DEMOCRAZY.ID - Dengan didampingi para Kuasa Hukum dari YLBHI, PSHK, ICW, IM57 Sebanyak 15 guru besar, pengajar hukum tata negara dan aktivis yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) mendatangi gedung MK siang ini untuk mengikuti putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)
CALS mendesak Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhi sanksi berat kepada Ketua MK Anwar Usman.
Desakan itu disampaikan mereka menjelang pembacaan putusan MKMK terkait dugaan pelanggaran etik terhadap sembilan hakim konstitusi pada hari ini, Selasa (7/11) di Gedung MK.
“Meminta MKMK menjatuhkan hukuman pemberhentian tidak dengan hormat kepada Ketua MK karena terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim berat,” kata perwakilan dari PSHK Violla Reininda dalam keterangan tertulisnya.
Violla menjelaskan permintaan tersebut didasarkan pada fakta hukum bahwa hakim terlapor sengaja melanggar ketentuan kode etik dan perilaku hakim terkait pelanggaran prinsip independensi, ketidakberpihakan, dan prinsip integritas.
Lalu, kata Violla, Anwar juga melanggar prinsip kecakapan dan keseksamaan, larangan memberikan komentar terhadap perkara yang sedang atau akan diperiksa dan diadili, serta kewajiban untuk menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya.
Violla menilai putusan perkara syarat usia capres-cawapres berkaitan erat dengan relasi kekeluargaan hakim terlapor dengan pihak yang diuntungkan atas dikabulkannya permohonan.
“Yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang merupakan kemenakan hakim terlapor,” ujarnya.
Menurutnya, Anwar dengan niat buruk mengesampingkan kewajiban hukum untuk mengundurkan diri dari majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Hal itu tak sesuai Kode Etik dan Perilaku Hakim, UU Mahkamah Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, dan Bangalore Principles of the Independence of the Judiciary yang secara universal berlaku bagi hakim serta sumpah jabatan.
“Sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, hakim terlapor telah melanggar sumpah jabatannya untuk memimpin dengan baik dan adil,” katanya.
Akibat perbuatan hakim terlapor, kata Violla, konstruksi amar putusan perkara a quo serampangan, Mahkamah Konstitusi dicap Mahkamah Keluarga yang berakibat hilangnya kepercayaan publik pada Mahkamah Konstitusi.
“Hal tersebut merusak muruah, kewibawaan, martabat, dan keluhuran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penjaga konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Violla menilai Anwar Usman bukan hanya telah melanggar etik dan perilaku hakim serta sumpah jabatan, tetapi juga telah melecehkan konstitusi serta demokrasi dengan tidak mengelola konflik kepentingan yang dimilikinya dan justru secara vulgar ia pertontonkan.
“Para Pelapor berharap MKMK menyambut panggilan sejarah untuk memulihkan keluhuran MK, dengan memberhentikan secara tidak terhormat Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai Ketua MK dan hakim konstitusi,” ujar dia.
Pihaknya mendesak MKMK untuk berani mengambil keputusan progresif untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan konstitusi Indonesia dengan cara menyatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023 batal demi hukum karena disusun dengan proses yang cacat formil akibat kentalnya konflik kepentingan.
“Atau setidak-tidaknya memerintah Mahkamah Konstitusi memeriksa ulang seluruh pengujian syarat usia calon presiden dan wakil presiden tanpa melibatkan hakim terlapor Anwar Usman,” ucap Violla.
Sementara Ketua MK Anwar Usman menyatakan siap menerima segala konsekuensi jika terbukti melanggar kode etik sebagai hakim di balik putusan syarat batas minimal usia capres-cawapres.
“Lho, ya. Semua harus siaplah [mendapat konsekuensi],” kata Usman usai menjalani pemeriksaan kedua pada Jumat (3/11).
Sebelumnya, MKMK menerima 21 laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK, termasuk Anwar, di balik putusan syarat batas usia capres-cawapres.
Dari 21 laporan itu, Anwar Usamn menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan. Anwar menjadi terlapor dalam 15 laporan.
Adapun laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman bermula ketika para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Capres Cawapres.
MK telah mengabulkan gugatan soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. MK menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.
Putusan itu membuka pintu bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi sekaligus keponakan Anwar Usman yang belum berusia 40 tahun untuk maju di Pilpres 2024.
Akibat putusan MK ini Gibran dengan mudah melenggang dan resmi mendaftarkan diri sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada kontestasi politik nasional tahun depan. [Democrazy/Fusilat]