, termasuk Kementerian Pertahanan dilibatkan. Jokowi berdalih bahwa ketahanan pangan juga bagian dari pertahanan nasional.
Prabowo lantas mencetuskan gagasan membuat sentra singkong di sejumlah daerah. Salah satu yang dipilih adalah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Prabowo menjanjikan pusat produksi sekaligus industri singkong terpadu di sana. Singkong menjadi pilihan karena dianggap merupakan tanaman yang mudah ditanam sekaligus sumber pangan pokok alternatif beras.
Pemerintah lantas mengerahkan peralatan berat, ratusan pekerja serta tentara untuk menumbangkan pohon-pohon hutan di Gunung Mas dan menyulapnya menjadi perkebunan singkong. Pada tahap pertama, sekitar 700 hektare hutan digunduli dan dijadikan perkebunan singkong.
Bahkan proyek sudah berjalan sebelum analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal selesai dibuat. Rencananya, proyek tersebut akan mencakup puluhan ribu hektare hutan di Gunung Mas.
Dampaknya bisa diduga, penggundulan hutan yang berada di atas pemukiman menyebabkan musibah. Saat hujan tiba, banjir menerjang pemukiman di sejumlah desa.
Tidak cukup di situ. Belakangan diketahui bahwa proyek tersebut gagal total. Singkong yang ditanam di sana tidak berhasil tumbuh. Impian mengenai sentra produksi dan industri singkong tidak pernah terwujud hingga sekarang.
Beda Sikap Prabowo, Anies, dan Ganjar di Food Estate
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Erwin Aksa, mengatakan food estate merupakan salah satu bagian untuk membangun food security.
“Kita harus tahu dalam hal pertahanan, kita perlu food security, energy security, dan pertahanan atau keamanan,” kata Erwin ketika dihubungi Tempo, Rabu, 10 Januari 2024.
Menurut Erwin, masyarakat harus memahami bahwa Indonesia baru saja bangkit dari pandemi, di mana selama dua tahun kebelakang pemikiran semua orang, termasuk pemerintah, adalah soal kesehatan.
Oleh karenanya, Erwin menuturkan bahwa Prabowo-Gibran akan melanjutkan program food estate tersebut karena banyak rencana besar yang terpengaruh dan tertunda imbas dari adanya Covid-19.
“Yang menolak kan NGO-NGO (Non Governmental Organization), jadi jangan sampai ada pasangan calon yang dipengaruhi asing,” ujar wakil TKN itu. Dia pun menekankan bahwa food estate merupakan program untuk membangun ketahanan pangan, mengingat singkong saat ini sebagai salah satu komoditas diversifikasi pangan.
Jika mengacu pada pernyataan Prabowo pada September 2020, dia mengatakan bahwa tanaman singkong berpotensi besar untuk dikembangkan dalam bentuk produk turunan lain, seperti tepung sebagai bahan dasar pembuatan kue, roti, mie instan, dan biskuit.
Dengan adanya diversifikasi pangan tersebut, masyarakat tidak akan terpaku pada satu jenis makanan pokok saja, tetapi dapat mengkonsumsi bahan pangan lain sebagai pengganti makanan pokok yang selama ini dikonsumsi.
Di sisi lain, Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Wijayanto Samirin, mengklaim bahwa problem utama dari proyek food estate adalah perencanaan yang kurang baik.
Perencanaan itu, kata dia, meliputi aspek model bisnis, kecocokan lahan, pelibatan petani lokal, hingga dampak kepada lingkungan sekitar.
“AMIN pasti akan me-review ulang program-program tersebut secara objektif dengan melibatkan para ahli untuk mendapatkan solusi terbaik,” kata dia. “Hasilnya, bisa saja dilanjutkan dengan perbaikan, atau dihutankan kembali.”
Ketika ditanya soal solusi baru yang akan ditawarkan pihak Anies-Cak Imin, Wijayanto hanya memberi keterangan untuk menunggu hasil evaluasi program bersangkutan.
Pandangan berbeda datang dari Direktur Juru Kampanye Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Choirul Anam. Menurutnya, isu ketahanan pangan berkaitan erat dengan reforma agraria, sehingga proyek food estate harus dilihat jauh lebih kompleks.
“Lebih jauh lagi, tidak hanya soal industri, ketahanan pangan itu adalah soal ekosistem pangan. Nah, ekosistem pangan itu bagaimana tata kelolanya, benihnya, siapa yang terlibat di sana, termasuk juga penyimpanan dan distribusi,” tutur Choirul.
Dalam konteks food estate singkong, perwakilan Ganjar-Mahfud itu menekankan soal partisipasi masyarakat lokal dan tata kelola masyarakat adat setempat. Pasangan calon nomor urut tiga itu disebut akan mengevaluasi program-program pemerintah sebelumnya.
“Soal food estate kita akan evaluasi karena kritikannya banyak ya. Anggarannya sangat besar, hasilnya belum kelihatan. Yang pasti adalah tidak boleh atas nama ketahanan pangan merusak lingkungan,” kata dia.
Ketahanan pangan, menurutnya, harus diekspresikan dengan menjawab kebutuhan pangan, menghormati nilai-nilai lokal, dan menghormati varietas pangan.
Terkait hal ini, Choirul mengatakan bahwa pihaknya juga akan memberikan insentif bagi siapapun yang bisa mengembangkan varietas baru yang unggul dan sehat. “Semangat kami adalah menjadi lumbung dunia.”
Kritik Pengamat soal Food Estate
Sejumlah pengamat lingkungan ikut buka suara soal proyek food estate singkong Prabowo Subianto. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Iqbal Damanik, misalnya.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Greenpeace, Iqbal mengatakan bahwa proyek food estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah oleh Kementerian Pertahanan telah menyebabkan deforestasi dan bencana.
“Ratusan hektare hutan yang terdeforestasi di Gunung Mas itu sudah sangat berdampak pada masyarakat sekitar hutan di Gunung Mas,” ujar Iqbal.
Iqbal juga menyoroti soal pengelolaan proyek food estate singkong yang digarap oleh PT Agro Industri Nasional (Agrinas).
Agrinas ini, disebut terafiliasi dengan yayasan dan perusahaan yang diisi oleh banyak politisi Gerindra, yakni partai yang didirikan oleh Prabowo.
Dalam catatan Tempo, Agrinas merupakan perusahaan di bawah naungan Yayasan pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YPPSDP), yang juga membawahi PT Teknologi Militer Indonesia (TMI). Baik Agrinas, PT TMI, dan YPPSDP diklaim banyak berisi kader Partai Gerindra.
Belum lagi, ujar Iqbal, singkong yang ditanam di sana tidak tumbuh dengan baik bahkan banyak yang mati. Perkebunan singkong yang mengorbankan hutan itu tidak berproduksi.
Sehingga proyek tersebut hanya menyisakan kerugian keuangan negara, kerusakan hutan, dan penderitaan masyarakat saja tanpa menghasilkan apa-apa.
Ke depan, Iqbal menekankan bahwa proyek food estate bukan langkah yang tepat untuk dilanjutkan, mengingat belum ada satu pun proyek food estate yang benar-benar berhasil di Indonesia.
“Karena selama ini pangan dan pertanian kita ditopang oleh modal sosial petani untuk lebih berhasil,” kata dia.
“Jadi kami tidak menyebut bahwa food estate adalah solusi untuk mengatasi krisis pangan, tapi malah menjadi persoalan atau kontribusi baru untuk terhadap krisis iklim.”
Senada, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Uli Arta Siagian, juga mengatakan bahwa belum ada proyek food estate yang terbukti berhasil.
“Saya mau bilang bahwa program food estate ini tidak punya plus-nya tapi banyak minus-nya, artinya semua hal itu minus. Ini bukan penilaian subjektif kami, tetapi ini berangkat dari sisi historical,” ujarnya.
Mulai dari era Soeharto dengan Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah, program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFFE) di Papua pada era Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sejumlah proyek food estate di era Jokowi, yang semuanya terbukti gagal.
“Dari semua itu, kami tidak pernah menemukan cerita keberhasilan di food estate,” ujarnya. Yang terjadi justru pemborosan duit negara dan kerusakan lingkungan.
Sumber: Tempo