DEMOCRAZY.ID - Pengamat sosial, ekonomi, dan agama Buya Anwar Abbas menjelaskan, banyak tokoh di lingkungan Muhammadiyah yang mempunyai kepiawaian tinggi dalam ilmu agama, namun tidak ada satupun yang disebut kiai oleh warganya, apalagi orang lain.
Misalnya, lanjut Buya Anwar Abbas, orang sekaliber Adi Hidayat, hafal Al-Qur’an dan hadis serta mempunyai pisau analisis yang tajam, hanya disebut ustadz oleh warga Muhammadiyah.
“Sementara di kalangan masyarakat kita karena budaya yang sangat dominan di negeri ini adalah budaya Jawa, tokoh-tokoh yang alim yang punya ilmu keagamaan yang tinggi itu biasanya dipanggil dengan kiai,” jelas ketua PP Muhammadiyah dan wakil ketua umum MUI ini dalam pesannya, Selasa (30/1/2024).
Oleh karena itu, lanjut Buya Anwar Abbas, karena di Muhammadiyah nyaris tidak ada tokoh yang dipanggil kiai, maka terkesan Muhammadiyah tidak punya orang alim, ulama, dan ahli agama.
Padahal, orang yang pantas mendapat predikat kiai itu di Muhammadiyah sangat-sangat banyak.
“Saya tidak tahu mengapa hal ini bisa terjadi, padahal bila kita lihat sejarah banyak dari para pimpinan Muhammadiyah masa awal dipanggil dengan kiai seperti KH Ahmad Dahlan, KH Ibrahim, KH Hisyam, KH Mas Mansur, dan lain-lain,” bebernya.
Dia mengimbuhkan, tetapi kemudian istilah kiai itu makin hilang dan hilang, sehingga orang sekaliber AR Fachruddin yang sangat terkenal dengan kealiman dan kewara’annya hanya dipanggil Pak AR.
Begitu juga dengan Azhar Basyir yang aktif di berbagai pertemuan ulama dunia juga dipanggil hanya dengan Pak Azhar Basyir. Juga Pak Amin Rais, Pak Syafii Maarif, Pak Din Syamsuddin, dan Pak Haedar Nashir.
Tokoh-tokoh tersebut lebih dikenal dengan panggilan profesornya, kecuali Pak Syafii Maarif dan Pak Yunahar Ilyas, karena beliau berasal dari Minangkabau maka dipanggil dengan buya.
Oleh karena itu, imbaunya, ke depan agar umat tahu bahwa di Muhammadiyah itu banyak orang yang alim, ulama, dan ahli tentang masalah agama; maka sebaiknya oleh warga Muhammadiyah, mereka-mereka yang alim atau ulama yang berasal dari Jawa tersebut dipanggil dengan kiai.
“Jika mereka dari Jawa Barat dipanggil dengan ajengan, dari NTB dengan tuan guru, dari Sumatera Tengah (Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu) dengan Buya, dari Aceh dengan teungku, dan lain-lain,” kata Buya Anwar Abbas.
Ia menyatakan hal ini penting agar umat dari mana pun berada kalau ingin bertanya tentang masalah keagamaan kepada Muhammadiyah misalnya maka sudah tahu akan bertanya kepada siapa.
Jadi tujuan dari pemberian panggilan khusus tersebut bukanlah untuk berbangga-bangga dengan panggilan-panggilan itu, tapi untuk membantu umat agar kalau akan bertanya masalah agama, keumatan, dan kebangsaan bisa dengan cepat tahu akan bertanya kepada siapa.
“Apalagi Tuhan juga sudah mengingatkan kita untuk bertanya kepada ahlinya. Adanya panggilan-panggilan tersebut tentu akan sangat membantu umat bagi mengimplementasikan apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhan tersebut,” pungkasnya.
Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber: HajiNews