SIAPA PENYULUT FOBIA ROHINGYA?
Seorang sumber Tempo di Jakarta mengamini dugaan adanya mobilisasi dalam gelombang penolakan yang semakin masif terhadap pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Dia, yang namanya cukup dikenal dalam jaringan masyarakat Aceh, mengaku sempat dihubungi oleh koleganya yang seorang aparatur keamanan negara di Aceh pada dua pekan lalu. Kenalannya itu mengabarkan ingin menggalang massa untuk meramaikan isu Rohingya. "Namun saat itu tidak jelas detailnya," kata dia.
Upaya menggalang massa itu mulai terang sepekan lalu ketika sumber Tempo bertemu dengan sejumlah mahasiswa asal Aceh yang kuliah di Jakarta. Kelompok mahasiswa itu, kata dia, menyatakan sempat juga dihubungi oleh aparatur keamanan di Aceh. Mereka diminta menggelar aksi mahasiswa menolak pengungsi Rohingya pada pekan ini. "Orderan angkanya (untuk menggelar demonstrasi) Rp 100-200 juta," kata sumber Tempo.
Dia hakulyakin pengusiran paksa pada Rabu lalu itu berhubungan dengan penggalangan massa ini. Pasalnya, dalam pertemuan itu, mahasiswa asal Aceh di Jakarta sudah menyebutkan bahwa komunikasi mereka berlanjut ke seorang mahasiswa di Aceh bernama Warija Arismunandar (Teuku Wariza), koordinator massa dalam aksi pengusiran paksa di gedung BMA.
SELENGKAPNYA.....
KEDATANGAN rombongan Emily Bojovic disambut isak tangis para perempuan pengungsi Rohingya di gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) di Banda Aceh, Aceh. Kamis siang itu, 28 Desember lalu. Emily yang juga Senior Protection Officer Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) berkunjung setelah pada malam sebelumnya sejumlah orang yang mengatasnamakan mahasiswa menggeruduk dan mengangkut paksa para imigran.
Azharul Husna, Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, yang turut dalam pertemuan itu mengatakan fisik para pengungsi tampak baik-baik saja. "Tapi kasatmata mereka ketakutan akibat pengusiran paksa. Mereka memohon pertolongan," kata Azharul kepada Tempo, Jumat, 29 Desember 2023.
Ratusan orang yang tergabung dalam kelompok BEM Nusantara mendatangi gedung BMA, Banda Aceh, pada Rabu lalu. Ruang bagian bawah gedung di seberang kantor Gubernur Aceh tersebut sudah dua pekan lebih menjadi tempat penampungan sementara bagi 137 pengungsi Rohingya. Massa datang dengan satu tujuan: memindahkan para pengungsi ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Aceh. Mereka menuntut kantor Imigrasi, di bawah naungan Kemenkumham, segera mengusir pengungsi Rohingya dari Aceh.
Dalam pemindahan itu, yang rekaman gambarnya tersebar luas, kelompok massa melakukan pemaksaan. Sebagian di antara mereka menarik para pengungsi yang menolak dipindahkan. Sebagian lainnya melemparkan botol air ke arah para imigran. Para pengungsi akhirnya diangkut paksa menggunakan truk ke kantor Kemenkumham Aceh yang berjarak sekitar 500 meter dari gedung BMA. Namun pada Kamis dinihari, sekitar 03.00 WIB, kelompok massa mengembalikan para pengungsi ke gedung BMA.
Azharul mengecam pengusiran paksa itu. Di antara para pengungsi itu terdapat 68 anak-anak. "Tidak ada luka fisik, tapi mereka trauma," ujarnya.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah pusat yang tak kunjung turun tangan. Padahal, kata dia, pemerintah sempat berjanji segera memindahkan para pengungsi ke lokasi aman, seperti gedung PMI Aceh dan gedung Yayasan Aceh. Lokasi penampungan sementara di Gedung BMA selama ini bukan saja tidak aman, tapi juga tak layak. “Tempat ini di basement, sempit, dan tidak ada alas untuk tidur,” kata Azharul.
Menurut dia, kondisi memprihatinkan juga dialami sekitar 1.600 pengungsi Rohingya lainnya yang kini tersebar di enam lokasi.
Kondisi ini bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Desember 2016, peraturan tersebut menyatakan tempat penampungan pengungsi harus didukung kondisi keamanan yang memadai, dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan ibadah, serta tersedia kebutuhan dasar lainnya.
Kecaman juga dilontarkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan serangan pada Rabu lalu itu membuat pengungsi yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak semakin menderita. Dia mengingatkan bahwa kelompok etnis Rohingya selama ini telah mengalami diskriminasi berlapis karena tak memiliki kewarganegaraan, terus mengalami persekusi di Myanmar, serta menghadapi kekerasan dan bencana kemiskinan di Bangladesh—tempat pengungsian sebelumnya. "Penolakan dan serangan semacam ini bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan," katanya.
Menurut Andy, persoalan pengungsi Rohingya memang membutuhkan penanganan di tingkat hulu melalui kerja sama lintas negara. Namun, sementara menunggu proses dan waktu penanganan yang tak mudah itu, sikap mengusir pengungsi bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. "Mengembalikan pengungsi berarti membiarkan mereka kembali menghadapi ancaman persekusi dan terkatung-katung di laut dengan risiko kematian," ujarnya.
Dugaan Narasi Kebencian dan Massa Bayaran
Tak seperti tahun-tahun sebelumnya, warga di sebagian wilayah pesisir Aceh menolak pengungsi Rohingya yang datang bergelombang dalam beberapa bulan terakhir. Namun aksi pengusiran paksa oleh kelompok massa pada Rabu lalu, yang dikecam oleh banyak kalangan, terjadi di tengah meningkatnya narasi yang seakan-akan hendak membenarkan resistansi terhadap para imigran. Media sosial beberapa waktu terakhir diramaikan dengan narasi kebencian terhadap kelompok etnis Rohingya. Sebagian di antaranya mengamplifikasi pernyataan sejumlah pejabat publik bahwa para imigran yang datang tak sepenuhnya adalah pengungsi, melainkan bagian dari praktik sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Azharul mencermati eratnya hubungan antara penyebaran informasi menyesatkan di media sosial dan tindakan anarkistis menolak pengungsi Rohingya. Kontras, kata dia, sempat mewawancarai sejumlah orang yang turut dalam demonstrasi menuntut pengusiran pengungsi Rohingya pada Rabu lalu. Sebagian peserta aksi menyatakan bahwa para pengungsi ingin meminta tanah di Indonesia dan bersikap arogan lantaran tak puas dengan bantuan yang telah diberikan selama ini. Sebagian massa lainnya bahkan menyamakan pengungsi Rohingya dengan zionis Israel, yang semula disambut baik oleh warga Palestina kemudian menjajah.
"Mereka menelan mentah-mentah informasi menyesatkan di media sosial," kata Azharul.
Dia menduga penyebaran narasi kebencian ini dilakukan sengaja, terorganisasi, dan sistematis. Narasi itu juga semakin banyak bermunculan di media massa dalam memberitakan pengungsi Rohingya. Kabar bohong, kata dia, kemudian disebarkan secara masif oleh akun-akun anonimus di media sosial. “Mustahil ini dilakukan satu-dua orang. Ada yang sengaja menciptakan situasi ini,” kata Azharul.
Komnas Perempuan juga menyoroti indikasi serupa. Andy Yentriyani menilai peristiwa serangan dan pemindahan paksa terhadap pengungsi Rohingya patut diduga berkaitan dengan politisasi isu, provokasi melalui media sosial, perilaku massa terhadap disinformasi, dan daya aparat keamanan dalam menangani kekerasan. "Aspek-aspek ini perlu diurai untuk mencegah peristiwa serupa berulang," katanya.
Seorang sumber Tempo di Jakarta mengamini dugaan adanya mobilisasi dalam gelombang penolakan yang semakin masif terhadap pengungsi Rohingya akhir-akhir ini. Dia, yang namanya cukup dikenal dalam jaringan masyarakat Aceh, mengaku sempat dihubungi oleh koleganya yang seorang aparatur keamanan negara di Aceh pada dua pekan lalu. Kenalannya itu mengabarkan ingin menggalang massa untuk meramaikan isu Rohingya. "Namun saat itu tidak jelas detailnya," kata dia.
Upaya menggalang massa itu mulai terang sepekan lalu ketika sumber Tempo bertemu dengan sejumlah mahasiswa asal Aceh yang kuliah di Jakarta. Kelompok mahasiswa itu, kata dia, menyatakan sempat juga dihubungi oleh aparatur keamanan di Aceh. Mereka diminta menggelar aksi mahasiswa menolak pengungsi Rohingya pada pekan ini. "Orderan angkanya (untuk menggelar demonstrasi) Rp 100-200 juta," kata sumber Tempo.
Dia hakulyakin pengusiran paksa pada Rabu lalu itu berhubungan dengan penggalangan massa ini. Pasalnya, dalam pertemuan itu, mahasiswa asal Aceh di Jakarta sudah menyebutkan bahwa komunikasi mereka berlanjut ke seorang mahasiswa di Aceh bernama Warija Arismunandar, koordinator massa dalam aksi pengusiran paksa di gedung BMA.
Beberapa tahun terakhir, nama Warija Arismunandar bermunculan di pemberitaan media sebagai koordinator sejumlah unjuk rasa dengan jubah organisasi berbeda-beda, seperti Aliansi Pemuda Peduli Aceh (APPA) serta Koalisi Pemuda dan Mahasiswa Aceh (KPMA). Terakhir kali, pada 6 September 2022, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Warija dengan hukuman 2 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotik. Sebelumnya, pada akhir Maret tahun lalu, polisi menangkap pria kelahiran 1998 ini di Desa Jeunglingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, dengan barang bukti sabu seberat 0,31 gram.
Dalam pengusiran paksa pengungsi pada Rabu lalu, Warija dan sebagian massa aksi mengenakan jas hijau almamater Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh. Sebagian massa aksi juga membawa bendera Pemerintah Mahasiswa (Pema) Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh.
Namun Presiden Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh Mohd. Azis membantah lembaganya terlibat dalam aksi memboyong paksa pengungsi Rohingya. "Kami atas nama mahasiswa Al Washliyah Banda Aceh mengutuk keras tindakan individu mahasiswa yang ikut aksi mengatasnamakan Pema Perguruan Tinggi Al Washliyah Banda Aceh," kata Azis, Kamis lalu.
Kepada Tempo, kemarin, Warija membantah aksinya pada Rabu lalu sebagai pesanan aparatur keamanan dengan balasan uang. “Itu fitnah,” ujarnya. Dia mengklaim unjuk rasa itu murni didasari keresahan masyarakat yang menolak pengungsi Rohingya. Baginya, pengungsi Rohingya sudah bertindak kurang ajar karena pernah membuang air besar di tambang udang masyarakat, meminta tempat tinggal yang layak, dan melakukan mogok makan.
Warija khawatir pengungsi Rohingya akan melakukan perlawanan sehingga menjadi seperti Israel. “Apalagi pemerintah bilang di balik pengungsi ini ada oknum yang melakukan TPPO,” ujarnya. Kendati demikian, Warija membantah aksi pada Rabu lalu berlangsung anarkis. Menurut dia, tindakan kekerasan yang tersebar luas di media merupakan ulah provokator. "Kami tidak anarkistis. Namun ada indikasi di luar kendali kami."
Dia membenarkan saat ini juga menjadi Koordinator Barisan Muda Hadi Surya (BMHS). Hadi Surya adalah Ketua Gerindra Aceh Selatan yang kembali menjadi calon Dewan Perwakilan Rakyat Aceh periode 2024-2029 dari daerah pemilihan Aceh 9.
Namun Warija menyatakan aksinya menolak pengungsi Rohingya tak berhubungan dengan kepentingan politik kelompok tertentu.
Soal kasus hukumnya, Warija menyatakan pengalaman masa lalu itu telah ia sesali. "Saya sudah bebas," kata dia.
(Sumber: Koran Tempo, Sabtu, 30 Desember 2023)
Sudah mendunia, Selamat atas rasisme yg dipertontonkan! pic.twitter.com/PIcapIG2G3
— 🏴☠️ 🔻 (@rahung) December 28, 2023
Yang barbar segelintir mahasiswa, yang malu satu negara 🤦🏻♂️ https://t.co/Jlqc6xB5lN
— Herriy Cahyadi (@herricahyadi) December 29, 2023
Mahasiswa di Banda Aceh memaksa membubarkan pengungsi Rohingya yg kebanyakan perempuan & anak-anak. Sampai ketakutan. Barbar!
— Herriy Cahyadi (@herricahyadi) December 27, 2023
Apa bedanya kalian dg kelompok beringas tak berpendidikan? Almamater kalian itu simbol pendidikan tinggi. Tapi mental kalian biadab. pic.twitter.com/1cY4Yof3ac
Setelah menganiya pengungsi Rohingya dan mengusir paksa, mahasiswa ini menari-nari. Otak kalau isinya nanah dan dengki, beginilah jadinya. pic.twitter.com/SsvQng5Ku9
— 🏴☠️ 🔻 (@rahung) December 28, 2023