DEMOCRAZY.ID - Tim ekonomi pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar meyakini, pada 2024 ekonomi dunia akan mengalami resesi akibat fenomena suku bunga kebijakan bank sentral di negara-negara maju yang tinggi, inflasi tinggi, hingga harga-harga komoditas yang terus naik akibat konflik geopolitik Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel.
Juru bicara dan tim ahli ekonomi Anies Baswedan, Thomas Lembong mengatakan, untuk memitigasi risiko tersebut terhadap pelemahan ekonomi domestik dan menjaga daya tahan pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai target 5,5%-6,5%, kuncinya adalah kembali memperbaiki industri manufaktur pada karya yang kini telah ditinggalkan pemerintahan presiden Joko Widodo.
Pemerintahan Presiden Jokowi menurutnya saat ini masih terfokuskan pada hilirisasi sumber daya alam (SDA).
Di mana ada penciptaan industri manufaktur yang padat modal, namun berbasis komoditas, seperti produk pertambangan dan pengolahannya yang di antaranya adalah industri smelter nikel. Padahal, harga-harga produksi di sektor itu kini tengah melemah.
"Contoh tahun ini harga nikel sudah turun 50%, dengan melemahnya ekonomi global tahun depan pasti harga-harga komoditas akan turun lagi. Jadi kita mulai dengan realita bahwa kita tidak lagi bisa mengandalkan ekspor dan komoditas," kata Lembong dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (2/11/2023).
Dampak dari fokus pada industri manufaktur padat modal itu, menurutnya juga akan berpotensi menekan perekonomian masyarakat di tengah besarnya potensi resesi global.
Sebab, industri padat modal tidak banyak membutuhkan tenaga kerja karena rantai produksinya sudah didominasi teknologi robotik atau otomasi.
"Kalau kita kunjungi sebuah pabrik mobil listrik itu semua yang kerja robot. Saya pernah kunjungi sebuah pabrik mobil listrik di Korea, dan saya kaget hampir tidak ada manusia, kosong, semua jadi rantai produksinya assembly line semua mesin yang melipat, mengguling, dan merakit baterai itu," tuturnya.
"Tapi pemerintah belakangan ini sangat fokus pada industri nikel, industri baterai, industri mobil listrik karena dianggap masa depan, dianggap high tech, dianggap sangat seksi," ucap mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi itu.
Terlalu fokusnya pemerintah untuk memasukkan industri padat modal itu pun menurut Lembong sangat berlainan dengan sentimen investor global.
Menurutnya, akibat konflik geopolitik, termasuk di China akibat perang perdagangan dengan Amerika Serikat, sebetulnya investor yang kini cenderung ingin berinvestasi di Indonesia untuk relokasi industri berasal dari industri manufaktur padat karya, seperti tekstil, barang dari tekstil, furnitur, hingga elektronika.
"Saya kasih contoh satu merek busana yang cukup terkemuka asal AS yang pekerjakan 700 ribu pekerja di Indonesia melalui 11 mitra manufaktur, mereka komplain ke saya, Pak Tom, pemerintah tidak punya perhatian bagi kami sama sekali di industri tekstil, sepatu, karena dianggap kuno, sunset industry, mereka hanya ngomong baterai mobil listrik," ungkap Lembong.
Oleh sebab itu, dengan realita tersebut, Anies-Muhaimin menurutnya akan mengusung penguatan industri manufaktur padat karya pada masa pemerintahannya.
Dengan cara itu, ia memastikan industri sektor jasa juga akan semakin minim dari yang saat ini porsinya mencapai 50-55% terhadap PDB sedangkan industri manufaktur hanya sebesar 18% terhadap PDB karena tenaga kerja di sektor industri jasa yang mayoritas informal bisa terserap menjadi pekerja formal.
"Dan itu malah naik sekarang mencapai 60% dari pekerja kita di sektor informal. Harusnya dengan omnibus law lebih ringan dan gampang bagi perusahaan ambil pekerjaan secara formal kan, tapi faktanya di lapangan sebaliknya," tegas Lembong. [Democrazy/CNBC]