Refleksi Akhir Tahun, Jokowi Dianggap Telah Ubah Indonesia Dari Negara Hukum Jadi Negara Kekuasaan - DEMOCRAZY News
HUKUM POLITIK

Refleksi Akhir Tahun, Jokowi Dianggap Telah Ubah Indonesia Dari Negara Hukum Jadi Negara Kekuasaan

DEMOCRAZY.ID
Desember 29, 2023
0 Komentar
Beranda
HUKUM
POLITIK
Refleksi Akhir Tahun, Jokowi Dianggap Telah Ubah Indonesia Dari Negara Hukum Jadi Negara Kekuasaan

Refleksi Akhir Tahun, Jokowi Dianggap Telah Ubah Indonesia Dari Negara Hukum Jadi Negara Kekuasaan

 

DEMOCRAZY.ID - Sejumlah elemen aktivis HAM dan demokrasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan refleksi akhir tahun 2023 mengenai kondisi demokrasi Indonesia. 


Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai telah mengubah negara hukum jadi kekuasaan.


Hal ini disampaikan oleh Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil sekaligus Ketua Centra Initiative, Al Araf. 


Kata dia, di bawah kepemimpinan Jokowi, tahun ini Indonesia tak lagi memenuhi empat pilar ciri negara hukum.


"Presiden Jokowi telah meruntuhkan pilar-pilar negara hukum demi kekuasaaan. Negara hukum telah diubah menjadi negara kekuasaan," ujar Araf kepada wartawan, Jumat (29/12/2023).


Jokowi dianggap tak melakukan penghormatan terhadap HAM. Salah satu indikator terbesarnya adalah diabaikannya pelanggaran HAM Berat masa lalu.


"Bahkan, yang lebih menyakitkan Jokowi berkoalisi dengan pelanggar HAM dan menjadikan anaknya sebagai pendamping pelanggar HAM tersebut sebagai Cawapres pada Pilpres 2024," kata Araf.


Selain itu, kebebasan sipil secara faktual juga disebutnya terancam. Kriminalisasi atas pegiat HAM terjadi, seperti dalam kasus Haris dan Fatia. 


Pemerintahan juga tidak tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan.


"Yang terjadi, justru jalannya pemerintahan dilakukan dengan mengakali peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi demikian, power sharing tidak terjadi," ujarnya lagi.


"Yang ada adalah kooptasi atas cabang-cabang kekuasaan, bahkan terjadi intimidasi terhadap kekuasaan yang berbeda dengan kekuasaan politik Jokowi," imbuh dia.


Sementara, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menyebut telah terjadi tiga dosa Pemilu yang tidak bisa dimaafkan di dalam demokrasi, yaitu intimidasi dan kekerasan, mobilisasi politik uang, dan manipulasi suara.


"Dua dari tiga dosa tersebut sudah terjadi saat ini, dari masuknya dana illegal untuk kepentingan pemilu hingga intimidasi dan kekerasan," kata Ray. 


Kontras: Peradilan Kasus HAM oleh Jokowi Jauh dari Harapan



KOMISI Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat penanganan kasus hak asasi manusia (HAM) di masa Presiden Joko Widodo buruk dan jauh dari harapan.


Bahkan setidaknya pada tahun ini kondisi ini menyebabkan lemahnya atau turunnya indeks demokrasi kita yang berpotensi mengarahkan kembali ke zaman otoritarianisme bahkan totaliarisme.


Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra mengatakan prilaku laten mengangkat isu HAM menjadi isu lima tahunan merupakan pembodohan. 


Sebab, sejatinya kasus pelanggaran HAM adalah isu yang selalu dibunyikan oleh orang-orang atau komunitas yang melakukan advokasi.


"Pasti ada upaya untuk menekan, menyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Konsistensi dari keluarga korban, banyak sekali kasus kelompok korban yang melakukan aktivasi kasus Talangsari, Trisakti, kasus di Papua dan Aceh dan kasus kejahatan Orba yang selalu menyuarakan aspirasi dan suaranya. Kenapa negara tidak kunjung menyelesaikannya. Padahal Indonesia sudah cukup mumpuni untuk melakukan penyelesaian," ujarnya.


Upaya mendorong penyelesaiaan kasus HAM salah satunya dilakukan secara konsisten dalam waktu 16 tahun terakhir lewat Aksi Kamisan.


Kontras menyampaikan, banyak publik mempertanyakan upaya penyelesaian kasus HAM berat yang sulit dilakukan oleh pemerintah. 


Padahal pada era presiden Abdurahman Wahid telah membentuk dua pengadilan kasus HAM Timor Leste dan Tanjung Priok.


"Ini adalah bukti bahwa penyelesaian kasus HAM ini mudah kalau ada kemauan politik dari kepala negara. Dan hari ini ada ambiguitas atau ketidakcocokan perkataan dan perbuatan oleh Presiden Joko Widodo," cetusnya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Demokrasi, Hukum dan HAM, Kamis (28/12).


Kondisi tersebut juga dinilainya sebagai ironi karena pada masa kekuasaan awal Jokowi pada 2014, isu penyelesaian kasus HAM masuk dalam dokumen politik prioritas Nawacita secara berkeadilan dan bermartabat.


"Ini artinya harusnya penyelesaian kasus ham jadi prioritas politik dari kepala negara untuk diimplementasikan. Tapi dalam 9 tahun terakhir Jokowi hanya berhasil membuat satu pengadilan HAM itu pun kasus yang terjadi bukan di era Orba yakni kasus yang terjadi di Paniai di Papua 2014. Dari situ kita melihat ada ketidaksungguhan dari presiden untuk melakukan penyelesaian yang berkeadilan," cetusnya.


Alih-alih menyelesaikan berbagai kasus HAM berat dalam dua periode kekuasaannya, pada 2022-2023 Jokowi justru melahirkan upaya penyelesaian yang tidak berkeadilan, yakni kebijakan nonyudisial.


"Yang kami lihat ini merupakan satu lompatan drastis tidak berkeadikan. Kasus HAM yang hanya menawarkan dua argumentasi pertama kompensasi dan penyelesaian secara kilat. Lalu di mana diksi berkeadilan dan bermartabat yang dijanjikan oleh presiden? Itu dituliskan dalam dokumen kontrak politik nawacita yang seringkali dibanggakan oleh rezim Jokowi," paparnya.


[Democrazy/Suara]

Penulis blog