POLITIK

Gagal Kelola Negara, Pemerintahan Jokowi Cuma Seolah-Olah Bekerja Tapi Rakyat Menderita!

DEMOCRAZY.ID
Desember 10, 2023
0 Komentar
Beranda
POLITIK
Gagal Kelola Negara, Pemerintahan Jokowi Cuma Seolah-Olah Bekerja Tapi Rakyat Menderita!


DEMOCRAZY.ID - Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo telah gagal dalam mengelola negara untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakat.


Hal tersebut dikatakan Ujang mengomentari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang cukup signifikan.


Sebab, kenaikan tersebut terjadi di tengah situasi fluktuasi harga minyak goreng yang tak kunjung stabil. 


Bahkan, pemerintah juga mewacanakan akan ikut menaikkan harga dari gas elpiji beberapa pekan yang akan datang.


"Disitulah pemerintah tidak bisa mengelola negara dengan baik, akhirnya ketika ada hal-hal persoalan misalnya alasan perang Ukraina akhirnya BBM naik dan sebagainya, hutang juga sampai 7000 triliun sekarang," kata Ujang saat dikonfirmasi.


Sejauh ini Ujang melihat pemerintah selalu berupaya berpura-pura bekerja untuk mencari pembenaran agar tidak menjadi pihak yang disalahkan atas kenaikan berbagai macam harga barang dan kebutuhan. 


Meskipun tidak ada hasil yang kelihatan dari kinerjanya.


"Saya sih melihatnya pemerintah harus bekerja dengan baik, harus gigih jangan sampai mencari pembenaran naiknya BBM, naiknya harga, langkanya minyak goreng itu seolah-olah mereka tidak salah, seolah-olah mereka sudah bekerja keras," ucap Ujang.


Menurutnya, sampai dengan saat ini masih banyak masyarakat yang masih kesusahan untuk memperoleh sejumlah kebutuhan hidup karena kelangkaan ataupun karena memang harganya yang sudah tak terjangkau bagi sebagaian golongan.


"Faktanya, rakyat masih susah, rakyat masih menderita, faktanya minyak goreng langka dan mahal, dan faktanya BBM naik, dan harga-harga kian naik, tentu saya mendorong pemerintah agar bekerja dengan baik untuk rakyat," tegasnya.


Ia pun beranggapan, situasi pemerintahan yang sudah tidak karuan ini lebih diperparah karena lembaga legislatif DPR yang sudah tidak lagi mampu menyuarakan kepentingan rakyat.


Ujang menyebut DPR saat ini hanya sebagai stempel dari pemerintah yang tak punya kemampuan untuk menekan.


"Enggaklah, enggak mungkin DPR menekan, DPR kan selama ini menjadi stempel pemerintah aja, mana wacana pansus minyak goreng, wacana panja mana ada, hanya wacana aja, nggak ada realisasinya, karena stempel pemerintah ya kita sudah paham itu," ungkapnya. 


Banyak Pelanggaran, Ubedilah Badrun: Jokowi Sudah Tidak Layak Mengelola Negara!


Banyak Pelanggaran, Ubedilah Badrun: Jokowi Sudah Tidak Layak Mengelola Negara!


DEMOCRAZY.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap sudah tidak layak mengelola negara mengingat banyaknya pelanggaran hukum di era pemerintahannya. 


Salah satu bentuk pelanggaran itu dengan melakukan intervensi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai pengakuan Agus Rahardjo.


Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi pernyataan mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo yang mengaku diintervensi Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi KTP-el yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto.


"Kalau tindakan-tindakan model Joko Widodo ini seperti yang diceritakan oleh Agus Rahardjo, mungkin juga nanti Abraham Samad ada cerita khusus tuh kaitannya dengan Jokowi. Belum teriak aja dia, belum mengungkapkan aja dia,” kata Ubedilah, Minggu (10/12).


“Lalu kemudian apa yang saya ceritakan, itu sebuah perilaku eksekutif yang melampaui batas-batas konstitusi sebetulnya," tambahnya.


Bahkan kata Ubedilah, KPK saat dipimpin Firli Bahuri juga diyakini mendapatkan intervensi untuk tidak memproses laporannya soal dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) anaknya Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.


"Karena sudah intervensi di wilayah hukum kan, ya itu pelanggaran. Jadi Jokowi telah melakukan banyak pelanggaran dalam mengelola negara, termasuk terakhir yang Mahkamah Konstitusi itu kan. Jadi ini ya sebetulnya sudah tidak layak mengelola negara, bahkan sudah tidak layak menjalankan pemilu itu sebagai penyelenggara," terang dia.


Ubedilah menjelaskan, Presiden Jokowi sedang menjalankan praktik otokratik legalisme, yakni kekuasaan yang otoriter karena mengendalikan semuanya termasuk KPK, namun berlindung melalui sebuah proses legal.


"Jadi dia otak-atik UU-nya dulu, UU KPK direvisi dulu, baru dia masuk, itu sebetulnya otokratik legalisme. Jahat sebetulnya secara politik. Karena dia bersembunyi di balik sebuah produksi UU yang kesannya legal, tapi dia memanfaatkan masuk di dalam proses itu untuk menjalankan misi kekuasaannya yang berbahaya," pungkas Ubedilah. 


Tahun Depan Lengser, Jokowi Dinilai Gagal Jalankan Revolusi Mental Transisi Energi!



DEMOCRAZY.ID - Umur pemerintahan Jokowi, kira-kira kurang setahun tiga bulan, ada rapor merah menyangkut revolusi mental sektor transisi energi.


Tak sedang bercanda, pengamat ekonomi energi asal UGM, Fahmy Radhi menilai, revolusi mental yang diusung Presiden Jokowi sejak 2014, belum optimal, bahkan boleh disebut gagal.


“Penilaian ini, sebenarnya tidak berlebihan karena dalam waktu hampir 10 tahun, revolusi mental belum memberikan hasil maksimal di segala bidang. Termasuk transisi energi. 


Revolusi mental dibutuhkan dalam transisi energi yang bertujuan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Ya, karena revolusi mental mendorong perubahan paradigma penggunaan energi bersih, yang ramah lingkungan,” ungkapnya dalam rilis, Jakarta, Kamis (20/7/2023).


Syarat utama dalam pencapaian NZE, kata dia, sebesar 0 persen karbon dari emisi kendaraan bermotor, asap pabrik, serta 100 persen pembangkit listrik menggunakan energi baru terbarukan (EBT).


“Hingga detik ini, pencapaian syarat itu sangat minim. Hampir 100 persen kendaraan bermotor masih menggunakan BBM fosil, lebih 90 persen pabrik masih menyumbang karbon dalam jumlah besar, dan sekitar 56 persen pembangkit listrik masih mernggunakan energi kotor batu bara,” kata Fahmy.


Untuk mempercepat pemenuhan syarat tersebut, kata dia, perlu diterapkan revolusi mental lantaran dibutuhkan perubahan paradigma secara radikal untuk migrasi dari penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan (EBT).


"Indonesia sesungguhnya memliki sumber daya EBT yang berlimpah-ruah. Mulai dari biothermal, biomass, biofuel, matahari, angin, mikrohidro, gelombang laut, energi pasang-surut, fuel cell, energi sampah hingga nuklir,” kata Fahmy.


Masalahnya, kata dia, selain belum terjadi perubahan paradigma yang mendasar. Selain itu, Indonesia tidak memiliki teknologi untuk mengembangkan EBT. 


Agar tidak tergantung teknologi negara asing, ada urgensi untuk mengembangkan teknologi EBT secara mandiri.


“Untuk itu, PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) perlu berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas SDM dan kapabilitas teknologi EBT. Upaya ini sesungguhnya merupakan penerapan revolusi mental untuk melakukan perubahan paradigma dan penguasaan teknologi EBT secara mandiri,” kata Fahmy. [Democrazy/Populis]

Penulis blog