POLITIK

Hanya Jadi Slogan, Aktivis: Demokrasi Sekarang Dirusak Oleh Jokowi!

DEMOCRAZY.ID
Desember 16, 2023
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Hanya Jadi Slogan, Aktivis: Demokrasi Sekarang Dirusak Oleh Jokowi!

Hanya Jadi Slogan, Aktivis: Demokrasi Sekarang Dirusak Oleh Jokowi!


DEMOCRAZY.ID - Eksponen Aktivis sekaligus Wartawan Senior, Jus Soema Di Pradja menyebut bahwa demokrasi di Indonesia sudah tidak ada, begitu pula dengan tradisinya. 


Mulanya ia bercerita mengenai demokrasi di era kepemimpinan Presiden Soekarno.


"Di situ lah kita lihat (kepemimpinan yang) otoriter (dari) Soekarno, dia mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Artinya dia sebagai seorang tokoh, enggak paham apa itu demokrasi," tegas Jus secara virtual dalam diskusi Para Syndicate bertajuk 'Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi', Jumat (15/12/2023).


Ia juga menyatakan, hal yang sama terjadi pada era kepemimpinan Soeharto yang menggunakan kata-kata demokrasi Pancasila. 


Namun, menurutnya demokrasi tersebut hanya hiasan di bibir, tidak dilakukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi Soeharto.


"Jadi bangsa ini demokrasi itu dijadikan slogan. Lebih hancur lagi setelah reformasi. Mungkin bisa dikatakan demokrasi agak baik itu di era Gus Dur. Mega agak lumayan lah. Kalau yang ini hancur lebur, kita mau bicara demokrasi apa?," ujarnya.


Jus menegaskan bahwa seorang presiden seharusnya menjadi milik rakyat.


"Kalian aktivis bisa melihat ada iklan di televisi 'PSI menang', siapa itu yang ngomong? Presiden RI. Mana ada seorang presiden memihak satu partai, mau bicara demokrasi, enggak ngerti dia demokrasi. Dia itu adalah seorang pemimpin yang otoriter norak," terangnya.


Tak hanya itu, ia juga menyinggung sosok putra Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka yang seringkali dalam pidatonya mendapat kritikan.


"Seorang anak kecil yang namanya Gibran, bisa dilihat pidato-pidatonya, asam sulfat lah, diminta orang untuk berbicara 'apa lagi yang saya bicarakan' sehingga MC nya bilang kok jauh-jauh dari Solo hanya sebegitu saja," ucap Jus.


"Karena bapaknya tidak ngerti apa itu demokrasi, dia pakai lah pamannya di MK. Jadi demokrasi yang sedang kita perjuangkan dari awal 1998, dirusak oleh orang yang namanya Jokowi," pungkasnya.


Dinasti Politik Jokowi dalam Pilpres, Merusak Tatanan Demokrasi


Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah mengatakan peran Presiden Jokowi dalam politik saat ini memang luar biasa. Menurutnya, Jokowi pandai mengatur segala hal agar tercapai maksudnya dan lalu berkilah, berdalih dengan berbagai alasan untuk berbagai peran yang dilakukannya tersebut.


“Jokowi memiliki keahlian membangun opini pembelaan, meskipun dia dalam posisi yang keliru, tetapi mahir memutar situasi justru menjadi benar,“ tegas Dedi Kurnia Syah pada wartawan di Jakarta, Kamis (9/11).


Besarnya pengaruh dan kuasa Presiden Jokowi bahkan membuat Prabowo kehilangan sikap kesatrianya.


“Dan memprihatinkannya, Prabowo yang seharusnya menjadi ksatria justru terlibat dalam tindakan nepotis ini,” ujar Dedi. 


Semua sumber kepongahan dan pengabaian terhadap aturan hukum oleh kelompok orang dalam lingkaran Jokowi adalah karena mereka disokong Presiden, sehingga kepercayaan diri mereka akan terus tumbuh meskipun secara kasat mata lakukan pelanggaran konstitusional, juga etika.


Bukan cuma perkara intervensi putusan MK saja, namun Presiden juga membiarkan anak buahnya terlibat kampanye politik. Padahal jelas-jelas dia menginstruksikan agar pejabat bersikap netral. 


”Dengan adanya anggota kabinet, Raja Juli Antoni, Bahlil Lahadalia, Budi Arie, dan lainnya dalam aktivitas kampanye Gibran, itu sudah jelas bahwa Presiden menjadi sumber masalah,” tegas Dedi. 


Berat kepentingan presiden di atas segalanya, sulit untuk berharap dia bersikap negarawan, memastikan kestabilan hukum dan politik di Indonesia.


Dedi juga mencontohkan kepongahan orang-orang dekat Jokowi tersebut yakni Anwar Usman yang justru melawan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang mencopotnya dari jabatan Ketua MK. Menurut Dedi, sikap pongah mantan Ketua MK Anwar Usman, karena dia merasa percaya diri disokong Jokowi.


“Negara ini akan dianggap sebagai milik Jokowi ketika nepotisme dibiarkan tumbuh. Maka dari itu wajar jika Anwar Usman melawan, dia mendapat "jaminan" untung "menang",” kata Dedi.


Sebelumnya, dalam  konferensi pers, Anwar Usman dengan santai mengaku tak berdosa setelah melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi, karena terbukti membiarkan Mahkamah Konstitusi (MK) diintervensi pihak luar dalam memutus perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. 


Sementara itu,  Direktur RISE Institute Anang Zubaidy menilai pernyataan hakim konstitusi Anwar Usman dalam merespons putusan MKMK justru merendahkan martabat dan citranya sebagai hakim.


"Artinya bentuk pembelaan diri yang disampaikan Anwar Usman itu bentuk pembelaan diri yang tidak perlu. Yang menurut hemat saya justru merendahkan citra dan martabat beliau," tambahnya.


Pembelaan tersebut dinilai Anang sebagai pernyataan tidak pas karena pelanggaran etik berat yang dilakukan Anwar Usman sudah terbukti dalam sidang MKMK.


"Itu kan pelanggaran berat. Kalau kemudian yang bersangkutan itu masih menganggap dirinya sebagai korban itu kan kurang pas, playing victim,” sambung Dosen Hukum Tata Negara FH UII Yogyakarta itu.


Menurut Anang, pernyataan Anwar Usman sebagai korban fitnah tidak sesuai fakta. Anwar Usman diketahui pernah mengenalkan diri sebagai Ketua MK dan bagian dari keluarga Jokowi.


"Itu seolah menunjukkan 'saya sebagai bagian dari keluarga istana' yang butuh rekognisi dari pihak lain," ungkapnya.


Menurutnya frasa fitnah yang digunakan Anwar Usman juga tidak pas. Karena pelanggaran etik berat Anwar Usman sudah dibuktikan MKMK.


“Kan kata fitnah itu harus dibuktikan kebenarannya. Mekanisme pembuktian itu ada di persidangan MKMK," lanjutnya.


Anang juga menyebut putusan MKMK memang tidak sesuai harapan publik yang menghendaki Anwar Usman dicopot sebagai hakim konstitusi.


"Saya pribadi juga kecewa dengan putusan MKMK, tapi itu kan sudah menjadi fakta hukum. Ya sudah kita terima. Masyarakat, saya berharap tidak terlalu memperpanjang masalah ini. Cukup kita fokus pada bagaimana mengawasi MK ke depan, supaya MK tetap bisa menjaga martabatnya," pungkasnya. [Democrazy/Inilah]

Penulis blog