DEMOCRAZY.ID - Para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang bergabung dalam CALS (Constitutional and Administrative Law Society) ikut buka suara soal pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut tak ada larangan bagi presiden berkampanye. Pernyataan Jokowi itu dilontarkan saat ia menjawab pertanyaan soal menteri yang ikut berkampanye.
"Pernyataan [Jokowi] ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya yang menyatakan akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral. Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum," tulis CALS dalam keterangannya, Kamis (25/1).
Menurut mereka, memang tak mudah bagi Jokowi untuk bersikap netral saat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.
Padahal, jika berpihak, pejabat negara seperti presiden, menteri, hingga kepala daerah bisa melanggar prinsip keadilan pemilu seperti yang tertuang dalam Pasal 22E UUD 1945.
"Pertama, fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat. Kedua, pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih," lanjut mereka.
Mereka lalu menekankan agar kata "berpolitik" dan "berkampanye" dibedakan. Sebagai warga negara, presiden memang punya hak berpolitik, namun secara norma ia tak diizinkan untuk ikut berkampanye.
"Tentu saja, UU Pemilu mengandung banyak kelemahan. Karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empiris. Nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta “'awe-cawe' politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi," tutur CALS.
CALS menilai, sebenarnya belum ada pasal yang benar-benar bisa mengantisipasi situasi presiden yang ingin berkampanye untuk kepentingan keluarganya.
Namun pernyataan Jokowi itu, mereka anggap seolah memberikan landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etis dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu.
"Mestinya, sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum. Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang," ungkap CALS.
Karena itu, CALS mendesak agar:
1. Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden.
2. Presiden Jokowi untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
3. Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum.
4. Mahkamah Konstitusi mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
5. DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
6. Seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini.
Sumber: Kumparan