DEMOCRAZY.ID - Akhirnya Bawaslu menurunkan baliho Prabowo – Gibran yang dipasang di landmark Batam.
Tetapi, penurunan baliho dilakukan setelah tahun baru sehingga fotografer keliling di area WTB sudah telanjur seret rezekinya karena ketika pada tahun baru banyak turis yang tidak mau difoto di tempat tersebut akibat di belakang mereka ada baliho Prabowo dan Gibran.
Mungkin kalau cuma foto Prabowo masih banyak yang memaklumi, tetapi begitu berdampingan dengan Gibran, orang langsung berubah psikologinya karena the chemistry doesn't mix.
Tetapi, tim Prabowo mungkin menganggap ya dipaksa saja terus-menerus, nanti lama-lama juga suka.
Apa pun keadaannya, sudah menjadi semacam diktum bahwa yang menginginkan perubahan adalah mereka yang memungkinkan politik itu dihela lebih cepat ke depan.
Sedangkan yang tidak menginginkan perubahan tentu menganggap ya sudah di sini saja.
Fotografer selalu menunggu momentum dan kali ini ada momentum akhir tahun sehingga mereka berharap mendapat pelanggan lebih banyak.
Tetapi, momen akhir tahun kali ini, rezeki para fotografer di area sekita WTB seret gara-gara ada foto Gibran.
Ironis memang, orang malas berfoto di WTB karena ada fotonya Gibran.
Padahal, selama ini Gibran diharapkan bisa menggaet pemilih muda yang jumlahnya sangat besar, di atas 50 persen.
Jumlah ini menjadi pasar perebutan yang besar. Jadi, pada pemilu kali bukan lagi pemilih warga di pedesaan yang diperebutkan, tapi justru pemilih muda. Tetapi, sepertinya Gibran tidak bisa masuk lagi di situ.
“Kelihatannya sudah final, pemilih muda yang terdidik pasti lebih mendengar ketua BEM UI, ketua BEM UGM, atau ketua BEM UNS daripada mendengar kampanye yang ada kehadiran Gibran. Karena, akhirnya anak-anak muda ini tahu bahwa Gibran itu hanya ditempelkan. Bukan karena idenya ada, tapi karena keinginan Jokowi untuk menjamin kelangsungan rezimnya,” ujar Rocky Gerung dalam diskusi di kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Senin (1/1).
Sebaliknya, lanjut Rocky, diskusi-diskusi yang dilakukan oleh Anies jauh lebih menarik, seperti yang dikemas dalam Desak Anies.
Dari acara tersebut otomatis orang ingin menguji Anies teguh atau tidak, konsisten atau tidak pada ide-idenya, yang itu tidak mungkin didapatkan dari Gibran.
“Jadi, bagi anak-anak muda ini, kecenderungan untuk kembali pada politik yang basisnya adalah akal sehat, basisnya adalah perdebatan intelektual, basisnya adalah pemeriksaan metodologi, itu tidak pada Gibran karena Gibran tidak terlatih untuk berpikir secara metodologis. Dia bisa ucapin sesuatu dalam 10 - 20 menit karena dia hafal. Jadi, lama-lama anak-anak muda ini tahu cara Gibran menerangkan idenya,” ujar Rocky.
Sumber: FNN