DEMOCRAZY.ID - Pertemuan puncak para pemimpin Liga Arab yang beranggotakan 22 negara dan Organisasi Kerja Sama Islam (OIC), kelompok yang terdiri dari 57 negara mayoritas Muslim, beberapa waktu lalu rupanya mengungkap tabir konflik di Timur Tengah.
Laporan The Economist pada 16 November menyebut pertemuan puncak tersebut memiliki kontradiksi yang mendalam, di samping adanya reaksi regional terhadap perang.
"Banyak negara Teluk, misalnya, ingin Israel menyingkirkan Hamas, meski mereka khawatir hal itu akan membangkitkan ekstremisme di negara mereka sendiri," ungkap laporan tersebut.
"Mereka ingin melihat 'poros perlawanan' milisi proksi Iran terluka, namun khawatir akan terjebak dalam baku tembak. Selama beberapa tahun mereka telah mempromosikan narasi Timur Tengah baru, yang berfokus pada ekonomi dibandingkan ideologi. Mereka khawatir perang berkepanjangan di Gaza akan menggagalkan rencana tersebut."
Hal ini terlihat saat Presiden Iran Ebrahim Raisi secara agresif mendesak negara-negara Muslim untuk mengirim senjata ke Palestina, tetapi saran itu diabaikan dengan sopan.
Beberapa peserta lain mendesak sanksi diplomatik dan ekonomi terhadap Israel, namun sanksi tersebut juga ditolak.
Beberapa negara Arab telah menarik duta besar mereka untuk Israel, namun negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik tidak bersedia memutuskan hubungan mereka.
Mereka juga mengesampingkan penggunaan minyak sebagai senjata, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1973, ketika OPEC memberlakukan embargo terhadap negara-negara yang mendukung Israel selama perang Yom Kippur.
Saudi sendiri membutuhkan pendapatan minyak yang stabil selama bertahun-tahun untuk membiayai rencana diversifikasi ekonomi mereka.
Hal terakhir yang ingin mereka lakukan adalah memaksakan embargo yang akan memacu negara-negara Barat untuk mempercepat transisi mereka dari minyak.
"Hasil pertemuan puncak itu memecah belah. Beberapa orang Arab senang dengan retorika keras tersebut; yang lain mengeluh bahwa pemerintah mereka terlalu pasif terhadap perang. Hilangkan ancaman militer atau sanksi ekonomi, dan yang tersisa hanyalah pembicaraan alot," ungkap laporan tersebut.
Disebutkan bahwa setiap negara bertindak demi kepentingan pribadi. Saudi memutuskan untuk melanjutkan Riyadh Season, sebuah festival tahunan yang merupakan bagian dari rencana Muhammad bin Salman (MBS) untuk melonggarkan pembatasan budaya kerajaan.
Hal ini tentu menuai banyak kritik, di mana putra mahkota ingin masyarakat di Riyadh bersenang-senang sementara orang-orang di Gaza sekarat.
Kecaman seperti ini sangat menyakitkan hati masyarakat Saudi, yang merasa bahwa mereka dikucilkan, seolah-olah hanya mereka saja yang berpesta sementara seluruh wilayah lainnya berduka.
Namun sebagian besar wilayah di kawasan ini berusaha bertindak seolah-olah keadaan berjalan seperti biasa. Bahkan Iran sejauh ini membiarkan pragmatisme untuk menahan tindakannya.
Meskipun milisinya telah melakukan serangan rutin terhadap sasaran-sasaran Israel dan Amerika, mereka memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan Hizbullah, kelompok Syiah Lebanon yang merupakan proksi paling kuat dari mereka, dalam pertempuran habis-habisan untuk mendukung Palestina.
"Jika upaya perdamaian gagal, maka hanya masalah waktu saja sebelum perang yang lebih luas terjadi," kata Mohammed Alyahya, peneliti asal Saudi di Belfer Center di Universitas Harvard.
Namun, dalam jangka panjang, peristiwa enam minggu terakhir ini merupakan pengingat bahwa ketenangan di Timur Tengah saat ini masih rapuh.
Laporan The Economist menyebut wilayah ini masih berada di persimpangan antara konflik tanpa akhir dan mengakhiri konfliknya, dan perang Gaza makin mempertajam pilihan tersebut. [Democrazy/CNBC]